Lima puluh lima

Seperti biasanya, Aktar selalu rutin menemaniku setiap kali kontrol ke dokter kandungan di hari Sabtu. Tapi begitu sampai di klinik, suster mengabarkan bahwa dokternya tidak praktek karena sedang seminar di singapore. Berhubung kehamilanku sudah memasuki tujuh bulan, aku tidak berani menunggu sampai sabtu berikutnya. Jadi aku dan Aktar memutuskan untuk memeriksakan kandungan di rumah sakit saja.

Saat sedang antri menunggu giliran dipanggil, aku menyiapkan beberapa pertanyaan ke dokter terkait kondisi kehamilanku yang agak aneh. Saat memasuki bulan keenam, kenapa kakiku bengkak dan terasa sakit? Kondisiku pun makin payah sejalan dengan bertambahnya usia kehamilan. Selain itu pipisku juga berbuih padahal biasanya tidak seperti itu. Belum sempat aku memikirkan pertanyaan lain, tiba-tiba Aktar mencolek lenganku dan menunjuk ke arah suster yang ternyata sudah memanggil namaku.

"Ibu Arimbi?" tanya suster tersebut saat aku dan Aktar menghampirinya.

"Iya, Sus."

Kemudian dia menyuruh kami masuk. Setelah itu tekanan darahku diukur dan timbang berat badan juga. Aku cukup kaget melihat angka 62 di angka timbangan. Wah, ternyata beratku nambah banyak. Padahal sebelum hamil berat badanku hanya 47 kg.

"Ibu pusing?" tanya suster yang nampak panik saat mengukur tensiku.

"Sekarang?" tanyaku balik.

"Iya, Bu."

Aku bergeleng. "Enggak tuh Sus, emang kenapa ya?"

"Ini tekanan darahnya tinggi sekali Bu, 160."

"HAH???" aku dan Aktar sama-sama terkejut.

"Coba kita ukur tensinya 15 menit lagi ya Bu, siapa tahu karena tadi Ibu habis jalan kesini."

"Iya, Sus." Aku mengangguk.

Memang sejak awal kehamilan tekanan darahku sudah di atas normal. Tapi biasanya tensiku hanya 140, tidak pernah mencapai 160. Memikirkan itu membuat pikiranku menjadi tidak karuan karena takut terjadi sesuatu dengan kandunganku.

Setelah menunggu lima belas menit, aku pun ditensi ulang dan hasilnya malah menunjukkan angka 170/130. Selanjutnya dokter itu melakukan pemeriksaan pada kandunganku. Rasa takut mulai menghampiriku, ketika dokter meminta suster itu mengambil sampel urin milikku untuk di tes.

Setengah jam berlalu, hasil tes urine pun sudah keluar. Dengan seksama dokter Benitha, Sp. Og memeriksa dan menganalisa secarik kertas yang yang ada di tangannya.

"Dari hasil lab ini, dikatakan adanya protein urine +2 dan berat badan bayinya hanya 500 gram. Padahal di usia kandungan 7 bulan, seharusnya berat badannya mencapai 1 kg," jelas dokter Benitha kepada kami berdua.

"Maksudnya apa Dok?" tanya Aktar bingung.

"Artinya istri Anda harus diopname sekarang juga. Dia suspect Pre-eklamsia," jawabnya tegas dengan menatap Aktar. "Pre-eklamsia adalah kenaikan tekanan darah pada ibu kehamilan di atas 20 minggu yang ditandai dengan adanya protein dari pemeriksaan urin. Jika penyakit ini tidak ditangani, bisa terjadi komplikasi seperti kejang atau koma, yang disebut dengan Eklamsia. Kondisi seperti ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian Ibu dan janin."

Mendengar penjelasan dari dokter Benitha rasanya aku seperti terkena sambaran petir di siang bolong. Aku melirik raut wajah Aktar yang tampak pucat, ternyata dia sama terkejutnya dengan diriku.

"Penyebab Pre - eklamsia masih belum diketahui secara pasti. Tapi para ahli sepakat bahwa penyakit ini terjadi pada saat proses pembentukan plasenta di awal kehamilan. Ketika plasenta menempel ke dinding rahim, seharusnya terjadi perubahan pembuluh darah rahim dan plasenta, agar rahim Ibu dapat memenuhi kebutuhan darah plasenta dan janin. Tapi kondisi ini yang tidak dipenuhi oleh ibu Arimbi, sehingga kebutuhan darah plasenta dan janinnya jadi berkurang. Penyakit ini juga dapat menyebabkan fungsi ginjal terganggu. Sari makanan yang seharusnya disaring oleh ginjal untuk kebutuhan darah dan janin, tidak dapat disaring secara sempurna oleh ginjal, sehingga sari makanan tersebut terbuang dan akhirnya memenuhi kaki, tangan dan wajah ibu Arimbi. Itulah sebabnya, kaki ibu Arimbi mengalami bengkak yang lebih besar dari biasanya. Wajah dan tangan pun mengalami hal yang sama. Makanya berat janin dalam kandunganya itu hanya 500 gram.  Dikarenakan kurangnya asupan makanan bagi si janin pada saat kehamilan," lanjut dokter itu lagi.

"Jadi istri saya harus bagaimana Dok?"

"Istri Anda harus dirawat di rumah sakit sampai kondisinya normal lagi. Tapi kalau ternyata sampai besok belum normal juga, maka kita harus mengakhiri kehamilan."

"Mengakhiri kehamilan? Apa maksud dokter?" tanyaku tak senang.

"Ya kita harus keluarkan bayinya dari perut Ibu."

Aku bangkit berdiri dan menarik tangan Aktar untuk pergi dari rumah sakit itu. "Kita cari dokter kandungan lain aja. Dokternya nggak bagus, masa dia nakut-nakutin kayak pasiennya. Bukannya bikin sembuh, malah bikin ibu hamilnya makin stress!"

Bukannya segera membawaku pergi, Aktar malah memintaku untuk kembali duduk ke kursi. Dan itu benar-benar membuatku kesal. Jadi aku putuskan untuk pulang sendiri, namun Aktar langsung mencegat tanganku.

"Duduk dulu Bii," pintanya lagi seraya menatapku. "Tenangkan dirimu, aku, kamu dan dokter akan cari jalan keluarnya sama-sama. Emosimu tidak akan menyelesaikan masalah ini."

"Dia bilang akan mengeluarkan anak ini!" teriakku padanya. Lalu detik selanjutnya aku sudah menangis. "Usianya bahkan baru masuk tujuh bulan. Dia belum cukup kuat untuk dilahirkan. Aku takut terjadi hal yang buruk dengannya."

"Perlu ibu Arimbi ketahui, pada kasus preeklamsia-eklamsia, bayi memang diusahakan untuk dikeluarkan pada usia kehamilan setua mungkin. Tapi jika kondisi ibu Arimbi semakin buruk, dalam arti gejala eklamsia semakin nyata, mau tidak mau sebagai dokter saya diharuskan mengeluarkan bayi berapa pun usianya. Karena tujuan utama kami adalah menyelamatkan jiwa sang ibu, baru bayinya," ujar dokter Benitha padaku.

"Tapi aku mau bayiku selamat, Dokter!"

"Ya kalau begitu, ibu Arimbi harus mau dirawat di sini sampai kondisi Anda normal. Saya akan bantu supaya kehamilan Anda bertahan sampai mencapai 37 minggu, sehingga bayinya cukup matang untuk lahir ke dunia."

"Bagaimana Bii? Kau mau ya dirawat di rumah sakit? Biar dokternya bisa memantau keadaanmu dan bayi kita," ucap Aktar meyakinkanku.

"Nanti siapa yang jagain aku di sini? Kau kan kerja setiap hari."

"Ada Mamamu dan Mamaku yang akan gantian jagain."

"Aku nggak mau ngerepotin mereka."

"Yaudah nanti aku minta cuti, biar bisa jagain."

Aku langsung mengangguk tanpa protes lagi.

*****


Seusai dipasang infus dan alat medis lainnya, aku langsung dibawa ke ruangan khusus untuk pasien pre eklamsia. Jadi hanya ada satu pasien di ruang perawatan tersebut dan hanya boleh ditungguin oleh satu orang saja.

Aku menoleh ke pintu saat melihat Aktar masuk ke dalam sambil berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.

"Siapa?" tanyaku ketika dia sudah selesai teleponan.

"Mama," jawabnya seraya menarik satu kursi untuk duduk di samping ranjangku. "Tadi aku baru ngabarin sekalian minta izin cuti untuk beberapa hari."

Aku mengangguk dan menatap kukuku yang mulai panjang. Aku paling tidak suka memelihara kuku panjang-panjang. Jadi aku memilih untuk menggigitinya satu per satu karena tidak membawa gunting kuku.

"Itu jorok Bii!" tegur Aktar dengan menarik tanganku.

"Aku risih kalau panjang gini kukunya. Perasaan baru seminggu lalu potong kuku, eh udah panjang aja." aku melanjutkan lagi untuk menggigitnya namun Aktar langsung menahan tanganku.

"Tunggu aku carikan gunting kukunya. Jangan digigit lagi, jorok banget!" Dia berjalan ke arah pintu.

"Mau cari di mana? Kalau dalam lima menit kau nggak datang, jangan kaget ya lihat kukuku udah bersih dan kinclong nanti."

Aktar memberiku tatapan tajam sebelum dia menutup pintu dari luar. Dan tak sampai lima menit, ternyata dia sudah balik dengan membawa gunting kuku.

"Kau dapat dari mana?" tanyaku penasaran.

Dia kembali duduk di kursi dan menarik jari tanganku untuk menggunting kuku yang panjang. "Dari suster yang jaga di depan."

"Aku aja yang potong."

"Jangan banyak gerak. Tanganmu sedang diinfus," ingatnya padaku.

Aku terpaksa menurut dan memperhatikan Aktar yang tampak berhati-hati menggunting kukuku.

"Aktar...." panggilku pelan

Dia mendongak. "Ya?"

"Ceritakan cerita lucu untukku."

"Hah?"

"Aku ingin mengalihkan pikiranku saat ini."

"Apa yang kau pikirkan?"

"Aku takut dengan ucapan dokter tadi. Aku udah berusaha untuk nggak mikirin, tapi tetap aja kepikiran."

"Semuanya akan baik-baik saja. Jangan pikirkan yang aneh-aneh," balasnya sambil lanjut memotong kuku.

"Tapi bagaimana kalau yang dikatakan dokter itu terjadi? Jika nanti disuruh memilih antara aku dan anak ini, siapa yang akan kau selamatkan lebih dulu?"

"Aku tidak akan menjawab," ujarnya tanpa menatapku.

"Aku ingin mendengar jawabanmu."

"Tidak usah. Jawabanku hanya akan membuatmu marah nanti."

Sepertinya aku tahu jawaban Aktar.
Walaupun dia tidak mengatakan pilihannya, tapi aku sangat yakin dia pasti memilih bayi kami untuk diselamatkan. Seharusnya aku senang kan? Tapi entah kenapa aku malah sedih menerima kenyataan bahwa aku tidak cukup penting baginya.

"Apa kuku di kakimu juga mau dipotong?" tanyanya begitu selesai menggunting kuku bagian tanganku.

"Nggak perlu," tolakku cepat dan mencoba berpura-pura tidur.

Saat sudah terpejam, aku merasakan bagian tanganku yang diinfus digenggam oleh Aktar. Aku mencoba untuk menariknya, tapi dia tetap menahannya dengan erat. Aku menyerah dan membiarkan Aktar menggenggam tanganku.


"Makasih, Bii. Meskipun kau selalu meminta untuk berpisah tapi kau tidak pernah melepaskan cincin pernikahan kita."

"Berisik ah! Aku mau bobok!" balasku seraya merubah posisi tidur menjadi menyamping. Sehingga mau tidak mau Aktar harus melepas genggamannya.

Tunggu saja aku keluar dari rumah sakit, bakal aku buang dan hancurkan cincin ini. Biar dia sakit hati!

1-April-2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top