Enam Puluh Satu
Ketika kelopak mataku terbuka dan dapat kembali melihat, hal pertama yang aku harapkan adalah memeluk bayiku dan menciumnya. Namun yang kulihat hanyalah perutku yang tadinya besar kini telah mengempes.
Aku menoleh ke Mama yang berdiri di samping tempat tidurku. "Ma... Bayiku di mana? Aku mau lihat dia."
Mamaku tidak menjawab dan hanya menatapku nanar. Aku beralih ke arah Mama mertuaku dan menanyakan hal yang sama, namun beliau malah menangis. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang terjadi, namun aku tetap berdoa dengan keselamatan bayiku.
"Apa yang terjadi sih? Dan di mana Aktar? Apa dia sedang melihat bayi kami?" tanyaku lagi karena tak menemukan keberadaan Aktar di dalam ruangan ini.
Di waktu yang bersamaan, terdengar suara pintu yang dibuka. Aku sedikit merasa lega saat melihat sosok Aktar yang muncul di depan pintu. Dia berjalan mendekati ranjangku sambil menggendong bayi kami yang ditutupinya dengan selimut tebal bewarna abu-abu.
"Arbi baik-baik aja kan? Dari tadi aku nanyain bayi kita tapi nggak ada yang mau jawab satu pun," ucapku padanya.
"Kau ingin melihatnya?" Suara Aktar terdengar sengau di telingaku, seperti sedang pilek.
Aku mengangguk cepat. "Iya. Aku mau gendong dia juga."
Dia bergeleng pelan. "Belum bisa. Luka sayatan dan jahitan di perutmu belum kering. Lebih baik aku baringkan Arbi di sebelahmu, jadi kau berbaring menyamping saja, supaya kau bisa melihat dan memeluknya."
Aku mengangguk setuju, lalu Mama membantu mengubah posisiku yang tadinya berbaring lurus kini menjadi menyamping. Aku mengabaikan rasa nyeri di bagian perutku begitu melihat wajah anakku yang sedang tertidur. Tubuhnya terlihat begitu kecil sekali. Warna kulitnya putih namun tampak pucat, bahkan warna bibirnya terlihat gelap seperti biru keunguan. Aku memperhatikan keadaan bayiku lebih jelas lagi. Sesaat aku terdiam begitu menyadari sesuatu. Aku tak bisa menahan air mataku yang langsung menetes di pipi.
"Arbi," panggilku dengan suara bergetar. "Ini Mama sayang." Aku mulai terisak saat jari telunjukku mengelus kulit wajahnya yang pucat. Dengan beruraian air mata aku memandang Aktar. "Mengapa anak kita nggak mau membuka matanya?"
Aktar tidak menjawab, kepalanya tertunduk menatap lantai. Aku memanggil namanya sekali lagi menunggu jawaban darinya. Perlahan dia mendongak memandangku. Dari tatapan matanya menjelaskan kesedihan. "Anak kita sudah berada di tempat yang tidak mengenal rasa sakit lagi Biii."
"Apa maksudmu anak kita pergi? Arbi masih di sini bersama kita. Dia nggak mungkin pergi kemana-mana!" seruku dengan berurai air mata.
Aku mendekap tubuh Arbi dan memohon padanya melalui air mataku untuk bangun. "Bangun sayang, bangunlah Mama mohon. Mengapa kau tidak menangis untuk Mama, Arbi? Mama sangat ingin mendengar suaramu. Tolong bangun anakku, buka matamu sayang."
Seluruh anggota keluarga yang berada di dalam ruangan ikut menangis bersamaku. Kejadian ini benar-benar menyesakkan, membuatku tak bisa bernapas. Belum lepas dari rasa sakit akibat operasi, kini aku juga harus merasakan sakit ditinggal pergi bayiku.
Rasanya aku ingin mengecam, aku ingin berteriak, aku ingin melemparkan sesuatu atas kepergian bayiku.
"Bagaimana aku bisa gagal menjaga bayiku sendiri?" seruku menitikkan air mata. Semua anggota keluarga yang menyaksikanku hanya bisa melihat dan terdiam. “Aku tidak berdaya untuk mengubah apa pun. Seharusnya tubuhku menjaganya agar tetap aman, tapi aku malah membunuhnya."
Mama ikut menangis memelukku dari belakang. "Sudahlah Arimbi. Jangan menyalahkan siapapun. Biarkan Arbi pergi dengan damai, Nak."
"Aku bahkan baru bisa melihat Arbi untuk pertama kalinya tapi dia udah terbaring kaku dihadapanku. Dia juga belum sempat melihat wajahku. Apa Mama tahu bagaimana perasaanku saat ini? Hatiku hancur, Ma. Aku udah jadi seorang Ibu tapi tanpa anak," isakku tersedu-sedu.
Mama melepas pelukannya dan membiarkan Aktar yang mengambil alih posisinya untuk memelukku. "Apa yang terjadi pada anak kita bukan kesalahanmu. Saat Arbi lahir, dokter bilang kondisinya memang sangat lemah sehingga ia harus dibantu dengan alat untuk bertahan hidup. Saat dirawat dalam NICU Arbi berjuang dalam kesakitannya dengan semua alat yang berada di tubuhnya. Namun Arbi hanya mampu bertahan hidup selama 4 jam. Karena tubuhnya terlalu kecil untuk menahan semua rasa sakit itu," tuturnya padaku.
Lalu satu tangannya membelai wajah putera kami. "Sekarang anak kita sudah tidak merasa sakit lagi, Bii. Dia terlihat seperti malaikat yang sedang tertidur kan? Bahkan para dokter dan perawat mengatakan kalau Arbi itu bayi yang sangat tampan. Aku percaya bahwa malaikat kecil kita sudah kumpul bersama Kakeknya di Surga. Maka dari itu kita sebagai orang tuanya pun harus tetap lanjut berjuang untuk masa depan kita, sama seperti bayi kita yang telah berjuang selama hidupnya saat di dalam NICU."
Aku semakin menangis mendengar semua perkataan Aktar. Ditambah lagi Mama mertuaku ikut memberi nasehat. "Tuhan pasti punya rencana lain ke depannya untuk keluarga kecil kalian nanti. Kita harus ikhlaskan Arbi, karena bagaimana pun dia udah pergi meninggalkan kita. Sekarang manfaatkan waktumu untuk melihat dan memeluk Arbi sebelum dibawa pergi untuk dikuburkan siang ini."
Rasanya saat ini air mataku sudah habis untuk menangisi kepergian bayi kami. Aku meminta Aktar untuk melepaskan selimut yang menyelimuti tubuh Arbi dan membaringkannya di atas dadaku. Aku ingin memeluk dan membelainya untuk terakhir kalinya. Wajah Arbi tampak begitu damai seperti sedang tertidur pulas. Aku mendekatkan bibirku ke arah ubun-ubunnya dan menciumnya cukup lama.
Terimakasih udah memilihku untuk menjadi Mamamu dan terimakasih juga telah menemani hari-hari Mama selama delapan bulan ini. Selamat jalan malaikat kecilku. Maafin Mama belum bisa bahagiakanmu, Nak. Mama sayang kamu, Arbi Dewandra.
18-Juni-2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top