《Dua puluh dua》
Beberapa kali aku mencoba menghubungi nomor Niko, namun tidak ada jawaban. Aku yakin saat ini dia pasti sangat sedih kehilangan Mamanya. Aku ingin sekali ada di sampingnya dan menghibur pria itu. Tapi aku tidak bisa pergi karena harus mengantar Opung Boruku pulang ke Samosir.
"Arimbi sayang," Panggil Mama mertuaku yang masuk ke dalam kamar. "Loh kenapa kamu menangis?"
Aku bergeleng dan cepat menghapus air mataku. "Nggak apa-apa Ma. Tadi Bimbii habis nulis naskah cerita sedih. Jadi kebawa suasana."
"Bukan karena dipukul sama Aktar kan?"
"Enggak Ma."
"Mama juga nggak yakin sih Aktar kasarin kamu. Karena dulu Papanya sering menasehati dia untuk menghormati perempuan apalagi kalau perempuan itu adalah istrinya."
"Aktar baik kok ke Bimbii," Ucapku jujur.
Kemudian beliau memberikan sebuah kotak yang berisikan cincin emas kepadaku. "Ini cincin turun-temurun untuk anak atau menantu perempuan di keluarga Wiraatmaja. Berhubung Mama nggak punya anak perempuan, jadi Mama harus kasih cincin ini ke menantu. Sekarang cincinnya menjadi milikmu. Tolong simpan dan jaga cincin ini sampai kalian punya anak perempuan atau menantu perempuan nantinya."
Aku bahkan tidak tahu apa pernikahan kami berdua bisa bertahan lama atau tidak. Tapi sepertinya itu akan sulit sekali.
"Iya Ma. Bimbii akan berusaha menjaga cincin wasiat ini."
"Mama tahu di antara kamu dan Aktar belum ada cinta. Tapi, perasaan Mama bilang cuma kamu yang cocok sama Aktar. Mama yakin kegesrekan dan kekonyolan Yohana itu menurun padamu. Sangat cocok untuk merecoki hidup Aktar yang selalu kesepian. Mama kamu itu orangnya rame dan blak-blakan. Siapapun orang yang ada di dekatnya pasti bakal awet muda karena tertawa dengan aksinya yang kadang di luar pemikiran kita."
Jadi beliau menjodohkanku dengan Aktar karena berpikir aku itu gesrek dan konyol? Ini alasan yang anti mainstream. Bahkan sulit untuk diterima akal sehat.
"Dari kecil Aktar itu nggak pernah ketawa. Senyum aja jarang. Coba kamu perhatiin deh. Mama kadang bingung, kenapa dia pelit untuk tunjukin senyumnya. Udah gitu dia nggak mau berteman sama orang. Bukan karena dia sombong tapi dia memang tertutup anaknya."
"Jadi kalau di sekolah Aktar nggak punya teman?"
"Aktar nggak pernah mau sekolah umum. Dari kecil dia udah homeschooling. Bahkan waktu masuk universitas pun dia menyendiri. Mama nggak ngerti, kenapa dia sulit bersosialisasi dengan orang luar. Dia pasti merasa risih jika ada orang yang ingin berteman dengannya."
"Kalau sama klien kerja gimana Ma? Apa dia risih juga?"
"Awalnya dia sulit menyesuaikan diri bertemu dengan orang yang baru setiap harinya. Mungkin karena Aktar tahu kalau itu adalah urusan pekerjaan, jadi dia mau berbicara ramah dengan para klien. Makanya sekarang Mama senang kamu mau jadi istrinya. Hidup Aktar pasti lebih bewarna seperti pelangi." Beliau tampak yang tampak bahagia.
Kalau hidup Aktar bewarna seperti pelangi, lalu bagaimana dengan nasib hidupku?
*****
Aku dan Aktar sedang di perjalanan menuju rumahku untuk menjemput Opung boru (Nenek). Sambil menyetir, satu tangan Aktar menyodorkan sebuah benda tipis bewarna gold ke depanku.
"Itu kartu kredit untukmu. Kau pakailah kalau ingin berbelanja."
"Kau serius?" Tanyaku sambil menatap kartu itu di tanganku.
"Hmm." Dia bergumam dan fokus menyetir.
"Dalam rangka apa?"
"Ya karena kau istriku. Jadi apa yang aku punya, itu milikmu juga."
Harusnya aku merasa senang dengan semua yang aku miliki saat ini, tapi kenapa aku justru merasa sedih? Dan kenapa aku malah kepikiran Niko terus?
"Kau tidak suka dengan kartu kreditnya?" Tanya Aktar melirikku.
"Suka," Jawabku singkat.
"Ada apa denganmu? Tidak seperti biasanya."
"Aku kepikiran Niko. Dia mantan kekasihku."
"Apa dia pria yang membuatmu menangis di dalam pesawat?"
Aku mengangguk. "Tadi aku dapat berita kalau Mamanya meninggal dunia. Dan yang membuat aku sedih, karena Niko nggak pernah cerita ke aku kalau ternyata selama ini Mamanya terkena kanker payudara."
"Aku turut berduka. Semoga Mamanya mendapat tempat yang terbaik di sisi Tuhan."
Air mataku jatuh menetes. Aku itu sangat sensitif sekali, jadi gampang menangis. Aku menerima pemberian tisu dari Aktar.
"Terimakasih," Kataku seraya mengeluarkan cairan dari dalam hidung dan membuangnya keluar melalui kaca jendela.
"Kau masih mencintainya ya?" Tanya Aktar melirikku sekilas.
"Aku sangat mencintainya. Niko pria yang spesial untukku. Dia sangat pengertian dan nggak pernah mengeluh. Dia juga pria yang setia. Itu yang membuatku sulit untuk melupakannya."
"Melupakan kenangan itu memang butuh proses. Tidak bisa secara instan. Tapi bukan berarti kau harus berdiam saja di kenangan itu. Kau juga harus membuat kenangan bersama orang baru. Mungkin kita berdua menikah tanpa cinta tapi kita bisa menciptakan kenangan yang indah, jika kita memang berniat untuk mencobanya. Kita mulai dari proses penerimaan pasangan. Contohnya seperti aku, semenjak keluargaku resmi melamarmu, di situ aku mulai menerima bahwa kau adalah calon istriku."
"Percayalah aku pun melakukan hal yang sama. Aku udah terima kau sebagai suamiku," Ucapku jujur.
"Berarti kita bisa lanjut ke tahap yang kedua, yaitu membuka hati kita ke pasangan."
Mataku mengerjap beberapa kali menatapnya. "Memangnya kau bisa menyukai lawan jenis? Bukannya kau tidak pernah ya?"
"Tidak pernah bukan berarti tidak bisa. Aku kan belum pernah mencoba, makanya tidak tahu hasilnya. Jadi ini perdana, aku akan memulainya denganmu."
"Kalau aku sih gampang dibuat baper, jadi kemungkinan besar gampang juga untuk jatuh cinta."
Aktar mengangguk. "Aku akan coba baca artikel-artikel tentang bagaimana cara membuat seorang wanita baper."
"Terus kau sendiri? Bagaimana caranya aku membuatmu jatuh cinta?"
"Aku udah pernah bilang padamu, kalau aku belum pernah jatuh cinta. Bahkan pada Edgar sekalipun. Aku hanya menyayanginya karena dia satu-satunya temanku."
"Berarti sulit bikin kau jatuh cinta samaku."
"Aku nggak butuh cinta Bii. Aku hanya butuh seseorang yang mau menemaniku dan berjanji nggak akan meninggalkanku. Itu saja."
"Berarti aku nggak wajib harus membuatmu cinta?" Tanyaku memperjelas.
"Ya."
"Seandainya kita udah berusaha. Terus hasilnya gagal. Apa kau akan menceraikanku?"
"Aku nggak ada kepikiran untuk bercerai. Karena belum tentu ke depannya aku mendapatkan wanita yang mau menerima masa laluku seperti dirimu. Kenapa kau bertanya begitu? Apa kau berniat untuk meminta cerai?" Tanya Aktar balik.
Aku menghela napas. "Entahlah."
"Kita jalani aja dulu pernikahan ini. Seandainya nanti kau merasa nggak bahagia sama sekali, kau bisa meminta cerai. Aku nggak akan memaksamu untuk hidup bersamaku."
"Kalau kau ingin pernikahan ini berhasil, maka kita harus seperti pasangan suami-istri sungguhan. Aku sering membuat scene ini di dalam cerita novelku."
"Apa itu?"
"Seks."
"What?!" Pekiknya kaget dan secara mendadak mengerem mobil seenak jidatnya.
"Kau ingin membunuhku ya?!" Semburku dengan mata melotot.
Untung aku memakai sabuk pengaman. Kalau tidak, keningku pasti sudah benjol seperti bakpau karena terbentur dashboard mobil.
Terdengar bunyi rentetan klakson dari arah belakang mobil kami. Mungkin mereka marah karena Aktar berhenti di tengah jalan.
"Kau ingin kita melakukan seks lagi?" Tanyanya Aktar setelah menepikan mobil di pinggir jalan.
"Menurut buku yang aku baca, seks itu bisa memperkuat ikatan emosional antara suami-istri. Jadi kenapa kita nggak coba aja. Toh kita udah nikah kan?"
"Kau yakin ingin melakukannya lagi?"
Aku berpikir lagi sejenak. "Hmm... yakin. Demi masa depan pernikahan kita. Tapi kali ini kau harus pelan-pelan ya. Jangan kayak waktu di hotel itu."
"Itu pengaruh obat perangsang yang diberikan Mamamu. Entah berapa banyak dosis yang beliau masukkan ke dalam teh sehingga aku kesulitan mengendalikan diri saat itu."
Lalu kami kembali melanjutkan perjalanan ke rumahku, namun saat di persimpangan jalan, Aktar menghentikan mobil di depan sebuah mini market.
"Beli kondom sana," Perintahnya.
"Untuk apa?"
"Untuk berjaga-jaga supaya kau nggak hamil. Kalau pun nanti kita berpisah, jadi nggak terlalu sulit karena kita belum punya anak."
"Oh iya. Kau benar juga. Kita ini kan masih tahap percobaan ya. Jadi masih rawan. Kecuali kita udah saling cinta. Baru deh punya anak. Yaudah sini minta duitnya?" Aku menengadahkan tangan ke depan wajahnya.
"Kau nggak punya duit?"
"Punya. Tapi tapi uang kau kan lebih banyak dari aku."
Aktar mendengus dan mengambil lembaran ratusan ribu dari dalam dompetnya. Setelah menerima uang itu, aku bergegas turun dari mobil.
"Bang beli kondom ya," Ujarku santai begitu sudah berada di dalam mini market.
Pegawai laki-laki itu menatap wajahku dengan penuh takjub. "Mbak mau kondom rasa apa?"
"Emang ada pilihan rasa?" Tanyaku penasaran.
Dia mengangguk dan menunjukkan berbagai pilihan kondom padaku. "Yang ini rasa jeruk, apel, stroberi dan pisang."
"Wow. Berasa kayak jualan buah ya."
"Nah kalau yang ini rasa Vanilla, cokelat, cola, dan mint."
Aku berdecak kagum melihat bungkusan kondom-kondom yang ada di hadapanku.
"Jadi Mbak mau pilih rasa apa?" Tanya pegawai laki-laki itu.
"Tolong pilihkan kondom yang rasanya paling best seller di sini. Tapi jangan rasa bon cabai ya. Nggak kebayang nanti pedasnya gimana. Hehe...."
Dia menyengir mendengar ucapanku. "Biasanya yang laris itu kondom rasa cokelat Mbak. Kan perempuan tuh paling senang makan dan menjilati cokelat ya. Nah kondom ini cocok untuk pasangan yang mau melakukan oral seks. Tapi Mbak jangan sampai digigit ya, karena itu bukan cokelat sungguhan. Hehe..."
Kali ini aku yang tergelak mendengar perkataannya. "Yaudah, aku ambil yang rasa cokelat aja."
"Ini untuk pacar atau suaminya Mbak?"
"Suami dong." Aku menunjukkan cincin pernikahanku padanya.
"Oh syukurlah hehee...."
Selesai membayar aku kembali ke dalam mobil. Lalu kami melanjutkan perjalanan lagi.
21-Mei-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top