《Dua puluh tiga》
Mama tampak sedih karena harus berpisah dengan Opung boruku yang akan pulang ke Samosir. Umur Opung sudah mencapai 72 tahun tapi beliau masih terlihat muda. Sebagai anak tertua dalam keluarga, Mama sudah sering membujuk Opung untuk tinggal di Medan bersamanya. Karena Opung itu cuma tinggal sendirian di rumah. Tapi Opung sangat keras kepala. Tetap saja menolak, katanya badan beliau terasa sakit jika terlalu lama meninggalkan tanah kelahirannya. Suami Opung sudah lama meninggal dunia, saat itu keempat anaknya masih kecil-kecil. Jadi Opung berjuang sendiri membesarkan anak-anaknya sampai mereka besar dan akhirnya pada menikah.
"Opung pulang dulu ya," Ujar Beliau pamit kepada cucu dan cicitnya. Tidak lupa juga Opung memberikan uang jajan untuk mereka.
"Kami berangkat ya Mak," Seruku seraya membuka pintu depan mobil untuk Opung.
"Iyalah. Hati-hati kelen di jalan. Nggak usah kencang bawa mobilnya. Mamak titip Opung sama kalian berdua."
"Iya Ma." Aktar menjawab.
"Opung duduk di belakang ajalah," Ujar Opung berpindah.
"Nggak apa-apa loh. Opung di depan aja."
"Udah sarap (gila) si Butet ini. Kok Opung pula yang duduk di depan sama suamimu."
"Kenapa rupanya Pung? Suamiku kan nggak tukang gigit."
"Eh sopan dikit kau cakap. Suami kau itu!" Tegur beliau.
"Serius kali Opung ini. Suamiku aja nggak marah. Tahu dia itu cuma bercanda."
"Tetap aja berdosa. Jangan kau ulangi lagi."
"Iya-iya."
Selesai berdebat kami pun pergi. Sepanjang jalan menuju Samosir tampak sepi. Bahkan mobil yang berlewatan dapat dihitung, mungkin karena ini bukan hari liburan. Biasanya kalau hari raya besar, jalanan di sini akan macet sekali.
Dari kota Parapat kami dapat menikmati sebagian dari keindahan pemandangan alam Danau Toba. Sepanjang jalan ada banyak monyet-monyet yang dibiarkan bebas berkeliaran di pinggir jalan. Para wisatawan bisa berhenti untuk memberi makan atau sekedar berfoto dengan hewan lucu itu.
Dari Parapat kami melanjutkan naik kapal Ferry untuk menyebrangi danau ke Tomok. Sebenarnya bisa juga dengan kapal yang kecil. Tapi berhubung kami membawa mobil, jadi kami harus naik kapal besar. Butuh 45 menit menyebrangi danau toba untuk sampai ke Tomok. Dan dari sana butuh waktu dua jam lagi perjalanan menuju tempat tinggal Opung.
Sore harinya kami sampai di rumah. Aku turun dari mobil dan langsung membungkuk ke tanah memuntahkan isi perut. Aku benar-benar mabuk perjalanan. Bagaimana tidak, coba bayangkan aku harus di dalam kapal kurang lebih satu jam. Dilanjutkan lagi perjalanan dua jam menaiki bukit dengan mobil. Di mana jalannya itu tak semulus seperti aspal, melainkan berbatu dan berlubang. Kadang jalannya menanjak, kemudian jalannya menurun. Mungkin jika saat ini aku hamil muda, bisa jadi aku akan keguguran di dalam mobil karena menghadapi perjalanan seperti itu.
"Kau butuh minum?" Tanya Aktar yang menghampiriku. Dia juga menyampirkan jaket ke tubuhku. Karena di sini cuacanya memang sangat dingin.
"Aku butuh minyak kayu putih, tolong ambilkan dari dalam tasku."
Aktar mengangguk dan pergi ke arah mobil. Sementara aku kembali mual, lalu muntah lagi.
"Ah payah kali si Butet ini. Dari dulu selalu mabuk tiap datang ke rumah Opung. Tengok (lihat) itu suami kau, dia baik-baik aja. Tahan banting, padahal baru pertama kali nginjakkan kaki di Samosir," Ledek Opung seraya mengunyah daun sirih dalam mulutnya.
Aku menerima minyak kayu putih yang diberikan Aktar. Langsung saja aku oleskan ke kening, hidung, leher dan juga perutku. Berhubung tanganku tidak sampai ke belakang, jadi aku meminta tolong kepada suamiku itu untuk mengolesinya di bagian pungggungku.
Aku merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya, setelah Aktar memijit bahu dan tengkuk leherku. Selain ahli mengurus hotel milik keluarganya, ternyata dia punya bakat terpendam menjadi tukang pijit. Luar biasa sekali suamiku ini.
"Hey kalian berdua! Masuklah ke rumah. Jangan mesra-mesraan di luar, di dalam kamar ajalah. Nanti orang-orang pada pulang dari sawah ditengoknya (dilihatnya) kalian kayak gitu, Opung yang malu," Ujar beliau setelah membuka pintu rumah.
Karena kami berdua tak kunjung bergerak dari posisi, akhirnya Opung merangkul tangan Aktar dan menariknya ke dalam rumah.
"Kok cuma dia yang dirangkul? Yang jadi cucu Opung siapa di sini?" Protesku merengut.
"Alaaahh, nggak usah mentel kali kau. Udah sering pun main ke sini. Suamimu kan baru pertama kali, wajarlah Opung merangkul dia. Jadi nggak usah kau sok-sok meraju di situ. Opung nggak tahu membujuk cewek, Opung tahunya bujuk cowok ganteng."
Aku merengut namun tetap mengikuti mereka berjalan masuk ke rumah. Bentuk rumah Opung unik, ini dinamakan rumah adat batak toba atau biasa disebut rumah bolon. Di mana bangunannya terdiri dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Dindingnya dari papan, lantai juga dari papan. Dan di bawah rumah itu memiliki kolong yang tingginya sekitar dua meter. Biasanya kolong itu digunakan untuk memelihara hewan seperti kerbau dan kuda. Tapi Opung sudah lama menjual kerbau dan kuda-kudanya. Sekarang Opung lebih suka bertanam pohon kopi dan coklat.
Berhubung rumah ini cukup tinggi, jadi harus pakai tangga untuk menaikinya. Dan biasanya jumlah anak tangganya selalu ganjil. Aku kurang tahu alasannya kenapa begitu. Terus kalau kita mau masuk ke rumah juga harus menunduk, karena pintunya itu pendek dan berukuran kecil. Kurang lebih sekitar satu meter. Alasannya, supaya setiap tamu yang datang harus menghormati si pemilik rumah dengan cara menunduk saat memasukinya.
"Ouch!" Aktar meringis saat kepalanya terbentur di pintu.
Spontan aku terkikik. "Tunduk makanya."
"Udah tunduk dia, tapi badan suami kau ini memang tinggi kali," Ujar Opung sambil mengelus kepala Aktar. "Nggak apa-apa kau kan? Biarlah, bikin cepat besar itu."
"Hmm... iya." Respon Aktar singkat.
"Butet," Panggil Opung padaku. "Ayo bantu Opung masak, biar ada makan malam kita."
Aku mengangguk dan berjalan ke dapur sambil berbisik ke telinga beliau supaya Aktar tidak mendengar ucapanku. "Suamiku kan udah besar. Opung mau sebesar apalagi dia?" Tanyaku penasaran, perihal kalimat Opung tadi.
Opung terkekeh. "Opung pun nggak ngerti ngomong apa tadi. Spontan aja keluar dari mulut Opung."
*****
Tadinya aku merasa was-was kalau Aktar tidak akan menyukai masakan yang kami buat untuk makan malam. Tapi ternyata dia lahap memakan semuanya. Mulai dari ikan mas arsik, mie gomak dan tidak lupa sambal Tuktuk. Sambal ini berbeda dengan sambal yang lain, karena ini ada bumbu andalimannya.
Selesai makan, aku dan Aktar duduk di dekat tungku perapian untuk menghangatkan badan. Demi Tuhan, ini hawanya dingin sekali. Aku merasa tubuhku menggigil sampai ketulang-tulang.
"Opung, nggak kedinginan ya?" Kulihat beliau tampak biasa saja.
"Opung kan lahir dan dibesarkan di sini. Jadi udah kebal sama dingin," Jawab Opung stay cool.
Wah... sumpah aku salut lihat beliau. Aku dan Aktar saja sudah pakai jaket juga selimut yang tebal tapi tetap saja kedinginan.
"Kau nggak mandi?" Tanya Aktar yang duduk di sampingku.
"Cari mati namanya aku mandi dingin-dingin gini," Jawabku sewot.
"Kalian mandi air hangat aja sana," Usul Opungku.
"Eh lebih bagus kita pergi ke permandian air hangat yang ada di Pangururan. Gimana? Kau mau?" Tanyaku pada Aktar.
"Kau tahu jalan ke sana?" Tanyanya balik.
"Lupa-lupa ingat sih. Kalau nggak salah lokasinya kurang lebih 10 Km dari sini."
"Itu jauh Bii..."
"Tapi aku mau mandi air hangat. Ayolah...." Aku merengek menarik jaketnya.
"Iya kita pergi. Tapi lepas dulu tanganmu. Kau nggak tahu ini jaket mahal? Harganya dua kali lipat dari harga jual ginjal manusia."
Aku melongo bodoh. "Serius?"
"Kau pikir?"
"Yaudah maaf. Aku kan nggak tahu jaket kau mahal. Padahal jaket kayak gitu beserak dijual Inang-inang (ibu-ibu) di pajak sambu sama pajak melati sana."
*pajak sambu & pajak melati itu tempat menjual pakaian bekas yang ada di kota Medan.
Aktar menatapku dengan ekspresi datar. "Nggak lucu."
"Yaudah kalau gitu, ayo kita pergi mandi air hangat!" Kataku menutup keributan di antara kami. Lalu aku menoleh ke Opung yang masih duduk sambil mengunyah sirih. "Opung nggak ikut?"
"Ah Opung di rumah aja. Malas pula Opung jadi penjaga nyamuk kalian berdua di sana."
"Kami pergi dulu ya, Opung." Aktar pamit dan menyalami beliau. Adegannya mirip seperti mau berangkat perang. Padahal kami kan cuma mau pergi ke permandian air hangat doang.
Di tengah perjalanan menuju ke tempat permandian air panas, tiba-tiba gerimis datang. Sehingga tanahnya sedikit licin untuk dilewatkan mobil. Aku memperingatkan Aktar untuk berhati-hati saat membelok mobil di tikungan jalan. Soalnya sisi kanan jalan itu bebatuan dan sisi kiri adalah jurang.
"Kau tahu nggak sih jalannya?" Tanya Aktar padaku karena kami tak kunjung menemukan jalan besar yang beraspal.
"Tahu. Kayaknya terus lagi ke depan."
"Jangan pake 'kayaknya' kalau di depan itu jurang gimana?" Ujarnya kesal.
Aku menggigit jari telunjuk sambil mencoba mengingat. Terakhir ke sana waktu aku masih SMA. Dan sekarang aku lupa arahnya di mana. Alhasil kami tersesat di jalan yang tidak kami ketahui arahnya.
"Lebih baik kita berhenti. Takutnya makin jauh nanti tersesatnya," Ucap Aktar dengan melambatkan laju mobil.
"Tapi kita berhentinya yang ada rumah warganya aja, jangan di tempat sepi yang kayak gini. Aku takut, nanti ada orang jahat."
"Masalahnya dari tadi nggak ada rumah warga yang tampak. Lagian kau ngapain takut? Kan ada aku di...."
Kalimat Aktar terpotong karena mobil kami tiba-tiba masuk ke dalam jurang begitu saja. Otomatis aku dan Aktar juga ikut jatuh bersama mobil. Tubuh kami berdua terguncang dan membentur ke sisi mobil. Bahkan kaca depan mobil pun pecah karena terkena ranting-ranting pohon. Aku mendengar suara teriakan histeris yang keluar dari mulutku sendiri. Sampai akhirnya tubuh kami berhenti dari guncangan. Kurasa mobilnya sudah sampai di dasar jurang. Tapi pertanyaannya, apakah kami masih hidup?
22-Mei-2018
Hari ini Emak & Bapak gue pulang dari Pekanbaru. Mereka udah dua bulan di sana karena ngurus sawitnya. Dan sekarang gue nggak bisa begadang malam lagi. Poor me :(
Btw gue mo cerita dikit tentang emak gue. Kalian tahu kan karakter Mamaknya Bimbii itu gimana? Nah emak gue juga begitu guys. Cuma emak gue lebih sadis.
Kenapa?
Coba ya kalian bayangkan. Abang, Kakak dan gue dari dulu udh biasa ditinggal ortu di rumah. Mereka pergi Rampah-Pekanbaru kadang sampe berbulan-bulan. Kami gak pernah ngeluh sih, karena mereka kerja buat anak2nya. Lagian kami selalu ditinggalin duit juga.
Yg gue sebelin dari emak gue bukan itu. Tapi misal nih beliau nelpon dari pekanbaru. Yg beliau tanya pertama kali itu bukan kabar gue atau gue udah makan apa belum. Tapi.....
"Butet, udh ko siram bunga mamak yg di depan rmh itu? Awas kalo sampe layu ya. Kubuang baju2mu dari lemari nanti."
Ngeselin nggak sih?
Belum lagi pertanyaan beliau yg kedua.
"Tet, udah ko kasih ayam kita makan? Jgn lupa kau pagi, siang sama sore ya. Trus anak2nya itu nanti ko masukkan ke dlm kandang biar nggak dimakan kucing. Terakhir mamak tinggal ada 13 ekor, awas berkurang ank ayam itu. Kau tengok nanti kyk mana aku marah. Ko dengarnya itu?"
Hmm... :(
Udh gitu aja curhatan gue.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top