《Sembilan Belas》

Aku terduduk lemas di sisi ranjang sambil memandangi kamar hotel yang kami tempati. Ruangannya tercium wangi karena diisi bunga hampir di setiap sudut. Ditambah dengan ranjang putih yang juga ditaburi kelopak bunga mawar merah dan putih, sukses membuatku merinding. Benar-benar kamar pengantin yang ingin malam pertama.

Aku mulai merasa kedinginan karena adanya AC di kamar ini. Ditambah lagi aku hanya memakai handuk hotel di tubuhku. Jadi dengan sangat terpaksa, aku mengambil baju laknat yang ada di dalam koper. Selesai kupakai, bersamaan dengan itu pintu kamar mandi terbuka. Aktar keluar dengan bertelanjang dada. Hanya ada handuk kecil yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Aku sedikit tak percaya mengetahui bahwa bentuk tubuhnya ternyata sebagus itu. Cocok buat jadi model majalah pria. Padat dan berisi.

Dududuuuuh... itu badan apa karpet? Berbulu semua. Minta ditidurin banget badannya.

Eh tunggu. Kenapa aku jadi berpikiran mesum tentang dia? Oh tidakkkkk! Kembalikan kewarasanku!!

"Jangan melihatku seperti itu. Aku merasa seperti di lecehkan olehmu," Ucap Aktar.

Sial. Dia tahu kalau aku sedari tadi memandanginya.

"Memangnya kenapa? Kau kan suamiku, jadi bebas dong aku lihatin."

"Menyingkirlah sedikit, aku mau mengambil pakaian tidurku di koper itu."

Aku bergeser ke samping, sehingga dia bebas menarik koper lebih dekat ke arahnya.

"Kau ingin melihatku berganti baju?" Tanyanya kemudian.

"Enggak." Aku bergeleng cepat.

"Yaudah berbalik badan sana. Aku mau melepas handukku."

Aku berbalik dan berjalan menuju ranjang. Kulihat ada sebuah teko serta dua gelas kosong berada di atas meja dekat tempat tidur kami. Pasti itu teh yang dibilang Mama tadi. Karena haus, jadi aku menuangkannya ke dalam gelas. Mengingat ini memang dibuat beberapa jam yang lalu, jadi sudah terasa dingin. Meski begitu, rasa tehnya tetap tidak berubah.

Tak berapa lama, Aktar muncul. Tanpa berkata apa-apa, dia pun melakukan hal yang sama denganku, duduk di pinggir ranjang sambil menikmati teh yang sudah dingin.

"Kenapa kau memakai baju tidur seperti itu?" Tanyanya dengan wajah polos memandangku.

"Karena nggak ada baju lagi di dalam koper."

Dia mengangguk pelan. Lalu meminum lagi teh yang ada di gelasnya. Suasana mendadak hening. Hanya suara jarum jam yang menjadi satu-satunya sumber suara di ruangan ini. Sungguh, keheningan ini membuatku sangat tidak nyaman. Tapi aku tidak tahu harus berkata apa. Jadi aku putuskan untuk bertanya asal saja. Daripada hanya diam-diam seperti ini.

"Apa kau masih mengingat Edgar?"

Dia menatapku kesal. "Kau kira aku sedang mengalami amnesia? Makanya kau bertanya seperti itu? Ya jelas masih ingatlah."

"Berarti waktu kita ciuman bibir di gereja tadi, kau sedang membayangkan berciuman dengan dia?"

"Siapa yang bilang?"

"Tadi kan kau sendiri yang bilang masih mengingat Edgar. Berarti kau membayangkan wajah dia waktu kita ciuman."

"Apa hubungannya mengingat Edgar dengan ciuman kita?"

"Oke. Sepertinya pertanyaanku tadi kurang jelas. Jadi biar aku revisi lagi. Apa kau masih mencintai Edgar?"

Dia terlihat sedang berpikir. "Aku nggak tahu apa itu cinta. Aku hanya merasa dekat dengan Edgar karena cuma dia yang selalu ada bersamaku. Aku selalu risih jika bertemu dengan orang baru tapi aku nggak membenci."

Seketika aku melongo bodoh menatapnya. "Jadi kau itu sebenarnya homo atau enggak sih?"

Aktar terlihat berpikir lagi. "Entahlah. Aku nggak pernah suka ataupun tertarik dengan pria lain."

"Jadi kau hanya tertarik dengan Edgar aja?"

"Aku bukan tertarik. Tapi apa ya? Hmm... lebih ke rasa sayang karena Edgar itu temanku satu-satunya. Hanya dia yang selalu ada bersamaku. Jadi aku nggak merasa risih ketika melakukan sentuhan fisik dengannya. Seperti memeluk atau berciuman."

Aku mengangguk paham. Jadi dia tidak menganggap Edgar sebagai kekasihnya melainkan hanya sahabat. Dia mau bersentuhan fisik dengan Edgar hanya untuk menyenangkan sahabatnya itu. Cuma Edgar yang selalu ada untuknya. Jadi Aktar tidak mau membuat Edgar kecewa, makanya dia tidak masalah jika harus berciuman atau berpelukan. Yang penting Edgar selalu ada bersamanya, karena selama ini Aktar selalu sendiri dan merasa kesepian. 

"Menurutmu apa aku salah menyayangi Edgar?" Tanyanya tiba-tiba.

Aku bergeleng. "Menurutku enggak ada yang salah kalau kita menyayangi atau mencintai sesama manusia. Yang salah itu kalau manusia berzinah, mencuri dan membunuh."

"Aku nggak pernah berzinah dengan Edgar. Hanya sekedar ciuman dan pelukan. Aku berpikir itu salah jadi aku memutuskan untuk berhenti berhubungan dengan Edgar. Lalu Mamaku mengatakan kalau ternyata aku udah dijodohkan dengan anak gadis dari teman SMPnya. Saat itu aku nggak menolak, karena aku pikir itu akan membantuku. Dan aku cukup terkejut waktu melihatmu datang ke rumahku. Ternyata kau wanita yang dijodohkan Mama untukku."

"Sejauh ini apa kau pernah tertarik atau memuji wanita cantik yang lewat di depan matamu?" Tanyaku penasaran.

"Enggak pernah. Tapi saat melihat kau berjalan menuju altar tadi pagi dengan gaun putihmu itu. Aku berpikir kenapa kau tampak berbeda? Ada rasa kebanggan pada diriku saat tahu bahwa sosok wanita yang sedang berjalan itu adalah calon istriku."

Kenapa tubuhku mendadak jadi panas-dingin karena ucapannya itu? Tanpa sadar aku mengibas-ngibaskan tanganku untuk mendapatkan sedikit udara segar. Kuminum tehku sampai tandas dengan harapan minuman itu bisa membuatku sedikit lebih normal. Aku berusaha memasang ekspresi tenang

Kuperhatikan Aktar juga melakukan hal yang sama denganku. Ada apa ini? Kenapa udara di sekitar kami mendadak terasa begitu panas? Padahal pendingin di ruangan ini sangat-sangat baik.

"Minuman apa yang kita minum ini?" Tanyanya Aktar padaku.

"Cuma teh."

"Kau yakin nggak ada tambahan lain pada teh ini?" Tanyanya lagi. Namun kali ini dia sudah berdiri dan berjalan mondar-mandir di hadapanku.

Di saat yang sama, aku merasakan bagian-bagian tertentu dari tubuhku menegang. Dengan sedikit kepayahan aku menjawab pertanyaannya. "Aku nggak tahu. Mamak tadi yang buat ini sebelum pergi. Kenapa kau tanya seperti itu?"

"Aku rasa Mamamu mengerjai kita," Ujarnya yang terdengar kepayahan berbicara sama seperti diriku.

"Apa maksud kau?" Aku mengernyit dan mulai gelisah.

"Kau tahu obat perangsang? Sepertinya Mamamu menambahkan itu di teh yang kita minum," Jelasnya singkat.

Aku sudah sering membaca tentang obat perangsang. Karena aku suka memasukkan itu dalam cerita novelku. Dan sialnya, sekarang aku mengalami tanda-tanda itu sekarang. Tubuhku terasa begitu panas dan di bagian-bagian tertentu aku merasa menginginkan sentuhan.

Dalam hati aku merutuki kebodohanku. Seharusnya aku sudah curiga sejak tadi. Mamaku yang jahil itu tidak mungkin dengan sukarela menyediakan minuman untukku jika bukan untuk tujuan tertentu.

Kulihat Aktar terburu-buru masuk ke dalam kamar mandi. Aku yakin dia pasti ingin mendinginkan tubuhnya dengan air. Itu ide yang bagus. Jadi aku ikut berlari menyusulnya ke dalam.

"Kenapa kau ikut masuk?" Tanyanya yang sudah berdiri di bawah air shower. Dia mengurungkan niat membuka baju tidurnya karena melihatku.

"Aku juga ingin mandi."

"Tapi jangan sekarang!" Ujarnya frustasi. "Pergi dan menjauhlah dariku. Dengan pakaianmu yang seperti itu, ditambah lagi efek dari minuman barusan. Aku nggak bisa menjamin nggak akan berbuat apa-apa, kalau kau masih tetap ada di hadapanku."

Aku terdiam mendengar perkataannya barusan. Dan sekarang aku juga bingung, kenapa aku tak kunjung pergi padahal Aktar sudah mengusirku untuk menjauhinya. Anehnya lagi, aku malah mendekatkan diri. Bahasa sederhananya, aku memutuskan menyerahkan diriku dengan suka rela padanya.

Persetan dengan akal sehat atau apapun itu namanya. Tidak ada yang salah kan kalau sepasang suami-istri melakukan hubungan intim?

Aktar menatapku heran karena aku sudah berdiri di dekatnya. Sesaat dia tampak berpikir, detik selanjutnya dia sudah mendorongku ke belakang. Sehingga kini punggungku berbentur di dinding kamar mandi. Aku ingin protes, tapi bibir Aktar sudah mengunci bibirku dengan sempurna. Untungnya tubuhku begitu cepat menerima perlakuannya. Saat dia bermaksud memperdalam ciuman, kubuka mulutku untuk mempersilahkannya melakukan apa yang dia inginkan.

Ciuman kami berlangsung panas, seolah kami adalah sepasang manusia yang sudah saling memendam hasrat sejak lama. Desahan-desahan muncul ketika kami saling menelusuri rongga mulut masing-masing. Seakan tak mau tinggal diam, tangannya bergerak untuk menyentuh tubuhku. Sementara tanganku menyusup ke dalam bajunya, meraba otot-otot perutnya yang keras sambil sesekali bermain lebih ke bawah. Sial! Kenapa aku begitu bernapsu.

Dengan bibir yang masih bertaut, dia menuntunku keluar dari kamar mandi. Setelah sampai di tepi ranjang, dia mengempaskan tubuhku di sana. Aku menggunakan kesempatan ini untuk menarik napas sedangkan dia membuka bajunya. Dalam satu hitungan dia melemparkan baju tidurnya ke sudut kamar. Selesai urusan dengan pakaiannya, Aktar kembali melahap bibirku.

Lama berkutat dengan bibir, leher dan bahuku, Aktar mengangkat kepalanya untuk sesaat. Dia menatap ke bagian dadaku dan aku tahu apa maksudnya.

"Apa kau mengizinkanku?" Tanyanya dengan suara yang serak namun terdengar seksi di telingaku.

Sebenarnya aku belum ingin melakukan ini dengan Aktar, tapi situasi dan kondisi yang memaksakku harus melakukannya.

"Aku kan istrimu. Jadi lakukan apa yang kau inginkan," Jawabku sambil berusaha memasang senyum.

Detik berikutnya Aktar sudah merobek lingerie merah yang aku pakai. Sepertinya ini akan jadi malam yang panjang untuk kami berdua.

12-Mei-2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top