《Sembilan》
"Oh Jesus!" Pekikku kaget. Roh dalam tubuhku hampir saja terlepas saat melihat sosok Mama berdiri di belakangku dengan memegang senter lampu yang disorotkan fokus ke wajahnya. "Mama ngapain sih?"
Beliau tertawa. "Kaget kau ya?"
"Bukan kaget lagi Mak, tapi aku hampir aja mati berdiri."
"Siapa tamu yang datang?" Tanya Mama sambil mematikan senter lampu di tangannya.
"Oh itu... cuma orang malas kok. Nggak penting kita kasih masuk ke rumah."
Kurangkul bahu Mama dan mengajaknya kembali ke ruang tamu. Namun suara ketukan pintu terdengar lagi.
"Eh Butet! Apa nggak bisa lebih pelan lagi kau tutup pintunya? Kalau hidungku tadi patah gimana? Mau kau tanggung jawab hah?" Seru si kue nastar.
"Siapa itu?" Tanya Mama yang berhenti jalan. "Firasat Mamak mengatakan pemilik suara itu adalah calon menantuku."
Ada apa ini? Sejak kapan Mama punya firasat begitu kuat ke calon menantunya?
Aku cuma bisa pasrah begitu Mama membuka lagi kunci pintu rumah. Aktar masih berdiri di tempat semula sambil mengelus hidungnya yang mancung.
"Nak Aktar? Kau ngapain di luar? Kenapa tadi nggak masuk?" Tanya Mama kaget.
"Gimana mau masuk Tante? Si Butet tadi ngusir dan langsung tutup pintunya. Hampir patah hidungku dibuat dia."
Dasar tukang pengadu!
Mama tampak panik dan mengamati kondisi Aktar seolah seperti korban bencana alam. "Masih mancung kok. Untung nggak patah sampe harus operasi. Si Bimbii ini memang kelewat kali lah bandelnya. Masa kayak gitu ke calon suaminya." Lalu beliau berbalik menghadap belakang melihatku. "Sini kau!"
Rasa was-was akan dilibas (dipukul) Mama menghantuiku.
"Apa Mak?" Cicitku pelan saat sudah mendekat.
"Apa-apa lagi kau bilang?" Bentak Mama sambil menoyor keningku. "Sanggup kau ya ngusir tamu? Siapa yang ngajarin kau kayak gitu hah?"
"A-ampun Mak! Iya Bimbii nggak ulangi lagi." Aku meringis saat dihadiahkan satu cubitan super pedas dari Mama di bagian lenganku.
"Minta maaf sana!"
Aku cemberut dan menatap si kue nastar. "Maaf."
"Kau ngomong kayak orang bisu. Nggak kedengaran! Ulang sekali lagi," Seru Mama.
"Aku. Minta. Maaf."
Aktar mengangguk. "Iya dimaafkan. Meskipun tadi aku hampir jamuran berdiri di sini."
"Ya bagus dong jamuran. Nanti tinggal tunggu panen aja biar masak sup jamur," Celetukku asal. Dan Mama langsung memberikan sebuah jitakan di kepalaku.
"Memang latteung (terong-terongan) anak sebiji ini!"
"Iiiss... asik salah aja pun aku di mata Mamak. Yaudah besok aku mau pindah ke hidung," Protesku yang kesal ke Mama.
"Pindah aja kau sana ke hidung biar temanan kau sama upil." Setelah puas memarahiku, Mama kembali menatap Aktar dengan senyum malaikat. "Ayo masuk ke dalam, kebetulan ada bapaknya Bimbii di ruang tengah."
"Iya Tante."
"Please, take off your shoes!" Ujarku pada Aktar.
"Oh maaf." Dia membuka sepatunya. "Soalnya di rumah terbiasa pakai sendal atau sepatu."
"Nggak apa-apa nak Aktar, pakai aja sepatunya."
"Loh? Kok gitu Mak?" Protesku.
"Ini kan lantainya dibersihkan setiap hari. Masa dibiarkan pakai sepatu? Kalau dia habis pijak ee ayam atau ee kucing gimana?"
"Kau kira dia orang kampung yang mainnya di pasir kayak kau? Pijakan kaki si Aktar itu setiap harinya selalu lantai yang berkeramik."
"Nggak apa-apa Tante hehe..." Dia tersenyum ke Mama. "Lagian nggak enak juga, yang tuan rumahnya aja buka sepatu kok aku enggak."
"Nah bener itu!" Timpahku menanggapi ucapannya.
"Yaudah. Senyaman nak Aktar aja."
Setelah perkara sepatu selesai, kami berjalan ke ruang tengah. Di sana ada Bapak yang sedang duduk bersama ponakanku Ral.
Aktar langsung mendatangi Bapak dan bersalaman dengan beliau. Ternyata si kue nastar sangat menghormati yang namanya orang tua.
"Itu anaknya si Agatha. Namanya Aktar Priawan Wiratmaja," Seru Mama.
"Oh panjang umur sekali. Baru lagi diceritakan."
"Iya Om. Sebenarnya Mama tadi yang suruh main-main ke sini. Biar bisa kenal sama keluarganya Arimbi," Ujar Aktar sambil tersenyum pada ponakanku Ral.
"Ayo kasih salam om Akarnya," Ucap Bapak.
"Hai, Om!"
"Hai. Siapa namanya?"
"Ralph Tamba. Anak kandung dari Bapak sama Mamak. Umur aku baru lima tahun," Jawab Ral.
"Anak yang pintar." Komentar Aktar sambil mengelus kepala ponakanku.
"Tadi nak Aktar bilang berkunjung ke rumah ini karena ingin mengenal dekat keluarga kami. Jadi apa itu artinya secara tidak langsung kau setuju dijodohkan dengan Arimbi?" Tanya Bapak tanpa basa-basi.
"Iya."
"Alasannya?"
"Saya yakin setiap orang tua pastilah selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Dan jika Mama memilih Arimbi, itu artinya memang dialah wanita terbaik pilihan Mama untuk mendampingi saya."
Dududuuduuu.... nih orang omongannya manis sekali ya. Bisa berpotensi kena penyakit diabetes bagi setiap orang yang mendengarnya.
"Kamu punya pacar sebelumnya?" Tanya Bapak lagi.
"Sudah lama putus Om."
Putus dari pedang samurai. LOL.
"Baguslah kalau begitu. Jadi tidak ada pihak yang tersakiti kalau perjodohan ini dilanjut ke jenjang pernikahan."
Hadeuh Bapak nggak tahu ya? Mantan pasangan homonya yang bernama Edgar pasti akan mencak-mencak begitu dengar kabar ini.
"Tapi teringatnya kau belum punya marga ya? Kau kan bukan keturunan Batak?"
"Iya Om."
Bapak menghela napas dan bersandar di sofa. "Ada sebagian keluarga batak yang tegas meminta anak-anaknya untuk mencari pasangan sesama batak. Dan ada juga yang sudah tidak mempermasalahkan. Nah kalau keluarga kami sendiri sangat menjunjung adat, tapi kami tetap nasionalisme. Jadi Arimbi bisa menikah dengan suku dan bangsa manapun, asal harus seiman. Tapi nanti tetap disarankan mengadatkan dan otomatis kau mesti ambil marga dari Amangborunya si Bimbii biar bisa nikahi dia. Kalau soal sinamot (mahar) itu nanti kesepakatan keluarga aja."
Aktar tampak kebingungan. "Saya kurang mengerti tentang adat dari keluarga Om. Nanti biar Mama yang datang dan bicara sama Om gimana menyelesaikannya. Saya hanya mengikuti saja."
"Iya. Nanti kau kabarin aja kapan keluarga besarmu mau datang ke rumah kami. Ini kan rencana baik ya. Jadi lebih cepat lebih baik."
"Iya Om."
Kemudian Bapak berdiri sambil mencolek bahu Mama. "Biar mereka ngobrol berdua di sini. Kita duduk di depan aja."
"Bii... jangan lupa kau bikin minumnya si Aktar itu." Pesan Mama sebelum pergi ke depan.
"Hmm..." Aku hanya bergumam.
"Ral sini sama Opung. Jangan ganggu Bou pacaran."
Ral bergeleng dan bergelayut manja padaku. "Mau sama Bou aja."
"Yaudah. Tapi jangan nakal-nakal," Kata Mama lagi.
"Iya Opung!"
Setelah Bapak dan Mama pergi. Aktar mulai menunjukkan taringnya.
"Bibi... buatkan minuman yang dingin ya."
"Bimbii bukan Bibi. Memangnya kapan aku kawin sama Pamanmu?"
Tiba-tiba kami berdua sudah menutup hidung masing-masing saat mencium aroma yang tak sedap dan kasat mata.
"I have a question for you," Ujarnya serius.
"What?" Balasku galak.
"Kau kentut ya?" Tanya Aktar polos.
"Anjing kau itu! Kujitak juga kepala kau nanti. Kau itu yang kentut! Enak aja nuduh orang!"
"Ngaku ajalah. Aroma baunya tercium dari arah kau pun masih mau ngelak!" Tuduhnya lagi tanpa bukti yang kuat.
Aku meradang dan bangkit berdiri sambil berkaca pinggang. "Belum pernah ditempeleng (ditampar) bolak-balik muka kau itu ya?"
"Bou!" Panggil Ral menarik ujung bajuku.
"Apa?!" Tanyaku yang masih kesal.
"Ral tadi kentut dan sekarang mau eek."
"Kenapa nggak bilang dari tadi?? Gara-gara kau Bou jadi tersangka tau?"
Ral menghadap Aktar. "Maaf ya Om. Tadi Ral udah coba tahan tapi akhirnya kelepasan."
Aktar mengangguk dengan tangan yang masih menutupi hidung.
"Ral udah minta maaf. Ayo Bou kita ke kamar mandi. Ral udah nggak tahan lagi." Dia membuka celananya begitu cepat dan berlari ke TKP.
22-Februari-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top