Empat puluh satu.

Sesampainya di parkiran rumah sakit, aku segera keluar dari dalam mobil. Aku agak takut saat melihat seorang wanita paruh baya sedang berdiri memandangku dari tempat post penjagaan. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut berantakan dan seluruh tubuhnya terlihat kotor sekali. Dia terus memandangiku, jadi aku putuskan berjalan cepat untuk meninggalkan parkiran.

"Hey, tunggu aku!" seru Edgar dari belakang.

Aku menghiraukan seruan Edgar ketika wanita tua itu berjalan mendatangiku. Spontan saja aku menjerit histeris waktu dia menghalangi jalanku dan memegang erat tangan kananku. "To-tolong jangan ganggu aku! Kau mau uang berapa? Akan kuberikan, tapi tolong lepaskan tanganku!"

Wanita itu hanya diam dan memandangiku dari ujung kaki hingga atas kepala. Aku menjerit kuat dan memanggil Edgar untuk menolongku. Demi apapun, aku lebih suka bertemu dengan hantu daripada manusia yang jiwanya terganggu.

"Nutrijel, tolong bantu aku!" teriakku menangis.

Edgar segera menghampiriku. "Hey Ibu tua, jangan ganggu dia. Lepaskan tanganmu dan menjauhlah!"

"Tarik dia jauh-jauh, Nutrijel!"

Kedua tangan Edgar berusaha melepaskan tangan wanita tua itu dengan susah payah. "Tidak bisa, tangannya menggenggammu begitu kuat."

"Terus gimana?! Aku takut kali nengok Ibu ini!!"

"Ibu ganggu saya aja, jangan ganggu dia." Bujuk Edgar menatap wanita tua itu.

Aku mengangguk cepat. "Iya bener.  Ganggu dia aja Bu, jangan aku."

Wanita tua itu menolak dengan menggelengkan kepalanya. Dan responnya itu membuatku semakin takut. Aku menangis dan memohon-mohon padanya untuk melepaskan tanganku.

"Kau tunggu sebentar di sini. Aku akan panggil satpam untuk membantuku menarik Ibu tua ini," ujar Edgar sebelum pergi meninggalkanku.

Aku mengangguk dan membiarkannya pergi meminta bantuan. Lalu tiba-tiba tubuhku menegang saat satu tangan wanita itu menutup mulutku, sehingga kini aku berhenti menangis.

Dia mendekatkan wajahnya dan berbisik tepat di depanku. "Tidak lama lagi kau akan merasa kehilangan."

Aku terdiam dan menatap matanya yang juga menatapku. Wanita tua itu terus berbicara padaku.

"Semuanya akan menangis, menangis dan menangis. Termasuk dirimu," lanjutnya dengan melepaskan tangannya dari mulutku.

"A-apa maksud Ibu?" tanyaku gugup.

"Dia akan pergi." Setelah mengatakan itu, si Ibu tua tertawa dan melepaskan tanganku yang digenggam erat tadi.

"Cepat Pak, tangkap Ibu itu!" seru Edgar yang datang dengan dua orang satpam.

Mereka langsung mengamankan wanita tua itu. Lalu salah satu satpam bertanya padaku. "Anda baik-baik saja kan?"

"Ya." Aku mengangguk.

"Harusnya kalian tidak membiarkan orang gila seperti Ibu tua ini masuk ke lingkungan rumah sakit. Dia mengganggu kenyamanan orang, bagaimana kalau dia menyerang pasien yang lemah? Apa kalian mau tanggung jawab?!" Edgar terlihat marah sekali.

"Kami minta maaf, Pak. Tapi Ibu tua ini biasanya tidak pernah melukai atau menyerang siapapun. Dia hanya suka berbicara banyak kepada orang yang ingin dia datangi."

"Tapi dia membuat teman saya takut. Bapak tidak lihat apa, mata teman saya bengkak karena nangis ketakutan?! Kalau sampai ada apa-apa dengan bayi yang ada di dalam perut teman saya, tunggu saja. Kamu, kamu dan Ibu tua ini akan saya cari sampai dapat!" Ancam Edgar seraya menunjuk satu per satu wajah dua satpam dan juga wanita paruh baya tersebut.

"Sekali lagi kami minta maaf, Pak."

Dua penjaga itu menunduk, sementara si Ibu tua terus tertawa dan sesekali berbicara sendiri.

Aku langsung mencolek bahu Edgar. "Kita pulang aja. Ayok, cepat!"

"Tapi kau belum berobat."

"Aku mau pulang, Ed." pintaku menatapnya.

Dia pasrah dan akhirnya setuju. "Oke. Kita pulang."

*****


Semua perkataan si Ibu tua tadi kembali terngiang-ngiang dalam kepalaku. Meskipun aku tahu wanita paruh baya itu bukan orang yang waras, namun tetap saja ucapannya terdengar seperti sebuah pesan atau peringatan untukku. Tapi pertanyaannya, siapa orang yang dia maksud itu? Siapa yang akan pergi dan membuatku menangis karena merasa kehilangan?

Aku menggelengkan kepala berharap pertanyaan-pertanyaan aneh yang ada di dalam pikiranku itu dapat menghilang. Setelah merasa tenang, aku meminta Edgar untuk mengantarkanku pulang ke rumah orang tuaku. Semoga Mama sudah tidak marah lagi, aku benar-benar butuh pelukan Mama saat ini.

"Kalau terjadi sesuatu atau kau butuh apa-apa, kau bisa menelponku kapan saja. Aku siap 24 jam untuk melindungi anak yang ada di dalam perutmu," ujar Edgar sebelum aku turun dari mobil.

"Hmm," gumamku pelan.

"Kau terlihat tidak baik-baik saja. Itu membuatku khawatir."

"Aku kan memang lagi sakit, Ed."

"Bukan itu yang aku maksud."

"Terus apa?" tanyaku bingung.

"Ada apa denganmu?"

Keningku berkerut menatapnya. "Lah? Malah nanya balik. Kau yang kenapa?"

"Kau tidak memanggilku seperti biasanya!" Serunya dengan mata melotot.

Aku berpikir sebentar, lalu aku menatapnya lagi. "Memangnya tadi aku memanggilmu apa?"

"Tadi kau memanggilku 'Ed' sebanyak dua kali." Dia mengacungkan dua jarinya di depan wajahku.

Kutepiskan tangannya dari hadapanku. "Memangnya ada yang salah? Ed itu kan nama depanmu?"

"Salah besar! Kau harusnya memanggilku 'Nutrijel' karena 'Ed' itu panggilan Aktar padaku."

Aku mendengus kesal dan segera turun dari mobilnya. Aku mengabaikan seruannya yang menyuruhku untuk berjalan pelan-pelan. Setelah melihatku sampai di depan pintu rumah, dia pun pergi.

Sebelum mengetuk pintu, aku mengintip keadaan rumah lewat kaca jendela. Tampak ponakanku Ral sedang bermain dengan robot-robotannya.

"Ral," panggilku lewat kaca jendela yang terbuka.

Dia menoleh. "Bou?"

"Opung mana?" tanyaku pelan.

"Opung doli (Kakek) pergi ke pesta."

"Kalau Opung boru (Nenek) pergi ke mana?"

"Itu," tunjuknya ke arah samping jendela.

"Apa kau cari-cari Mamak?"

"Astaga!" seruku kaget melihat Mama yang tiba-tiba muncul di depan jendela tempat aku mengintip.

"Kau mau ngapain?" tanya Mama dari dalam rumah.

Aku menundukkan kepala. "Bimbii mau pulang. Rindu sama Mamak."

"Belum dapat Mamak baru rupanya kau, makanya kau cariin aku?"

Aku menatap Mama dengan menahan air mata. "Bimbii lagi sakit, Mak."

"Terus kenapa kalau sakit? Kau kan udah dewasa, bisa urus diri sendiri kan?"

"Mamak masih marah?" tanyaku dengan air mata yang sudah menetes.

"Nggak usah kau nangis-nangis. Udah pergi sana, pening pula kepalaku kau buat!"

"Bimbii nggak mau pergi. Aku kan masih anak Mamak. Kenapa diusir?"

"Mamak udah malas lihat kau. Nggak bisa diatur anaknya, udah pergi kau sana! Suruh Niko yang urus, jangan cariin Mamak!"

Aku berusaha membujuk Mama supaya mau menerimaku lagi. "Iya Bimbii ngaku salah karena udah melawan Mamak. Sekarang Bimbii sakit, maafin Bimbii napa..."

"Tahankan sendiri!"

Aku menangis saat Mama menarik gorden jendela, seolah benar-benar ingin mengusirku untuk segera pergi dari sini. Mama mungkin keras kepala, tapi aku juga bisa lebih keras kepala lagi. Jadi aku memilih untuk tetap menunggu di depan rumah sambil menunggu Bapak pulang dari pesta, atau menunggu Abang dan Kakak iparku pulang dari tempat kerja. Pokoknya aku mau masuk ke rumah.

Jam di ponselku menunjukkan pukul 4 sore, tapi orang-orang yang kutunggu belum ada yang pulang satu pun. Aku hendak ingin menghubungi Bapak, tapi tiba-tiba nomor Aktar muncul di layar ponselku.

"Apa?" tanyaku menjawab teleponnya.

"Kau pergi kemana? Kenapa belum pulang?"

"Aku di depan rumah Mamak," ucapku sedih.

"Kau mau tidur di sana?"

Aku menangis. "Boro-boro tidur di sini, pintu aja nggak dibuka sama Mamak."

"Jadi kau ngapain masih di situ?"

"Aku mau bobok di sini."

"Di teras?" tanyanya heran.

"Bukan... maksud aku tidur di rumah tapi tunggu Bapak atau Abangku pulang."

Terdengar suara Aktar yang menghela napas. "Tunggu di sana. Aku nyusul datang."

Aku menghapus air mataku. "Kau mau ngapain?"

"Biar aku yang bicara sama Mama. Kau jangan pergi kemana-mana lagi," pesannya sebelum mengakhiri panggilan.

9-Desember-2018

Gue potong dulu ya wkwkwk... belum kelihatan kan siapa lagi yg bakal tahu Bimbii hamil?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top