《Dua puluh delapan》
Aku kembali ke hotel, dan di dalam kamar aku bisa menangis dengan bebas karena tidak akan ada seorang pun yang melihat air mataku menetes. Bahkan bunyi lembut tetes-tetes air hujan yang menerpa kaca jendela kamarku pun tak bisa menenangkan perasaanku yang galau.
Aku memilih untuk berbaring di ranjang dan menangis sampai air mataku mengering. Sekarang aku merasa lelah karena terus menangis. Kemudian kuhirup udara dalam tegukan-tegukan besar, hingga perlahan kedua mataku pun terpejam.
Di pagi harinya, aku terbangun karena sayup-sayup mendengar bunyi nada dari ponselku. Refleks tanganku bergerak menggapai meja kecil yang ada di samping ranjang, tempat aku meletakkan ponsel. Karena tak kunjung dapat, aku pun bangkit bangun. Namun di saat yang bersamaan, bunyi ponsel itu pun menghilang. Lalu tubuhku kembali terhempas ke tempat tidur.
Kepalaku terasa berdenyut ria, pusing sekali. Pelan-pelan aku meraba kening dan memijitnya. Keningku terasa hangat, begitu juga dengan leherku. Sepertinya aku sedang demam. Aku pun memilih untuk tidur, tapi tiba-tiba ponselku berbunyi lagi. Aku berusaha mengumpulkan energi untuk bisa bangkit dari tempat tidur. Setelah berhasil bangkit, aku segera meraih ponsel dan melihat nama Mama mertuaku yang muncul di layar ponsel. Ternyata beliau melakukan panggilan video untukku.
Kenapa beliau tiba-tiba menghubungiku? Apa mungkin Aktar memberitahukan kalau aku pergi ke Batam menemui mantan kekasihku?
Kalau aku tidak mengangkat telepon, pasti Mamanya Aktar akan tersinggung dan marah. Tapi kalau aku menjawabnya, apa yang harus aku jelaskan?
Aku bingung dan menggigit jari telunjukku. Namun aku tidak ingin menghindar, karena bagaimana pun ini adalah pilihanku. Jadi aku harus menghadapinya sendiri.
"Halo Ma," jawabku pelan. Aku tidak bisa berbicara lebih keras karena badanku benar-benar lemas.
"Halo sayang, apa kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu terlihat tidak semangat begitu?"
Aku mencoba tersenyum. "Nggak apa-apa Ma. Mungkin efek baru bangun tidur."
"Ini sudah jam 11 siang dan kamu baru bangun? Apa Aktar tidak membangunkanmu pagi tadi sebelum dia bekerja? Setidaknya kamu harus sarapan."
Aku terdiam mendengar perkataan Mamanya Aktar. Sepertinya beliau tidak tahu kalau aku sedang tidak berada di rumah.
"Anak itu keterlaluan sekali, padahal Mama sudah menasehatinya untuk menjaga dan merawatmu dengan baik. Nanti Mama akan menelpon Aktar untuk memarahinya," lanjut beliau lagi.
"Jangan Ma. Ini bukan kesalahan Aktar. Tadi dia udah membangunkanku tapi aku yang enggak bangun karena masih mengantuk. Semalam aku begadang mengedit naskah sampai jam dua pagi."
Beliau menatapku dengan raut wajah kasihan. "Mama tidak melarangmu untuk menulis novel karena Mama tahu itu adalah hobi sekaligus pekerjaanmu. Tapi Mama juga tidak mau kalau sampai hobimu itu akan membawa dampak buruk untuk kesehatanmu karena kamu terlalu sering begadang."
"Iya Ma. Lain kali aku tidur lebih cepat. Ngomong-ngomong Mama kapan pulang ke Medan?"
"Mungkin tiga hari lagi."
Aku tersenyum menanggapi. Lalu aku baru sadar, kalau ternyata Mama mertuaku sedang berada di luar. Terlihat seperti sebuah pusat perbelajaan. "Mama lagi belanja ya?"
"Tadi Mama baru selesai ketemu teman bisnis. Kebetulan Mama ngelewatin store hermes di sini, jadi langsung kepikiran mau belikan tas buat kamu. Tapi Mama kurang tahu selera kamu yang seperti apa."
Aku menggelengkan kepala untuk menolak. "Nggak usah Ma. Aku nggak cocok pakai tas kayak gitu. Berasa mirip Tante-Tante girang."
Mama mertuaku melotot. "Secara tidak langsung kamu nyindir Mama juga Tante girang begitu?"
"Bu-bukan Ma. Maksud aku, Mama kan wajar pakai tas begitu sesuailah umurnya. Nah kalau aku kan masih muda, lagian tas jenis itu nggak cocok sama style aku."
"Iya Mama tahu gaya berpakaianmu sehari-hari seperti apa. Tapi kamu perlu juga memakai barang-barang bermerk kalau lagi pergi ke acara resmi barsama Aktar. Karena kesuksesan seorang suami itu bisa diukur lewat apa yang dikenakan atau yang dipakai istrinya. Dan karena Mama tahu kamu tidak akan kepikiran untuk membelinya, jadi Mama yang inisiatif sendiri. Nah sekarang pilihlah kamu mau yang mana? Jangan menolak, nanti Mama sedih. Oke?"
Setelah aku mengangguk setuju, kemudian beliau menunjuk seraya menyebutkan tiga pilihan tas Hermes padaku. Di mulai dari birkin bag alligator blue, matte alligator birkin, dan terakhir Kelly cut gris tourterelle. Aku sangat yakin tiga benda tersebut harganya pasti mahal.
"Jadi kamu mau tas yang mana sayang?" Tanya beliau di akhir.
"Hmm... yang terakhir aja Ma."
"Oh yang ini. Kelly cut gris tourterelle?" Tanya beliau sambil menunjukkan tas tersebut ke layar.
Aku mengangguk. "Iya."
"Oke. Mama akan beli itu buat kamu. Udah dulu ya sayang, dadah."
Begitu panggilan berakhir, aku meletakkan kembali ponsel di atas meja. Aku duduk termenung di pinggir ranjang. Aku memiliki segalanya. Orang tua yang lengkap, ada Abang dan Kakak yang menyayangiku. Aku juga memiliki suami yang mapan plus bonus Mama mertua kaya yang baik hatinya. Tapi kenapa aku masih merasa ada yang kurang dari hidupku? Sementara dulu saat bersama Niko, aku merasa lengkap dan bahagia. Jadi apa sebenarnya yang salah di sini?
Aku menangis dalam kebingunganku sendiri.
*****
Selera makanku berkurang karena lagi tidak enak badan, jadi aku hanya bisa habiskan setengah dari porsi dari biasanya. Siang ini aku putuskan untuk mendatangi rumah Niko lagi karena pria itu tidak mau menjawab telepon dariku. Aku berharap bisa bertemu dia di sana.
Namun lagi-lagi aku kecewa, karena ternyata Niko dan adik-adiknya belum ada yang pulang ke rumah. Aku ingin menjenguk Grace tapi aku tidak tahu di rumah sakit mana dia dirawat. Jadi aku memilih untuk menunggu di depan rumahnya sambil mengirimkan pesan.
Me : Sekarang aku ada di depan rumah kamu. Aku bakal terus di sini nunggu sampai kamu datang.
Sekitar setengah jam Niko membalas pesannku tadi.
Niko Trianta : Pulanglah. Aku tidak akan datang.
Me : Kalau gitu aku juga nggak akan pergi dari sini. Aku serius.
Satu jam berlalu.
Tiga jam pun berlalu.
Hingga hari mulai gelap Niko tak kunjung datang. Dia benar-benar membuktikan perkataannya dan itu membuatku sakit hati.
Apa dia tidak merasa kasihan sedikit padaku? Aku datang ke sini hanya untuk dia. Tapi kenapa dia malah menghindariku?
Aku tidak ingin menangis karena kepalaku terasa pusing, tapi air mataku berkhianat. Cairan bening itu berlinang deras di kedua pipiku. Alhasil rasa sakit di kepalaku bertambah dua kali nyerinya. Sebenarnya aku bukan cengeng tapi dengan cara menangis hatiku bisa lebih baik. Daripada aku diam, berlagak kuat tapi aslinya sudah hampir gila karena terlalu banyak memendam perasaan.
Di tengah kesedihanku, tiba-tiba Aktar menghubungiku. Spontan aku berhenti menangis dan langsung menjawab teleponnya.
"Halo?" Suaraku terdengar mengerikan karena terlalu sering menangis.
"Bisa bicara dengan Arimbi?"
Aku mengernyit. Pertanyaan apa itu. "Ini aku, dasar bodoh!"
"Kenapa suaramu beda? Loyo kayak nggak dikasih makan beberapa hari. Apa kau sakit?" Tanyanya.
"Apa pedulimu kalau aku sakit atau enggak?"
"Ya aku harus tahu keadaanmu jadi aku bisa mengabari Mamamu di rumah. Apa kau tidak tahu, beliau sangat mengkhawatirkanmu."
"Jadi kau menghubungiku karena tidak ingin membuat Mamaku khawatir? Bukan karena keinginanmu sendiri?" Tanyaku yang mendadak kesal.
"Menurutmu?"
"Kenapa kau membalikkan pertanyaanku?"
"Kau pikir untuk apa aku mengkhawatirkan orang yang belum juga tentu memikirkan bagaimana keadaanku di sini."
Aku memejamkan mata dan memijit keningku yang semakin bertambah sakit. "Kalau begitu bilang ke Mamaku, aku baik-baik aja."
"Kapan kau balik?"
Aku tidak menjawab pertanyaannya lagi karena rasa peningnya teramat sangat.
"Bii... kau baik-baik saja?"
Pandanganku mulai berputar hingga akhirnya gelap gulita menyergap. Dan semuanya gelap....
29-Juni-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top