Lima puluh empat.

Tepat jam sebelas siang, aku keluar dari kantor seorang Notaris dengan membawa satu map bewarna merah dalam pelukanku. Setelah masuk ke dalam mobil, aku meminta Supri untuk mengantarkanku ke Hotel milik keluarga Wiraatmaja yang menjadi tempat Aktar bekerja.

Supri langsung menjalankan mobil tanpa bertanya apapun padaku. Sekitar lima belas menit perjalanan, mobil kami sudah memasuki lobby hotel yang disambut oleh seorang doorman. Dia membukakan pintu mobil dan mengucapkan selamat datang. Aku tersenyum membalasnya sambil melangkah keluar.

Sandal teplek Zara yang kukenakan menimbulkan bunyi saat bersentuhan dengan lantai. Aku mengabaikan tatapan orang di sekitar dan terus berjalan ke arah resepsionis.

"Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" sapa perempuan hitam manis dari balik meja kerjanya.

"Saya mau ketemu dengan General Manager di hotel ini."

"Maaf, apa sebelumnya sudah membuat janji dengan pak Aktar?"

"Mbak tidak kenal siapa saya?"

Resepsionis itu bergeleng dengan senyum kikuk. Spontan aku melotot. Tapi aku tahu Mbak itu tidak bisa melihat pelototanku karena saat ini aku sedang memakai kacamata hitam merk Zara.

Tolong jangan bilang aku pamer, aku hanya ingin menghargai pemberian dari Mama mertuaku saja. Beliau sering membelikanku banyak barang tapi tidak pernah kupakai. Semuanya masih tersimpan rapi di dalam Walk in closet kamar.

"Coba perhatikan wajahku baik-baik. Masa kau tidak mengenaliku?" kataku seraya melepas kacamata dan memasangnya di atas kepala.

Mbak resepsionis itu memandangku agak lama tanpa berkedip, namun sepertinya tidak menemukan jawaban. Hingga akhirnya dia bertanya dengan rekan kerja yang ada di sebelahnya. Gelengan kepala dari temannya itu membuatku benar-benar kesal. Spontan tanganku menepuk meja, hingga membuat mereka terkejut. Baru saja akan mengomel, tiba-tiba suara Supri dari belakang mengalihkan perhatianku.

"Nyonya, Arimbi!" panggilnya sambil berlari.

"Apa?"

"Map yang Nyonya pegang tadi ketinggalan di mobil." Supri menyodorkan Map itu kepadaku.

Astaga! Kenapa aku bisa melupakannya? Padahal tujuanku menemui Aktar kan untuk memberikan isi Map ini ke dia.

Kuambil Map itu darinya. "Makasih, Supri."

"Iya, Nyonya." Dia mengangguk. "Ngomong-ngomong, Nyonya sudah tahu kan ruangan pak Aktar di lantai berapa?"

Aku belum sempat menjawab karena mbak Resepsionis itu melempar pertanyaan lebih dulu ke Supri, sehingga mereka saling pandang.

"Kamu kenal sama Ibu hamil ini?"

Supri mengangguk. "Ya kenal. Ini majikan saya, istrinya pak Aktar."

"Oh istri pak Aktar," ujar Mbak itu tersenyum kikuk memandangku.

Aku mendengus dan kembali memakai kacamata hitamku dengan gaya angkuh. "Heran aku tuh. Masa kalian lebih kenal Supri yang hanya supir, daripada aku yang jelas istrinya GM hotel ini."

"Maaf, kami tidak pernah melihat ibu Arimbi datang ke hotel ini. Jadi kami kurang mengenali wajah Ibu."

Aku mengibaskan tangan di udara. "Udahlah. Sekarang kasih tahu aku, di mana ruangan Aktar. Aku capek berdiri nih dari tadi."

"Sebentar ya, Bu." Resepsionis itu mengangkat gagang telepon dan berbicara sebentar. Lalu kemudian menatapku. "Silahkan naik ke lantai 21. Nanti akan ada sekertaris pak Aktar yang mengantar ibu Arimbi ke ruangan."

"Terima kasih," balasku.

Tanpa membuang waktu, aku segera berjalan ke arah lift. Di dalam sana aku memandang pantulan diriku pada pintu lift. Aku terlihat seperti ibu hamil yang kalem dengan dress putih ini.

Ting!

Itu suara pintu lift yang terbuka ketika sudah sampai di lantai 21. Saat aku melangkah keluar dari lift, aku langsung berhadapan tiga lorong besar yang berselimut kaca, sehingga terlihat mewah sekali. Meski aku dan Aktar sudah menikah berbulan-bulan, tapi ini pertama kalinya untukku menginjakkan kaki di sini.

"Selamat siang, ibu Arimbi."

Aku menoleh ketika mendengar suara halus dari sebelah kiri. "Oh, Jesus!" ucapku terperanjat menatap sosok wanita berambut panjang itu.

Bagaimana tidak kaget? Matanya tidak terlihat karena tertutup poni, mirip seperti SADAKO!

"Maaf telah membuat ibu Arimbi terkejut. Perkenalkan, nama saya Xiena. Saya sekertarisnya pak Aktar," katanya dengan senyum sepatah. Benar-benar horor!

Aku mengelus dadaku yang sempat terkena terapi jantung gara-gara wanita sadako ini. "Di mana ruangannya?" tanyaku.

Dia menunjuk lorong yang ada di sebelah kiri. "Ini lorong menuju ruangan General Manager. Silahkan ikuti saya."

Aku ikut dengan berjalan di sebelahnya. Kuperhatikan penampilannya dari bawah hingga atas. Demi apapun, dia sama sekali tidak cocok menjadi sekertaris. Dia terlihat seperti pemain film horor.

Err... Kenapa Aktar memperkerjakan orang aneh seperti Xiena ini?

Aku berhenti jalan saat melihat Xiena juga berhenti. Tanpa menoleh, dia melirikku dari balik poninya.

"Kenapa?" tanyanya halus.

"Aku tidak berkata apa-apa," jawabku bingung.

"Kenapa ibu melihat saya dari tadi?"

Aku terdiam sesaat. Ternyata dia tahu kalau aku memperhatikannya dari tadi. Otakku langsung berpikir keras untuk mengelabuinya. "Hmm... Anu. Aku cuma mau tanya. Lorong yang di tengah sana untuk apa?"

Dia kembali lanjut berjalan dan itu membuatku merasa lega. "Lorong tengah adalah ruangan rapat. Biasanya digunakan jika sedang mengadakan rapat khusus pemegang saham. Kalau lorong sebelah kanan itu adalah ruangan Wakil Presiden Direktur dan Presiden Direktur."

"Oh." aku mengangguk sambil masuk ke ruang kerja Aktar. Aku berdecak kagum melihat gaya interior ruangannya yang didesain secara modern dan minimalis.

Meja kerjanya berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari kaca tebal dengan kursi hitam dengan posisi membelakangi jendela kaca yang membentangkan pemandangan kota Medan. Selain meja kerja, ada juga televisi plasma yang menempel di dinding beserta sofa panjang bewarna putih. Sementara di sudut ruangan ada toilet kecil dan ruang dapur mini.

Tapi sayang, ruangannya terlihat dingin dan kaku karena tidak memiliki hiasan sama sekali. Aku tidak menemukan adanya bunga, pajangan, foto keluarga, atau piagam penghargaan yang seharusnya bisa Aktar pamerkan di sini.

Kulepas kacamata dan menatap si Sadako. "Ngomong-ngomong ruangan ini kok sepi? Di mana pemiliknya?" tanyaku setelah puas menjelajah ruangan.

"Biasanya jam segini pak Aktar sedang melakukan inspeksi kebersihan kamar. Sebentar lagi juga akan datang. Ibu silahkan duduk sambil menunggu, saya permisi dulu."

Setelah Sadako pergi, aku duduk di kursi kebesaran milik Aktar yang benar-benar empuk. Pasti harga kursi ini mahal. Lebih mahal dari harga satu ginjalku sepertinya.

Aku menoleh ke arah pintu saat mendengar pintu dibuka. Ah, ternyata orang yang ditunggu-tunggu datang juga.

"Kau? Tumben ke sini, ada apa?" tanyanya sambil menutup pintu.

"Tanda tangani ini," kataku dengan meletakkan map di atas meja.

Dia berjalan menghampiri meja kerjanya dan mengambil map itu. "Apa ini?"

"Buka dan baca saja."

Dahinya tampak berkerut saat melihat isi map tersebut. Selesai membacanya, map itu diletakkan kembali ke meja. "Kau masih ingin berpisah? Bukannya mantanmu sudah menolakmu?"

"Niko tidak menolakku. Dia hanya..." aku berpikir mencari kata yang tepat untuk kusebutkan. "Niko hanya merasa minder jika dibanding denganmu. Aku sangat yakin, dia masih mencintaiku."

Aku berdiri dari kursi dan membuka map itu sambil memberinya pulpen untuk menandatangani surat perjanjian yang dulu pernah aku ajukan padanya sebagai syarat boleh mengasuh anak kami.

Pertama, Aktar tidak boleh menikah lagi dengan siapapun.

Kedua, aku berhak menemui anak kami kapan saja. Jika Aktar melanggar salah satu dari syarat itu, maka hak asuh anak akan diberikan padaku.

"Kau tidak mau bersamaku tapi kau tidak ingin orang lain memiliki aku. Apa maksudmu sebenarnya?" tanyanya jengkel.

"Aku tidak mau anak ini punya ibu tiri!"

"Siapa yang kau maksud ibu tiri?"

"Terra. Kau berencana mau mendekatinya kan? Aku tahu itu, tapi aku tidak bodoh. Bahkan kalian berdua udah saling follow di instagram. Kau pikir, aku bakal diam saja melihat pendekatan kalian? Enggak bakal!"

"Apa hubungannya?"

"Kau bahkan tidak memfollow akun instagram milikku!" kataku setengah teriak.

Satu alisnya tertarik ke atas dan menatapku. "Saat ini kau terlihat seperti sedang cemburu."

"Apa?" tanyaku ulang.

"Kau cemburu."

Aku terdiam sejenak. Lalu kemudian tertawa kencang sambil memegang perut. "Aku? Cemburu? Yang benar saja."

"Kelakuanmu mengingatkanku pada Edgar. Dulu dia juga bertingkah sepertimu kalau melihatku mulai dekat dengan orang lain."

"Jangan mimpi! Aku nggak mungkin cemburu. Aku itu cuma cinta sama Niko. Jadi sekarang, cepat tanda tangani surat perjanjian ini." paksaku dengan memberikan pulpen ke dalam tangannya.

Aktar memandangku sejenak, lalu dia menghela napas dan menandatangani surat perjanjian itu. Aku tersenyum seraya memeluk map itu sambil berjalan ke arah pintu.

"Urusanku udah selesai, kalau begitu aku pulang dulu."

"Kau sendirian pulangnya?" tanyanya.

"Ada Supri di bawah," jawabku.

"Kalau sudah sampai di rumah, kasih tahu aku."

"Cerewet ah!" balasku ketus. Tapi sebenarnya aku senang kalau dia perhatian padaku.

Jangan ge'er. Aktar hanya mengkhawatirkan anaknya dalam perutmu!

Diam! Suara siapa sih itu? Jangan sampe ku smackdown ya, beserak kau nanti! Mengganggu kebahagiaanku saja.

Baru akan membuka pintu, tiba-tiba perutku menegang seperti waktu di mobil dulu. Aku menunduk sambil memegang perutku.

"Kenapa Bii? Perutmu kram lagi?" tanya Aktar menghampiriku.

Aku mengangguk. "Perutku sakit banget."

"Ayo, duduk dulu." Dia membantu berjalan ke arah kursi kerjanya.

Ketika aku sudah duduk, Aktar memutar kursi itu untuk menghadapnya, lalu berjongkok di depanku. Aku cukup kaget saat tangan kanannya masuk dari bawah dress milikku.

"Kau mau ngapain?!" tanyaku melotot dengan menahan tangannya.

"Kau diam saja. Aku sudah membaca buku tentang cara mengatasi perut kram ibu hamil."

"Tapi aku malu. Pasti di ruangan ini memiliki cctv," kataku sambil mencari kamera di sudut atas ruangan.

"Tidak ada cctv di ruanganku. Jadi diamlah!"

Aku menurut dan membiarkan Aktar menaikkan dress yang kukenakan itu. Demi apapun, wajahku pasti merah seperti kepiting rebus. Kalau tadi hanya menampilkan perutku saja, tidak masalah. Tapi ini, bagian celana dalam dan kedua pahaku terpampang nyata di hadapan Aktar.

Saat ini rasa maluku lebih besar dibanding rasa nyeri yang ada dalam perutku.

Aktar mulai mengelus pelan kulit perutku dari kiri ke kanan dan dari atas ke bawah. Dia melakukan itu secara bolak-balik. Aku sudah tidak ingat kapan terakhir kali kami bersentuhan sedekat ini.

Tiba-tiba saja aku merasa janin dalam perutku bergerak mengikuti sentuhan Aktar. Sepertinya Aktar juga menyadari itu, karena dia menatapku saat ini.

"Aku merasa dia bergerak," ujarnya.

"Mungkin itu karena efek dari sentuhanmu, jadi dia meresponnya."

Aktar tersenyum dan menatap perutku. "Hai, Nak. Ini Papa."

Eh, dia bergerak lagi!

"Kamu jangan nakal di dalam sana ya. Jangan bikin perut Mamamu sakit lagi. Papa sayang kamu, sehat terus ya Nak." ajak Aktar berbicara seolah tengah berkomunikasi dengan anak kami. Kemudian menundukkan wajahnya untuk mencium perutku.

Aku tertegun menyaksikannya. Ada rasa aneh dan membingungkan yang menyelinap dalam hatiku. Rasa itu tanpa sadar menggerakkan tanganku untuk mengelus pelan kepala Aktar yang masih mencium perutku. Ketika Aktar mengangkat kepalanya dan menatapku, detik itu juga aku langsung tersadar bahwa aku sudah gila. Spontan saja aku menjauhkan kepalanya dan menurunkan dress-ku.

"Udah nggak sakit lagi," kataku sambil berdiri. Dengan cepat aku berjalan keluar dari ruangannya.

28-Maret-2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top