Chapter 1: Tidak Semua Mengerti
Disclaimer: OOC, typo bertebaran dan author yang tukang PHP (walau pasti diusahakan sampai selesai, kapannya gak tau :v) dan masih banyak kekurangan lainnya, harap dimaklumi.
~Don't like, don't read~
Happy reading!
***
Soraru POV
Udara dingin membeku saat malam musim panas, asap putih keluar dari mulutku, tangan bertautan, berusaha sebaik mungkin untuk tetap hangat. Kaki-kaki bergerak dengan kaku, sedikit gemetar karena menahan berat tubuh, tas berisi gitar besar menambah beban dengan baik.
Lelah.
'Hari ini berat sekali...' aku menguap seraya terus berjalan, tanpa sengaja menatap jam tangan yang menunjuk angka sepuluh lebih lima. 'Kuharap bis malam masih ada...'
Langkah kakiku bertambah lebar, kemudian berubah lebih cepat, aku berlari sepanjang jalan menurun, keringat mengalir di dahiku, beban dipunggungku berbunyi berirama, sepatu bergesekan dengan trotoar yang semakin jarang, halte tidak jauh dari sini.
"Ah!" Nafasku memburu, berusaha untuk tetap tenang dalam kegelapan yang mengelilingiku, lampu jalan tidak berfungsi dengan baik ditempat ini.
'Karena...'
Dengan perlahan, aku meletakkan tas berisi gitar yang berharga, kata ayah, benda tua ini bahkan lebih penting dari rumah sekaligus kebun strawberry milik kakek, yang langsung kuanggap lelucon karena mengingat harga tanahnya itu tidak main-main. Tapi meski begitu, aku tetap berusaha untuk menjaganya.
...
"Hei."
Layar ponsel yang sedari tadi kuperhatikan kini beralih, earphone segera kujauhkan dari telinga, perhatian kini terarah pada anak kecil yang tengah duduk tak jauh dariku.
'Sejak kapan?'
"Hei." Dia kembali berucap, sedang aku masih terpaku ditempat. "Menunggu bis, ya?"
Pertanyaan yang sudah jelas, kurasa dia sedang mencoba basa-basi. Ya, mungkin akan kutanggapi, mengingat hanya ada kami ditempat sepi ini.
"Ya, uhm... nomor 9." Ucapku dengan pelan, iris safir ku tanpa sadar mengamatinya. Surai putih pucat dengan mata merah menyala, umurnya sekitar 11-12 tahun, tatapannya yang intens membuatku sekilas melihatnya seperti hantu.
'Tapi aku tidak pernah melihatnya, apa dia orang baru disekitar sini?'
"Bagaimana denganmu? Kenapa malam-malam seperti ini kau malah keluar rumah?" Aku tidak tau apa yang sedang kubicarakan, tapi rasa penasaran itu keluar dengan sendirinya.
Dia tersenyum, memperlihatkan gigi-geligi dengan taring yang mencuat keluar, "Aku menunggu nee-chan!" Jawabnya ceria, kaki telanjang berayun-ayun di kursi panjang, terlihat sepasang sepatu lusuh tidak jauh dari tempatnya duduk. Sepertinya dia sangat menunggu pertanyaan ini. "Kata ayah dia akan datang nanti malam, karena itu aku berniat menungguinya disini!!" lanjutnya lagi, kali ini dengan gerakan tangan yang berlebihan, dari raut wajahnya, sepertinya dia senang sekali dengan kedatangan kakak perempuannya itu.
"Kalian tidak pernah bertemu?" Tanyaku tanpa pikir panjang, dengan cepat aku menutup mulut dan meminta maaf atas kelancanganku. "Ma-maaf... Aku tidak bermaksud untuk menanyakan itu..."
Anak itu menggeleng pelan, kemudian tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit terpaksa. "Nee-chan pergi bersama ibu selama ini... Jadi aku sangat senang karena dia akan datang!! Bahkan aku sudah menyiapkan kado di rumah!!" Suasana hatinya langsung berubah, memang anak kecil.
"Begitu? Baguslah."
"Ehehehe~ Nama nii-san, siapa?"
Jari telunjukku menggaruk pelan pipi, sebenarnya aku tidak ingin membicarakan ini dengan orang asing, tapi karena dia masih anak-anak...
"Soraru." Tanganku terulur padanya, senyum tipis yang jarang kugunakan mulai menghiasi wajah lelahku. "Takeru Soraru, salam kenal."
"Aikawa Mafumafu!! Salam kenal!!" Tangan kami saling menjabat, udara dingin ternyata berpengaruh pada tubuh kecil itu, sudah berapa lama ia menunggu kakaknya disini?
"Hei, uhmm..." Terus terang aku tidak banyak bicara dengan orang-orang, apalagi dengan anak kecil yang tidak ada hubungannya ini, tapi aku terlalu bosan menunggu bis, karena itu keberanian mulai muncul. "Nomor berapa bisnya? Kurasa sudah tidak banyak lagi, karena itu aku bisa menemanimu." Ucapku tulus, ya, kurasa rasa lelah yang sedari tadi kupikul ini telah sirna, memang bercakap-cakap bersama manusia lain adalah hal yang menyenangkan, seharusnya aku lebih sering melakukan ini.
"Benarkah? Waaai~ senangnya!" Mafumafu berteriak senang, mengambil lenganku dan menarikku mendekat. "Soraru nii-san! Akan kukenalkan pada nee-chan ku nanti! Kurasa kalian adalah pasangan yang cocok, jadilah kekasih nee-chan ku!!"
Wajahku memerah karena malu, dengan tangan kanan yang menutupi rona merah, aku tergagap menanggapi lelucon anak kecil. "A-a-aku tidak—bisa berpacaran dengan kakakmu! A-aku memang belum punya pacar, ta-tapi—"
"Ah, aku berubah pikiran."
"Eh?"
Albino kecil itu tersenyum mengejek, lidahnya terulur dengan kedua alis yang naik-turun, mencoba untuk membuatku kesal, yang sayangnya berhasil karena kini wajahku benar-benar seperti buah ceri.
"...Sial." Menarik tanganku, dia merengek karena aku benar-benar marah, ya, sayang sekali aku bukan seorang penyabar.
"Huwa! Ma-maafkan aku, Soraru nii-san! Jangan marah padakuuu!!" Ucapnya dengan mata berair, mendengar dia mulai menangis membuat pikiranku kembali kalut, untuk pertama kalinya, aku mencoba menghibur anak yang sedang menangis.
"Tu-tunggu, jangan menangis! Ya, ya! Akan kumaafkan! Karena itu berhentilah menangis! Uuh... Ya ampun..." Tanganku merogoh saku celana, berniat mengambil permen yang selalu kubawa di kantong jaketku. Menyadari bahwa ini musim panas, pikiran itu segera menguap dan aku kembali bingung.
Anak kecil adalah iblis pengatur yang mengerikan, dengan air mata itu, mereka dapat menaklukkan siapapun di dunia ini, dan kini aku berhadapan dengan salah satunya. Level satu dengan dua belas, alarm bahaya berbunyi di pikiranku.
"Ah!" Hampir saja aku menjatuhkan tasku, dengan sigap tangan kananku menjangkaunya, tas dengan gitar yang katanya mahal itu terselamatkan, sedang anak kecil yang menangis kini diam.
"Uhm, apa itu?" Tanyanya penasaran, berwajah tanpa dosa membuatku kesal karena sepertinya dia lupa alasannya menangis. Dengan mendesah pelan, kuambil gitar tua itu dan memperlihatkannya pada anak kecil yang penasaran.
"Gitar, err... Milikku." Ucapku pelan, rasanya semua energiku hampir habis karena anak kecil ini, lain kali aku tidak akan kesal atau apapun yang bisa membuatnya menangis lagi. Mohon ingatkan aku. "Mau melihatku bermain?"
Mafumafu mengangguk senang, kemudian memperbaiki posisi duduknya agar dapat melihatku sepenuhnya, dengan pikiran yang masih penat aku memainkan lagu yang paling mudah.
"Aku tau ini!" Teriaknya senang, gigi runcing itu terlihat lagi, dia ikut bernyanyi disampingku. "Do~re~mi~ Ahahaha! Sensei mengajari kami tangga nada di sekolah!! Uwaah! Ternyata Soraru nii-chan berbakat ya!!"
Aku tersenyum mendengar pujian sederhana itu, jari-jari yang sebelumnya kaku mulai bergerak cepat, berganti dengan lagu lain yang lebih rumit.
"Ini twinkel-twinkel little star! Aku pernah mendengarnya juga! Soraru nii-san hebat sekali!!"
Selanjutnya, aku memainkan beberapa lagu anak-anak dan Mafumafu akan menebaknya, senyum cerah menghiasi wajah kaku, rasa nyaman ditempat gelap ini merupakan hal yang jarang, seperti mimpi.
.
.
.
Beberapa menit kemudian, cahaya redup di ujung jalan menyadarkanku, dengan cepat aku memasukkan kembali gitar tua dan bersiap dengan uang untuk membayar bis, Mafumafu cemberut saat kesenangannya harus terhenti.
"Ahahaha, berhenti berwajah murung seperti itu, besok aku akan kembali dan kita bisa bermain lagi. Lihat, bis kakakmu sudah datang, dan aku harus pulang untuk makan malam."
Jari kurusku menunjuk pada bis putih sederhana dengan angka '9' di bagian depan, Mafumafu mengerutkan wajahnya saat melihat apa yang kutunjuk.
"Aku tidak menunggu bis nomor sembilan, Soraru nii-san! Tapi aku menunggu yang bernomor '10'!" Terangnya padaku, membuat dahiku berkerut karena bingung.
"Be-benarkah? Kupikir itu bis yang terakhir."
"Tidak, ada yang bernomor '10', bisnya berwarna merah, karena itu aku ingat!"
....Apa?
Aku mengangguk kaku, memang benar aku baru beberapa hari menggunakan halte ini karena jalan utama yang sedang diperbaiki, tapi sepertinya aku yakin jumlah bisnya tidak sampai sepuluh. Ya, mungkin aku tidak menyadarinya, sayangnya makan malam harus menunggu lagi, karena aku sudah berjanji untuk menemani Mafumafu sampai kakaknya datang.
Bis itu berhenti didepan halte, aku hanya bisa terdiam sambil menunggu bisnya pergi lalu kembali bermain bersama Mafumafu, dan sepertinya anak itu sedang sibuk dengan sepatunya yang tertutup debu. Dia bergumam tangga nada yang sedari tadi kita nyanyikan dengan senang.
'Entah mengapa... Nada-nada yang dia gumamkan terasa kosong...'
Sopir gendut itu terlihat mengamatiku, seakan sedang menungguku untuk menaiki bisnya yang sepi penumpang, hanya ada nenek tua dan seorang pekerja kantoran yang tengah tertidur.
"Hei, nak." Sang sopir akhirnya berkata, "Apa yang sedang kau tunggu?"
Aku mengeratkan pegangan pada tasku, "Anda bisa pergi dahulu, saya menunggu bis berikutnya."
'Ada...'
Alasan aku tidak pernah bisa akrab dengan orang lain adalah kepribadianku yang cenderung pendiam namun ketus, membuat banyak orang yang mulai menghindariku setelah beberapa hari bertemu.
Tapi sebenarnya ada satu alasan lagi..
"Apa maksudmu, nak?" Pria itu bertanya dengan raut kebingungan. Perasaan buruk mulai memenuhi pikiranku.
"Sudah kubilang, aku menunggu..."
Kali ini dengan suara pelan, keyakinan itu menguasai diriku, tubuhku bergetar dengan tidak nyaman, berulang kali aku menegaskan bahwa ini semua hanya kesalahpahaman kecil.
'Mungkin pria ini sedang melamun, atau dia sedang mencoba trik untuk menarik penumpang...'
Tapi masih ada hal lain yang aneh...'
Pria itu tampaknya mengingat sesuatu, iris safir ku membulat saat mendengarnya.
Dibalik punggungku, anak albino sedang tersenyum.
"Jika yang kau maksud adalah bis bernomor '10', itu memang pernah ada, tapi sekarang dihilangkan sejak kecelakaan itu."
.
.
.
.
Aku tertegun, tubuhku berhenti gemetar, perasaan dingin mencekam itu mulai berganti pada lengan kiriku.
"Soraru onii-san~"
Ya.
Alasan banyak orang yang menghindariku adalah...
'Aku yang dapat melihat mereka.'
Selanjutnya, kilasan itu menyambarku.
Dan semuanya menjadi putih.
####
Albino kecil menunggu dalam kegelapan, seperti saat ini, lampu jalan tidak bekerja dengan baik, sosok putih itu hanya bisa menarik kedua lututnya lebih dekat seraya menyemangati diri sendiri, kakaknya sebentar lagi akan datang.
.
.
.
Waktu berlalu, Mafumafu lelah menanti dan memilih untuk tidur sebentar, tidak terasa, malam sudah akan menunjukkan waktu kebesarannya.
Tin-tiiiiinnnn!!!—
Anak kecil itu mengusap pelan kelopak matanya, tidurnya terganggu karena suara yang terus-menerus meraung keras.
Ban derdecit,
Dan klakson mobil yang berteriak nyaring,
Akhirnya albino kecil itu mengerti yang sedang dihadapinya.
Sayang, semua sudah terlambat.
'BRAKK!!—'
Bersambung...
***
Hola! Saya kembali dengan membawa cerita baru~ kali ini saya mampir ke fandom utaite~
Bagaimana? Ada yang curiga Mafu itu hantu, nggak? Atau kalian tidak sadar dari awal sampai akhir? Yah, saya tidak terlalu bisa membuat misteri seperti ini, jadi yaa~ pasti minna-san dapat menebak langsung. ʕ•ε•ʔ
Jika nama-nama chara nya berbeda dari asli, saya minta maaf, karena masih pemula dalam fandom ini, jadi saya tidak tau~
(○゚ε゚○)
Sepertinya tema saya kali ini juga pertemanan! Ya! Karena saya suka tema itu! Ada sedikit romansa, mungkin... Saya usahakan!
Yak, segitu saja dari saya, jika ada yang ingin disampaikan silahkan berkomentar, oh, kalau mau kasih bintang juga boleh~ (´⊙ω⊙')
Silahkan mampir ke cerita saya yang lain, dari fandom Ansatsu Kyoushitsu!
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top