Bagian 24
"Mas Asgaf?" tegur Rena saat melihat kehadiran Asgaf tiba-tiba, membuat Nafla yang awalnya tidak sadar akan kehadirannya, kini menatapnya sedih.
Asgaf mendekati sang istri lantas mengecup ubun-ubun Nafla. "Kamu kenapa?" tanyanya lembut melihat sang istri yang sama sekali tak ada gairah untuk sekedar menyambutnya. "Apa yang dia katakan?" lanjutnya sambil menunjuk Rena dengan benci.
"Mas-" tegur Rena hendak menjawab karena tidak terima disalahkan.
"Aku nggak pa-pa. Aku mau pulang sekarang," sela Nafla cepat. Ia hendak beranjak lebih dulu namun lagi-lagi Rena bersuara,
"Aku cuma kasih tahu Nafla apa yang kamu suka dan yang tidak kamu suka, Mas. Dia-"
Seketika Asgaf langsung menatap Rena tajam dan berdesis pelan, "Apa yang aku suka dan tidak aku suka bukan urusanmu, Rena! Ingat, kamu nggak berhak ikut campur urusan rumah tangga adikmu!"
"Tapi, Mas-"
Asgaf menggeleng, menarik tangan Nafla lalu membawa wanitanya segera keluar dari sana tanpa memperdulikan Rena yang terus memanggilnya berulang kali.
Di dalam mobil, Nafla terus mempertahankan sikap diamnya karena setiap ucapan Rena terus terngiang-ngiang di kepalanya. Seandainya saja Mas Asgaf mengetahui semuanya, semua kesalah pahaman kakaknya, apakah mungkin Mas Asgaf memaafkan kakaknya dan meminta mereka kembali bersama? Mengingat waktu yang mereka habiskan tidaklah sedikit, namun nyaris 10 tahun. Dan Nafla yang baru menjalaninya sehari ini akan tersisihkan begitu saja.
"Na,"
"Kenapa Mas nggak cerita?" Nafla menyela cepat. Menatap nanar sosok Asgaf yang sedang menyetir. "Kenapa Mas nggak kasih tahu aku apa yang Mas suka dan nggak Mas suka? Mesti aku tahu dari orang lain? Orang yang tak lain adalah istri Mas sendiri?" ia benar-benar tidak mampu menahan air matanya yang mengalir begitu saja.
Asgaf segera menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang lumayan sepi. Ia menghela napas pelan sebelum menangkup wajah Nafla yang memerah akibat tangisan wanita itu. "Sayang, kita selesaikan di rumah ya? Mas janji akan cerita semua sama kamu apapun yang Mas suka dan nggak Mas suka," jemari kukuhnya menghapus air mata Nafla dengan lembut. "Mas cuma mau kita saling mengenal bukan dari cerita diri kita masing-masing melainkan dari tingkah laku, kelakuan, dan lain-lain. Karena kita hidup bersama bukan untuk sementara, Na, tapi untuk selamanya." Ia tersenyum tipis sambil menarik pelan hidung yang juga memerah sedikit itu. "Kalau sudah begini, Mas akan cerita. Kamu juga harus janji cerita sama Mas tentang kesukaan kamu dan tentang apapun yang kamu benci. Paham?"
Nafla tidak ingin membesarkan ego dengan mempertahankan haknya untuk tetap bersikap tidak acuh, tapi dia belajar untuk mempertahankan rumah tangganya yang diibaratkan masih seperti bibit tanaman yang tidak diketahui akankah berhasil tumbuh dengan subur atau tumbuh sebentar lalu layu dan mati?
"Iya, Mas,"
Asgaf tersenyum sambil memberikan kecupan singkat di bibir Nafla. Ia kembali mengendarai mobilnya dan bergumam, "Nanti malam Mama ngantar Caca ke rumah kita. Jadi, mungkin dia akan tinggal bersama kita."
"Hm," sahut Nafla pelan sambil memandang luar jendela mobil.
"Kalau tahu yang kamu temui adalah Rena, Mas pasti nggak akan mengizinkanmu pergi. Mas tahu pasti kamu jadi seperti ini."
Nafla menggeleng tanpa niat menoleh. "Nggak ada hubungannya sama Kak Rena. Lagipula, ilmu yang dia punya lumayan bisa bantu aku untuk mengetahui Mas lebih jauh."
"Na-"
"Mas, Nafla capek. Mau istirahat." Dan Nafla memejamkan matanya erat setelah menyandarkan kepalanya dengan nyaman pada sandaran kursi.
●●●
Nafla membuka pintu saat mendengar bel. Ia tersenyum ketika melihat ibu mertuanya beserta Caca datang bertamu.
"Mama!" seru Caca dan langsung memeluk Nafla erat. "Aku kangen Mama," gumamnya lalu tersenyum lebar setelah melepaskan pelukannya.
"Mama juga kangen kamu. Masuk dulu yuk," mata Nafla bergerak melihat ibu mertuanya yang tampak kesulitan membawar koper Caca. "Biar Nafla bantu, Ma. Mama masuk aja dulu."
"Makasih, Sayang," jawab Viona lalu mengikuti langkah cucunya yang lebih dulu ke dalam dan melihat seisi rumah. "Asgaf mana, Na?"
"Lagi shalat isya, Ma."
Viona mengangguk dan duduk di sofa sambil melirik sekitar rumah menantu dan puteranya ini. "Kamu belum beli furniture rumah, Na? Masih banyak yang belum dibeli Mama lihat."
"Belum sempat," jawabnya lalu meletakkan koper pink Caca di kaki sofa. "Nafla buatin minum dulu ya, Ma?"
"Iya, Sayang."
Nafla segera beranjak ke dapur. Ia melihat Caca dari balik kaca dapur sedang memperhatikan swimming pool yang terletak di belakang rumah. Membuka pintu kaca dapur, Nafla mendekati anak tirinya yang tak lain adalah keponakannya sendiri.
"Jangan dekat-dekat kolam renang. Itu dalem lho!" ia mengingatkan.
Caca mengangguk, meraih tangan Nafla lalu tersenyum ketika mata beningnya bertemu dengan mata indah milik ibu tirinya itu. "Caca seneng bisa punya Mama. Sekarang, Caca bisa kayak temen-temen Caca. Rapor Caca sekarang ada yang ambil, terus kita juga bisa jalan-jalan bareng sama Mama," celotehan Caca membuat Nafla tersenyum walau hatinya jelas gundah mengingat jika sebenarnya bukan dia yang pantas berdiri disini, melainkan kakaknya.
Tangan Nafla bergerak mengelus kepala Caca. "Kita bisa melakukan semua itu mulai sekarang. Mama akan menuruti semua keinginan kamu."
Mata Caca melebar senang. Ia kembali memeluk Nafla sebelum bergumam riang. "Terima kasih, Ma. Caca sayang Mama."
Nafla membalas pelukan Caca sambil berujar dalam hati bahwa ia juga menyayangi Caca sepenuh hati.
●●●
Nafla melihat mertuanya sedang bercakap-cakap dengan sang suami yang tampak serius. Ia meletakkan minuman tepat di depan Viona sebelum bergumam, "Diminum, Ma. Maaf lama, tadi aku ngobrol bentar sama Caca."
"Iya, Sayang. Nggak pa-pa," balas Viona sebelum melihat cucunya yang berlari memeluk sang ayah. "Seharian ini dia selalu menanyakan kalian. Mama sampai bosan mendengarnya."
Nafla tersenyum kecil lantas memilih duduk di sebelah mertuanya.
"Siang tadi kami sibuk, Ma." Asgaf membiarkan puterinya duduk sambil bermanja padanya. Sekilas, pria itu menatap Nafla yang lebih banyak diam dari biasanya. "Makanya aku bilang sama Mama supaya antar Caca malam saja."
Viona meminum hingga setengah minuman yang dibuat oleh Nafla sebelum berdiri dan pamit. "Mama pulang dulu takut Papa cariin nanti."
"Memangnya Mama nggak bilang sama Papa kemari?" tanya Nafla bingung.
Viona menggeleng. "Papa tidur pas Mama pergi. Ya sudah, Mama pergi dulu ya? Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Viona tersenyum lalu mencium kedua pipi Nafla dan cucunya sebelum keluar dari rumah dua tingkat tersebut.
"Sekarang, Caca masuk ke kamar. Simpan bajunya dengan rapi. Papa mau ngomong sama Mama bentar."
Caca mengangguk patuh dan membawa koper ke kamarnya yang terletak di atas. Sementara Nafla kembali mengunci pintu tepat setelah mobil ibu mertuanya keluar dari pagar rumah mereka.
"Sayang, kita harus ngomong sekarang."
Nafla menggeleng pelan. "Ada Caca, Mas. Nggak enak nanti didengar dia."
Asgaf tampak tidak memperdulikan bantahan wanitanya. Ia menarik tangan Nafla untuk masuk ke dalam kamar. Mengunci kamar mereka lalu mendudukkan secara paksa sang istri di pinggiran ranjang. Tangan kukuhnya bersedekap di depan dada dan menatap Nafla tajam.
"Jujur sama aku sekarang, Na. Apa yang kalian bicarakan tadi?" tanyanya tanpa membiarkan Nafla berkutik sedikitpun. "Sejak kamu pulang, sikap kamu aneh. Bukankah kita sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah rumah tangga kita sama-sama?" Asgaf menghembuskan napas kasar sebelum memilih berjongkok di hadapan istrinya. Menggenggam tangan Nafla erat dan bergumam pelan, "Sayang, jujur sama Mas. Kamu kenapa?"
"Mas," panggilnya dengan tatapan nanar. "K-kalau seandainya semua kejadian pahit masa lalu Mas dan Kak Rena adalah salah paham, bagaimana?"
Dahinya seketika berkerut, menatap istrinya seksama dan bertanya, "Apa maksud kamu?"
Nafla menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan walau air matanya lebih dulu mengalir. Ya Tuhan... Haruskah ia mengatakan kejujuran ini? "S-sebenarnya... Kak Rena dijebak, Mas. Malam itu Kak Rena dijebak sama sahabat Mas sendiri."
Asgaf terdiam lama sambil mencerna setiap kata yang tertutur dari bibir mungil istrinya. "Kamu bercanda kan, Na?"
Nafla menggeleng kuat. Ia pasrah jika memang akan ditinggalkan oleh sang suami di hari pertama mereka menikah bahkan pernikahan mereka memang belum memiliki banyak kenangan indah seperti yang pernah suaminya jalani bersama sang kakak. "Aku nggak bercanda, Mas. Aku serius," jawabnya mantap sambil menatap manik legam yang tampak terkejut dan tidak percaya dengan ceritanya ini.
Dan yang bisa Nafla lakukan hanyalah pasrah akan keputusan sang suami untuk masa depannya.
●●●
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top