《Dua Belas》
Begitu memasuki kawasan hotel Ipdinata milik keluarga Aktar, kerasa banget suasana megah dan mewahnya. The most breathtaking view is when I enter the lobby. Jalan beberapa langkah ke belakang, langsung ada ocean view. Errrr... hotelnya besar banget saudara-saudara!! Restorannya saja ada lima. Pool-nya ada tiga ; dekat lobby, splash pool dan paling bawah ada ocean pool yang deket pantai.
Ipdinata memang salah satu hotel bintang lima yang ada di Nusa Dua Bali. Semuanya tersedia. Mulai dari restaurant, bar, night club, kids club, pantai, fitness center, spa, bakery, dan lain-lain. Komplit banget pokoknya, jadi para tamu tidak perlu keluar dari kawasan hotel. Berasa kaya lagi di mall sih daripada hotel. Sepertinya memang sengaja didesign gitu, supaya tamunya betah lama-lama di dalam. Kan makin lama menginap, makin banyak duit yang didapatkan sama keluarga Aktar.
Kalau aku tidak salah dengar, tadi Aktar bilang total kamar di hotel ini ada 120. Dan 20 di antaranya merupakan kamar jenis suite. Harga untuk satu kamar biasa dimulai dari empat juta rupiah per malam. Semua kamar dilengkapi dengan tempat tidur double, ruang tamu, kamar mandi pribadi, LCD TV, AC, room service 24 jam dan banyak lagi. Sementara aku dan Aktar menempati kamar super mewah, yaitu Royal Suite.
Luas kamar ini sekitar 150 m² yang diisi dengan perlengkapan mewah, TV LCD, balkon pribadi, kamar mandi mewah di mana bak mandi dan pancurannya terpisah. So, jangan kaget kalau kamar ini dibanderol dengan harga dua puluh lima juta rupiah per malam.
Busettt... itu duit apa daun semua? Kalau beli mie ayam dapat berapa porsi ya? Hmm... aku jadi penasaran isi dompetnya si kue nastar. Pasti dia punya banyak kartu atm dan kredit. Aku yakin salah satu kartunya ada yang no limit. Kira-kira kalau kartunya itu aku curi, dia nyariin nggak ya?
Suara deringan ponsel membuyarkan rencana jahatku. Spontan aku menepuk jidat karena tak ingat mengabari Mama kalau aku sudah sampai di Bali.
"Halo Mak?"
"Oh masih ingatnya kau punya Mamak? Kukira udah lupa."
"Iisssss aku baru nyampe loh."
"Pas pergi itu apa pesan Mamak? Kasih kabar kalau udah nyampe di bandara sana. Memang kuping kau itu nggak pernah dengerin omongan orang tua!" Sembur beliau marah.
"Iya Bimbii salah," Jawabku sambil menggigit jari.
"Kau udah makan siang?"
"Udah tadi."
"Terus kau lagi ngapain sekarang?" Tanya Mama lagi. Kali ini intonasi suaranya agak lembut.
"Lagi tidur-tiduran."
"Sendiri kan?"
"Iya. Kami beda kamar kok. Aktar kamarnya di depan."
"Pokoknya kalian nggak boleh cium-ciuman, nyicip-nyicip atau raba-rabaan. Tunggu sampai nanti udah sah jadi suami-istri, terserah mau ngapain aja. Mau pake gaya apapun bebas."
Aku sama Aktar raba-rabaan?? Membayangkan ucapan Mama itu, membuatku terkikik sendiri.
"Sekarang kau boleh ketawa, nanti pas malam pertama kau pasti malu-malu di depan suamimu. Tapi di situlah letak istimewah dan nikmatnya menikah."
"Masa nikmat sih Mak? Tapi kata orang-orang yang pernah Bimbii tanyain sakit kali."
"Ah bohong itu. Rasanya sakit-sakit enak kok. Sakitnya cuma sebentar, habis itu udah enggak lagi. Malah besok-besoknya jadi ketagihan. Apalagi suamimu Aktar mukanya ganteng gitu, tiap malam kau pasti minta dipeluk terus. Jadi nggak sabar cepat dapat cucu dari kau Bii."
Kedua mataku berotasi. "Nikah aja belum, mau minta cucu."
"Ya pokoknya jangan lupa bersyukur sama Tuhan. Kau dikasih jodoh dari keluarga yang baik dan punya pekerjaan yang mapan. Udah terjamin kebutuhan hidup kau sama anak-anakmu. Tapi bukan berarti kau nanti jadi Ibu rumah tangga yang pemalas. Harus ingat apa tugas seorang istri. Pintar mengatur waktu ; kapan bersantai, kapan bergosip, kapan bersihin rumah. Harus pintar juga mengatur keuangan. Jangan boros."
"Iyaa Mak... Bimbii paham."
"Jangan cuma bilang paham. Kalau perlu catat di buku. Kau kan punya riwayat pikun kronis," Sindir Mama tepat di sasaran.
"Iyalohh." Aku bangkit dari ranjang ketika mendengar ketukan di pintu kamar. "Mak udah dulu ya, kayaknya ini mau langsung pergi ke lokasi tempat foto prewed deh."
"Oh yaudahlah. Sampaikan salam Mamak ke Aktar ya."
"Iyaa Mak." Sehabis itu aku mematikan telepon dan berjalan membuka pintu.
"Udah siap?" Tanya Aktar dengan gaya sok cool-nya.
"Siap apanya? Kan aku belum di make-up sama sekali?"
"Mereka dandaninya setelah kita udah nyampe di lokasi."
"Ooh gitu. Yaudah kita pergi sekarang. Cuma bawa diri doang kan?"
Bukannya menjawab, Aktar malah langsung pergi jalan. Sialan. Alhasil aku terburu-buru lari ke dalam kamar mengambil tas, setelah itu mengunci pintu kamar dan mengejar langkah kaki Aktar sebelum aku benar-benar ditinggal.
"Btw, kalau lagi pergi-pergi gini. Kau selalu bawa dompet kan?"
Aktar melirik wajahku sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya. "Hmm...."
Meskipun dia hanya bergumam, tapi lumayanlah daripada tidak dijawab sama sekali. Begitu masuk ke dalam lift, Aktar langsung menekan lantai dasar hotel.
"Di kantong sebelah mana kau menyimpannya?"
"Kenapa aku harus memberitahumu?" Tanyanya balik.
"Kan kita mau menikah. Jadi sebagai calon istri kan aku harus tahu kebiasaan suamiku nantinya. Begitulohh...."
"Lalu apa hubungannya dengan di kantong sebelah mana aku menyimpan dompet?"
Gawat! Aktar nggak boleh curiga kalau aku sedang mengincar kartu no limit miliknya. Yang namanya mencurikan harus diam-diam, bukan terang-terangan. Beraksinya pun pas di malam hari dengan pakaian serba hitam biar nggak kelihatan. Kan nggak lucu kalau pencuri beraksinya pakai baju batik, nanti dikira mau pergi kondangan lagi.
"Aku kan cuma kepo. Emang salah?" Tanyaku mencoba ngeles.
"Yaudah sih kalau kau nggak mau ngasih tahu. Aku juga nggak akan maksa. Tapi jangan harap aku bakal ngasih tahu di mana keberadaan dompetku."
"Siapa juga yang mau kepoin dompetmu yang nggak seberapa itu. Kayak ada isinya aja!"
"Ada kok isinya." Segera kukeluarkan dompet dari dalam tas. "Nih dua ratus ribu. Terus ini dua atm milikku."
Seketika kedua mata Aktar memicing memandangku. "Kau nipuin aku ya? Tadi di bandara bilang nggak bawa atm. Terus dua atm itu apa?"
Aku menyengir memamerkan gigi putihku. "Aku sengaja bohong, biar dapat simpati dari kau. Kan sayang duitnya kalau naik taksi ke hotel, padahal ada mobil gratis punya keluarga kau."
Pintu lift terbuka, dan itu menyelamatkanku dari situasi atm yang terciduk.
*****
Selama dua hari kami melakukan sesi pemotretan di dua lokasi pantai yang berbeda.
Lokasi pertama Aktar menyewa sebuah beach club, jadi orang lain tidak bisa masuk ke pantai tersebut. Hanya aku, Aktar, tim photografer dan tim make-up saja. Lalu lokasi kedua sengaja dipilih kawasan pantai Sawangan karena di sana ada unta yang bisa disewa. Jadi aku dan Aktar difoto sambil berada di atas unta seperti yang ada di negeri Arab sana.
Cukup melelahkan. Tapi begitu photografernya memperlihatkan fotonya ke kami, rasa capeknya itu terbayar karena hasil gambarnya sangat memuaskan.
Ternyata aku dan Aktar punya bakat jadi seorang model. Cuma sayang, tinggi badanku hanya mencapai 150cm saja. Berbeda dengan Aktar yang tinggi badannya mencapai 177cm.
"Aku bosan di kamar," Keluhku ketika menghubungi Aktar.
"Terus?" Suaranya terdengar seperti baru bangun tidur.
"Ya ajak jalan-jalan gitu. Masa ke Bali cuma foto-foto doang."
Lama tak ada jawaban. Jangan-jangan dia lanjut tidur lagi.
"Mau ke mana?"
"Hmm... aku mau ke pantai. Yang dekat hotel kita aja. Kemarin kita ke pantai cuma buat foto bukan buat nyantai liburan gitu. Kan aku pingin berjemur ala-ala bule."
"Pantai yang dekat hotel cuma pantai Geger. Mau?"
"Iya ke situ aja. Aku siap-siap dulu ya."
"Hmm...."
Sebenarnya aku bukan bosan di dalam kamar. Tapi karena mau pamer bikini yang sengaja aku beli spesial dalam rangka ke Bali. Beli mahal-mahal tapi nggak dipakai kan sayang. Lagian aku berani pakai bikini cuma di sini. Kalau Mama tahu dan lihat, leherku pasti langsung digorok.
Aku menoleh ke belakang saat mendengar ada langkah kaki yang mendekat. Dan ternyata itu Aktar yang datang. Loh? Kok dia bisa masuk?
"Kenapa pintunya nggak kau kunci dari dalam?" Tanyanya berkaca pinggang.
"Perasaan tadi malam udah aku kunci deh." Itu seingatku sih.
"Dasar ceroboh!"
"Udahlah yang penting kan nggak ada kejahatan yang terjadi," Belaku mencari aman. Lalu aku mengalihkan perhatian Aktar dengan menunjukkan dua bikini milikku. "Menurutmu bagusan yang mana? Warna hitam atau putih?"
"Terserah."
"Kasih pendapat dong. Masa terserah?"
Aktar memandang dua baju bikini yang ada di tanganku.
"Yang itu aja." Tunjuknya bikini warna putih yang bergambar bunga mawar merah.
"Ini pasti lebih bagus ya di badan aku? Kelihatan langsing plus imut gitu."
"Nggak juga," Jawabnya jujur.
Aku menatapnya kesal. "Nggak bisa lihat orang senang sebentar ya?"
"Mau ditemani ke pantai nggak?"
"Mau."
"Yaudah cepat!"
Kenapa jadi dia yang lebih galak daripada aku sih?
4-April-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top