Lima Puluh Delapan.
Aku memutuskan untuk tetap lanjut pergi. Persetan dengan dompetku yang tertinggal di dalam mobil, yang penting saat ini ada ponsel di tanganku. Lagipula aku tidak mau harga diriku jatuh di depan Aktar. Aku yakin dia pasti sedang tertawa melihat kebodohanku tadi. Seharusnya aku sadar kalau aksi teror itu hanya sebuah simulasi, tapi sayangnya otakku tidak bisa bekerja dengan baik di saat sedang panik.
Begitu sampai di lantai dasar, segera kubuka kontak Hp dan mengetikkan huruf B di bagian pencarian sehingga nama "Bucin Nutrijel" muncul di layar. Tak ingin membuang waktu lagi, lantas aku langsung menghubungi nomornya.
"Ada apa?" tanya Edgar ketika menjawab teleponku.
"Aku butuh bantuanmu," ucapku to the point.
"Bisakah kau menjemputku?"
"Aku ini seorang pebisnis. Seharusnya kau berbasa-basi dulu, sebelum minta bantuan. Tanyakan, apakah hari ini aku sedang sibuk atau tidak?"
Kedua bola mataku berputar. "Baiklah. Apa kau sibuk hari ini?"
"Tidak," jawabnya cepat.
"Jadi bisakah kau menjemputku?"
"Kenapa aku harus menjemputmu?" Tidak ada yang salah dari pertanyaannya, hanya saja nada suaranya itu terdengar sangat menyebalkan di telingaku.
"Tadi aku habis ribut dengan Aktar. Energiku banyak terkuras dan sekarang aku sangat lapar. Aku ingin pergi untuk mencari makan siang tapi dompetku tertinggal, jadi aku membutuhkan bantuanmu. Kecuali kau ingin melihat anak Aktar yang ada di dalam perutku ini mengalami busung lapar, apa kau tega?"
"Di mana posisimu? Aku akan datang."
"Aku berada di depan parkiran hotel milik keluarga Aktar. Cepat datang ya, nggak pake lama. Aku tunggu."
Setelah mematikan telepon, aku mencari tempat untuk berteduh dari sinar matahari yang begitu panas. Sebenarnya aku bisa minta bantuan dari para sahabatku, tapi aku tidak ingin merepotkan mereka yang sedang bekerja. Biar Edgar saja yang aku ganggu, dia kan seorang Bos. Tidak akan ada orang yang memecatnya jika bolos seharian.
"Ibu Arimbi ya?"
Aku menoleh ke samping saat mendengar suara laki-laki yang menyebutkan namaku. Dia memakai seragam karyawan di hotel ini. "Kau mengenalku?" tanyaku padanya.
"Tentu saya kenal, kan saya pegawai juga di hotel ini. Lagian siapa sih yang tidak kenal dengan istri pak General Manager? Hehe... Tapi kenapa mata Ibu terlihat sembab sekali ya, apa bu Arimbi habis menangis?"
Sialan! Kenapa di saat seperti ini ada yang mengenaliku? Kemarin-kemarin tidak ada.
"Jangan pedulikan saya. Suasana hati saya lagi tidak bersahabat, jadi pergilah. Jangan ganggu saya!" omelku.
"I--iya Bu." Dia mengangguk cepat dan langsung pergi.
Tin-tin-tin-tiiiiinnnnn!!!
Roh dalam tubuhku hampir saja terlepas saat tiba-tiba mendengar suara klakson mobil Range Rover LWB Vogue SE bewarna putih yang berhenti di depanku. Ketika kaca pintu bagian kirinya diturunkan, aku bersiap ingin memaki orang yang berada di dalam mobil itu. Namun aku kembali terkejut saat melihat siapa sosok yang ada di dalam sana.
"Nutrijel? Gila! Express kali kau datang ke sini?? Mobilmu pake mesin turbo ya?" pekikku tak percaya.
Dia tidak menjawab, hanya menyuruhku masuk ke mobil dengan gerakan matanya saja. Setelah aku berada di dalam, dia melirikku.
"Mau makan di mana?" tanyanya.
"Hmm... Makan di Fountainnya Carrefour aja. Udah lama nggak ke sana."
Edgar tidak protes dan langsung menjalankan mobil dengan sangat hati-hati.
*****
Nasi goreng cabe hijau√
Pempek kapal selam√
Halo-halo ice cream√
Fish n chips√
Fruit waffle√
Jus sirsak√
"Kau mau hibernasi ya?" tanya Edgar terheran melihatku memesan banyak makanan hanya untuk diriku sendiri. Sementara dia hanya memesan milkshake dan cheesecake. "Pesan segini banyak, udah kayak mau persediaan musim dingin aja."
Aku tidak peduli. Dia pikir dengan berkata seperti itu bisa mematikan selera makanku?Jangan harap!
"Tenang aja.. ini baru makanan pembuka," ucapku dengan senyuman licik.
Aku begitu bersemangat menyendokkan nasi goreng cabai hijau ke dalam mulutku. Rasanya ingin cepat-cepat memakan semua makanan yang ada di atas meja.
"Tadi kau bilang lagi ribut dengan Aktar kan?"
Aku mengangguk sambil mengunyah. "Iya. Kenapa?"
"Itu dia datang ke sini."
Aku menoleh ke belakang dan spontan tersedak saat melihat sosok Aktar sedang berjalan ke arah meja kami. "Dari mana dia bisa tahu kita ada di sini?"
Edgar mengedikkan bahunya. "Mana aku tahu. Kau tanya aku, terus aku tanya siapa?"
Aku memberengut kesal seraya mengambil gelas yang ada di sebelah kiriku dan meminumnya.
"Hey, itu minumanku!" seru Edgar.
Segera kulepas sedotan dari mulutku dan melihat isi gelas tersebut. Ternyata itu adalah Milkshake milik Edgar.
"Eh maaf," kataku merasa bersalah telah meminum setengah gelas Milkshake miliknya. "Aku pikir tadi itu punyaku."
"Punyamu jus sirsak dan punyaku milkshake. Apa kau tidak bisa membedakannya?" tanyanya dengan nada jengkel.
"Bisa... Tapi tadi itu aku nggak konsentrasi jadi asal ngambil. Lagipula rasanya enak, yaudah aku minum aja. Kau jangan marah lah, kan masih bisa dipesan lagi."
Edgar mendengus dan di saat yang bersamaan Aktar tiba di meja kami.
"Kenapa tidak menjawab teleponku?" tanyanya langsung.
"Dari mana kau tahu aku ada di sini?" tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaannya.
"Tadi aku menyuruh pegawaiku untuk mengikutimu. Dan mereka memberitahuku kalau kau pergi ke Mall bersama seorang pria. Aku khawatir makanya aku menyusul ke sini."
"Tenang saja... istrimu aman pergi denganku," sahut Edgar.
"Ah nggak juga. Waktu itu kau pernah berniat ingin menculikku tapi kau membatalkannya karena tahu aku sedang hamil anak Aktar," balasku cepat.
Detik itu Edgar langsung melotot menatapku. Tapi aku tidak perduli dan tetap melanjutkan memakan nasi goreng.
"Kau sudah tahu kalau Edgar pernah punya niat buruk padamu. Tapi kenapa kau masih berani pergi dengannya dalam kehamilan besar begini?"
Edgar tampak tersinggung. Dia berdiri dan memegang lengan kanan Aktar. "Aku memang pernah punya niat buruk terhadap istrimu, tapi tidak dengan calon anakmu!"
"Sama saja. Mereka berdua sudah jadi bagian dari keluargaku. Jika kau menyakiti salah satu di antaranya, maka kau juga ikut menyakitiku."
Dalam keadaan mengunyah aku menatap tajam ke arah Edgar. "Hey, Nutrijel! Kau kalau lagi marah ya marah aja! Nggak usah pake pegang-pegang Aktar juga! Kau mau cari kesempatan dalam kesempitan ya?!" seruku dengan susah payah karena harus menjaga nasi di dalam mulutku agar tidak berhamburan.
Aktar segera menjauh dari Edgar setelah mendengar perkataanku tadi. "Habis makan ini, kita pulang bersama."
"Enggak! Aku masih ingin sendiri!" tolakku sambil terus menyendok nasi goreng ke dalam mulut.
"Kenapa nggak mau? Memangnya aku ada buat salah samamu?"
"Salahmu banyak!!! Makanya sekarang aku lagi malas lihat mukamu! Udah pergi sana jauh-jauh. Aku lagi pingin sendirian, ngerti nggak sih?!"
Aktar terdiam menatapku. Sementara Edgar tampak sibuk membersihkan butir-butir nasi yang berhamburan di atas meja ketika aku marah-marah tadi. Edgar tampak telaten dan cekatan mengumpulkan nasi-nasi itu ke pinggiran meja.
"Ed, tolong jaga istriku untuk hari ini. Kau tenang saja, semua biaya makanan yang dia pesan tadi akan aku bayar."
Edgar kembali tersinggung dengan ucapan Aktar. Tapi aku menikmati keributan mereka berdua. Segera kupinggirkan piring nasi goreng yang telah habis dan beralih ke pempek kapal selam yang sudah menggodaku sedari tadi.
"Apa maksudmu?! Kau pikir aku tidak mampu membayarnya? Bahkan seluruh isi dalam Mall pun bisa aku beli detik ini juga! Lagipula, kau tidak perlu berakting seolah peduli dengan calon anakmu. Aku tahu, kau tidak menyukai kehadirannya dan ingin melenyapkan dia dari dunia ini kan?"
"Ed, apa kau sudah tidak waras? Kenapa kau bisa menuduhku seperti itu? Aku tidak mungkin membunuh darah dagingku sendiri!"
"Tadinya pun aku tidak percaya. Tapi istrimu sendiri yang mengatakannya padaku. Jadi siapa di antara kalian berdua yang berbohong?"
Aku kembali tersedak, kali ini karena mendengar perkataan Edgar. Segera kuraih gelas yang berisi jus sirsak milikku dan meminumnya. Sesekali aku melirik Aktar yang kini sedang menatapku dengan tatapan menuntut penjelasan. Selesai bersihkan mulut dengan tisu, aku bangkit berdiri.
"Oke-oke. Aku akan mengaku. Di sini aku yang berbohong. Waktu itu aku sengaja mengarang cerita itu supaya Edgar tidak memberitahukan ke Aktar kalau aku sedang hamil. Sudah jelas kan? Kalau begitu biarkan aku pergi. Tiba-tiba aku malas lihat muka kalian berdua!"
Aku segera keluar dari Fountain dan turun ke lantai bawah dengan eskalator. Terdengar suara Aktar dari belakang yang memanggilku, dengan cepat dia menyusulku ke arah parkiran.
"Kau mau pergi ke mana lagi?"
"Ke tempat yang nggak ada kaunya!" jawabku ketus.
"Oke. Hari ini aku akan menginap di hotel, supaya kau tidak melihatku di rumah. Jadi kau pulang ke rumah kita ya."
"Nggak mau! Udah pergi sana!" teriakku padanya tapi dia tidak peduli dan tetap mengikutiku berjalan. "Aku beneran bakal marah kalau kau tetap bersikeras mengikutiku!"
Ancamanku barusan ternyata cukup ampuh membuat Aktar berhenti. Setelah itu aku menghentikan sebuah taksi yang lewat di depan Mall.
"Tujuannya ke mana Mbak?" tanya si supir saat aku masuk ke dalam.
Aku menyebutkan alamat kedua orang tuaku. Kemudian supir mulai menjalankan mobil, kulihat dari kaca belakang Aktar masih berdiri di sana. Segera kubuka aplikasi WA dan mengetik pesan untuknya.
Me : Dasar bodoh! Kenapa kau masih berdiri di sana?!
Aku bergeleng dan menghapus pesan itu sebelum mengirimnya. Kuketik ulang lagi pesan untuk Aktar.
Me : Pulanglah.
Kemudian kutekan tombol kirim, setelah itu aku mematikan ponsel.
*****
Sesampainya di gerbang rumah, aku menyuruh supirnya menunggu sebentar karena aku harus minta uang ke Mamaku untuk membayar taksinya.
"Mamak!" teriakku mengetuk pintu. "Maakk....."
Tak ada sahutan dari dalam rumah. Aku coba ketuk lagi, kali ini lebih keras dan tak berapa lama pintu rumah pun terbuka. Aku terdiam saat melihat wajah Mama yang sedang maskeran.
"Apa?" tanya Mama pelan, takut masker di wajahnya retak.
"Minta duit Mak, mau bayar taksi. Dompetku ketinggalan."
"Ambil di lemari. Dompet Mamak di situ."
Aku mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Selesai membayar uang taksi, aku berencana ingin tiduran di kamar, namun tiba-tiba Mama menghalangi jalanku tepat di depan pintu.
"Kenapa datangnya naik taksi? Biasanya kau pergi mana-mana di antar supir pribadi. Terus mana suamimu, kenapa nggak nemani kau ke sini?"
"Supirnya lagi pulang kampung. Kalau Aktar lagi sibuk kerja jadi nggak bisa ikut."
"Hey, yang kau kiranya Mamakmu ini bodoh? Kau dengar ya, sebelum kau jadi ular, Mamak ini udah jadi ternak Naga. Jadi kau jangan coba tipu-tipu Mamak! Kan jadi retak maskerku gara-gara kau!"
"Kok aku? Kan Mamak sendiri yang merepet (mengomel) barusan."
"Ya itu karena kau borjong (ngeselin)!"
Aku memasang wajah kasihan. "Mak, aku tidur di sini ya."
"Udah Mamak duga itu. Ngaku kau, pasti ribut sama Aktar ya kan?"
Aku mengangguk. "Habis dia selalu bikin emosiku naik terus. Kan itu nggak baik ke kandunganku. Makanya aku milih pergi buat tenangin pikiranku."
Mama menghela napas panjang. "Kalau bukan karena mikirin kau lagi hamil, nggak akan mau Mama kasih kau masuk ke rumah."
"Berarti sekarang aku boleh masuk kan?" tanyaku menyengir.
"Kali ini Mamak izinkan."
"Yeay!" teriakku sambil memeluk beliau.
"Tapi jangan jadi kebiasaan kalau lagi ribut sama suami, main pergi gitu aja. Nggak bagus itu. Kalau ada masalah ya diselesaikan. Ribut dalam rumah tangga itu hal yang biasa. Kakak beradik yang masih sedarah aja kadang bisa ribut, apalagi suami-istri."
"Mamak sama Bapak pernah ribut juga?"
Mamak mengangguk. "Pernah lah. Tapi setiap kali bertengkar, Mamak sama Bapak selalu ingat dengan pesan Pastor yang menikahkan kami dulu. Jangan mencari seseorang yang sama denganmu. Kau butuh yang berbeda, yang bisa mengajakmu bertengkar setiap hari. Ibaratkan kepingan puzzle yang sama, nggak akan bisa bersatu. Nah suami-istri juga begitu, boleh bertengkar, tapi bertengkarnya untuk membangun bukan untuk menghancurkan. Kau dengar itu?"
"Iya," sahutku pelan.
"Kau udah kabarin Aktar bakal nginap di sini?"
Aku bergeleng. "Enggak."
"Astaga Naga! Bukan cuma masker Mamak lagi yang retak, ginjalmu pun bakal ikut retak nanti Mamak buat! Cepat kasih tahu ke suamimu kau tidur di sini!"
"Iya-iya." Aku berjalan ke dalam kamar sambil menghidupkan ponsel. Setelah hidup, ada banyak chat dari Whats App yang masuk, di antaranya chat dari Aktar.
13.20
•Kalau memang aku ada salah, aku minta maaf.
•Pulang ke rumah, Bii.
13.41
•Beneran nggak pulang?
14.33
•Aku harus jawab apa kalau nanti Mamaku menanyakan keberadaanmu.
Me : Aku nginap di rumah orang tuaku.
Setelah aku membalas chat Aktar. Dalam hitungan detik di bawah profilnya menampilkan status online.
Aktar : Beneran di sana?
Me : Yaudah telpon aja kalo gak percaya!
Aktar : Angkat ya.
Me : Iiistt... Telponnya ke Mamak bukan ke aku! 😠😠😠
Aktar : Kenapa gitu?
Me : Males! Lagi gak pingin diganggu! 😠😠
Aktar : Kau masih marah?
Me : Gausah chat lg. Aku malas.
Aktar : Yaudah kalo malas chat, kita VN aja.
Me : Bisa baca gasih? Kau chat lagi, aku blok!
Satu menit.
Tiga menit.
Lima menit.
Me : Kok cuma diread? 😠😠😠😠
Aktar : LAH? Katanya jgn chat.
Me : Astagaaa. Bego sumpah! Kau doang kayaknya, udah tahu istrinya lg ngambek eh malah dikacangin. UNMOOD BANGET AKU SEKARANG!
Aktar : Aku tadi udah mau balas... Tp takut kau blok.
Me : Terserahhhhhhhh.
Aktar : Bingung aku jadinya. Yaudah, kau mau gimana sekarang? Aku telepon mau?
Me : Gak. Malas!
Aktar : Yaudah. Aku off dulu kalo gitu, ada kerjaan yg hrs aku selesaikan.
Me : Tuh kan? Malah mau off!
Aktar : Bangsat ya Bii! Jadi maunya gimana hah?!
Aku langsung keluar dari aplikasi WA dan mematikan telepon. Aku benar-benar bingung, sebenarnya apa yang terjadi denganku saat ini?
6-Mei-2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top