《Lima》
Untuk kesekian kalinya aku mencuci bersih bibirku dengan menggosoknya dengan cairan antiseptik. Damn! Bibirku telah terkontaminasi dengan bibir pria homo yang katanya mau tobat. Ugh! Biar pun dia ganteng, tapi tetap saja aku merasa geli dengan berciuman dengannya.
Meskipun bukan ciuman pertama, tapi aku cuma mau kissing dengan pria yang aku cinta. Bukan dengan Aktar si biji ketumbar itu!
Satu-satunya pria yang kuizinkan mencium bibirku hanya Niko. Tapi Aktar sialan menciumku tanpa permisi. Dan mirisnya, dia menjadikanku tameng demi bisa terlepas dari pacar gay-nya yang bernama Edgar.
Emosi sendiri jika mengingat kejadian siang di kedai kopi itu. Awas saja jika aku bertemu dengannya lagi, bakal aku sompelin sambal andaliman ke bibirnya. Biar mate (mati) kepedasan!
Segera kubuang air kumuran dari dalam mulutku ke wastafel kamar mandi. Setelah itu aku keluar, dan terkejut saat melihat keberadaan ponakanku Ral ada di kamarku.
"Bou!" Panggil Ral padaku. Bou itu panggillan dari anak Abang ke Adik/Kakak perempuan. Bisa dikatakan aku cukup beruntung karena memiliki saudara yang lengkap. Punya satu Abang dan satu Kakak. Mereka berdua sudah menikah dan memiliki anak. Tinggalah aku si anak bungsu alias paling kecil yang hingga kini belum menemukan pemilik tulang rusuk yang sudah 23 tahun aku curi.
"Hmm...." Gumamku seraya naik ke ranjang untuk melanjutkan tugas yang tertunda yaitu mengetik naskah novel.
"Bou, Ral bingung."
Ck! Masih kecil saja sudah punya konsep bingung.
"Bingung kenapa?" Tanyaku sambil tetap fokus menatap layar monitor laptop.
"Aku itu lahirnya dari mana sih Bou?"
"Itu dulu Mama kamu download, terus Papa kamu yang upload. Makanya dapat kamu," Jawabku sekenanya.
"Oh gitu. Terus... terus... ayam itu pernah pipis nggak Bou?"
"Ya pernahlah."
"Kapan Bou? Kok aku nggak pernah lihat?" Tanya Ral penasaran.
Sebenarnya aku juga tidak tahu kebenarannya. Tapi aku jawab saja, biar kelihatan cerdas gitu di depan ponakan. "Ya waktu ayamnya lagi berak. Jadi ayam itu saluran pipisnya barengan dengan ee. Satu paketan mereka."
"Oh gitu." Ral mengangguk paham. Lalu dia bertanya lagi. "Terus Kenapa Bou sama Mama pipisnya jongkok? Padahal aku sama Bapak pipisnya berdiri?" Cerocosnya lagi.
Mendadak kepalaku terasa gatal. Kenapa sih anak kecil itu pertanyaannya membuat orang dewasa pusing?
"Soalnya kamu kan cowok, sementara Bou cewek. Apa kamu mau punya kayak Bou?" Tanyaku bercanda. Dan aku langsung tertawa kencang begitu dia mengangguk polos. "Nanti kalau kamu udah gede, minta sama Bapak diajak ke Thailand buat operasi transgender ya?"
"Ok Bou!"
"Anak pintar!" Kuelus kepalanya. "Eh tapi nggak usah sih Ral. Nanti kalau kamu udah gede, tampan, keren dan mapan. Kamu bisa dapat banyak yang kayak gituan. Kamu tinggal pilih aja mau yang mana." Aku terkikik sendiri dengan ajaran sesat yang kuberikan pada ponakanku itu.
"Ral!"
Aku dan ponakanku menoleh ke arah pintu kamar begitu mendengar suara Mamanya yang adalah Kakak iparku.
"Dari tadi Mama cariin, ternyata di sini. Ayo mandi dulu Nak, udah sore ini. Jangan ganggu Bou yang lagi ngetik."
Ral segera turun dari ranjang dan berjalan menghampiri Mamanya.
"Umur Ral udah berapa tahun ya, Edaa?" Tanyaku pada Mamanya Ral.
"Lima. Emang kenapa?"
"Nggak apa-apa sih. Cuma makin hari, makin aneh pertanyaan yang dia ajukan."
Mamanya Ral tertawa. "Kemarin lagi dia tanya sama Bapaknya. Pak, kenapa buntut aku sama Bapak ada di depan? Bukannya buntut itu di belakang? Maksud dia penis itu buntut. Terus dia nanya lagi. Kenapa nenen Bapak kecil tapi nenen Mama besar? Sampe pusing Bapaknya jawab."
"Aku aja hampir gila karena dia nanya yang aneh-aneh."
Setelah itu Ral dan Mamanya menutup pintu kamar. Aku pun kembali melanjutkan naskah cerita yang baru setengah jalan kukerjakan. Seperti biasa, aku harus menciptakan tokoh laki-laki yang terlihat sempurna. Karena saat seorang wanita membaca novel, lalu dia mendapati tokoh laki-laki yang jadi tokoh protagonis. Maka wanita itu akan membayangkan sosok laki-laki sesuai tipenya, yang sempurna diangan-angannya. Yang wajahnya tampan, mapan, pintar, taat pada agama, brewokan, punya perut kotak-kotak dan masih banyak yang lainnya.
Maka dari itu, jangan percaya dengan istilah 'Cinta Itu Tidak Memandang Apapun' Ah Bullshit! Hoaks itu semua. Karena cinta sekarang itu sudah terkontaminasi dengan campuran barang apapun, terlebih cinta sekarang sudah mengenal 'Mana Supra dan Mana Inova'
Ahh... bicara tentang Inova. Aku jadi ingat mobil milik Niko yang dulu sering kami pakai saat berkencan. Ternyata memang benar ya, akan ada suatu hari di mana kita teringat kembali dengan kenangan bersama orang yang yang dulu kita cinta.
Niko apa kabarnya ya? Setelah putus, kami berdua benar-benar tidak pernah saling kontak lagi. Aku terlalu gengsi untuk menanyakan kabarnya lebih dulu. Jujur, aku masih sakit hati karena dia tega memutuskanku secara sepihak tanpa alasan yang jelas pula.
Kenapa sih, di saat kita berpikir sudah benar-benar merelakan dia pergi. Dan sudah siap untuk membuka hati kembali. Tiba-tiba semua kenangan itu berputar dalam kepala yang akan membuat kita gundah.
Yang jadi pertanyaannya adalah apakah kita benar-benar sudah melupakannya atau memaksa diri kita untuk pura-pura tidak mengingatnya?
Ah pusing... pusing... pusing.
Aku rindu sama Niko. Tapi terkutuklah sifat kekananku yang kemarin sudah unfollow instagram miliknya, sehingga aku tak bisa stalking lagi karena akunnya digembok alias diprivate. Dan tololnya aku juga menghapus semua kontak yang berhubungan dengan Niko. Mulai dari nomor hp, whatsApp dan line.
Apa aku buat akun kloningan instagram saja buat follow Niko ya? Tapi kok kesannya aku jadi pengecut ya?
Ah sudahlah. Ikutin perkataan Inul saja. Masa lalu biarlah masa lalu. Aku harus bisa lupakan dia. Mungkin Niko memang bukan jodoh yang diciptakan Tuhan buat aku.
"Bimbii!" Terdengar teriakan Mamaku dari luar kamar. Suara beliau memang paling bisa mengganggu suasana.
"Apa?!" Balasku teriak. Mungkin orang luar akan kaget melihat penghuni rumah ini memiliki hobi teriak-teriak layaknya orang yang tinggal di hutan.
"Langit udah mendung ini. Ambil dulu baju dari jemuran di belakang sana!" Seru Mamak seraya membuka pintu dan menyentuh tenggorokannya. "Sakit juga ya teriak-teriak gitu."
"Udah dari tadi kuambil loh."
"Eh... teringatnya besok kau ada acara apa enggak?" Tanya Mama seperti preman.
Aku bergeleng. "Gak ada. Kenapa?"
"Besok temani Mamak ya. Makan-makan enak kita nanti."
"Kemana?"
"Mamak diundang teman SMP dulu, untuk datang ke rumahnya. Mumpung dia lagi di Medan. Teman Mamak itu wanita karir. Cantik pokoknya, ya sebelas-dua belaslah sama Mamakmu ini. Cuma dia menang dikit karena perawatan sana-sini. Kalau Mamak kan cantik natural." Itulah Mamaku. Selalu narsis dan memuji dirinya sendiri.
"Aku nggak mau ikut. Masa aku nongkrong sama Mamak-Mamak? Jatuh dong harga diriku... Aw!" Teriakku mengaduh saat Mama memberi satu jitakan di kepalaku.
"Ya kalau harga dirimu jatuh, yaudah kau tinggal pungut lagi. Gitu aja pun susah! Pokoknya kau harus ikut. Tidak menerima penolakan!"Tukasnya begitu sadis. Lalu segera berjalan keluar kamar.
Kalau memang gitu aturannya, terus kenapa beliau tanya aku mau ikut atau enggak? Toh pada akhirnya dia tidak menerima penolakan?
"Eh tapi ngomong-ngomong." Mamak membalikkan tubuh lagi."
"Apalagi?!" Tanyaku ketus.
"Kau cucikan dulu piring di dapur itu. Semak (berantakan) kali Mamak lihatnya."
Rasanya aku ingin menangis karena ulah wanita paruh baya ini. "Kan udah tadi pagi kucuci."
"Itu kan tadi pagi, sekarang udah sore. Nggak kau tengok (lihat) piring, gelas, baskom bertumpuk di dapur itu? Cepat cucikan sana!" Perintahnya tanpa bisa dibantah lagi.
Aku memberengut sambil menggaruk kepalaku. Lama-lama kupelihara juga kutu di rambutku ini. Jadi kalau aku sedang kesal, aku bisa melampiaskan amarah ke binatang kecil itu dengan sekali pites. "Iya nanti. Tunggu 15 menit lagi siap kuketik ini, baru kucuci piringnya."
"Mau nyuci piring pun pakai jadwal pula!"
"Udah Mamak tenang aja. Beres pun itu kubuat."
"Asalah benar."
Tiba-tiba aku teringat sesuatu pada hari ini dan aku belum mengucapkannya pada Mama. Meskipun menjengkelkan tetapi beliau adalah orang yang sudah melahirkan dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang.
Sebelum Mama menutup pintu kamar, aku pun berseru. "Selamat hari Ibu, Mamak reteng! (Galak)"
"Kalau ngucapin selamat hari Ibu, cepat kali muncung (mulut) kau itu. Tiba Mamak suruh cuci piring, banyak kali ceritamu!"
Ouch! Kena skakmat kali ini!
26-Januari-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top