Bagian 23
“Cieee, pengantin baru langsung ngampus,” Ifa menggoda Nafla yang baru saja tiba di depan prodi untuk melihat Raya sidang. Sementara suaminya memilih pergi ke lab karena harus mengambil skripsi yang diberikan oleh mahasiswinya itu. “Gimana malam pertama?” tanyanya sambil menaik turunkan alisnya menggoda.
Nafla tampak berpikir serius sebelum menjawab, “Rasain aja sendiri.”
“Yah, nggak seru,” sela Gea tiba-tiba yang diikuti oleh Raya yang tampak siap memakai almamater dengan rapi. “Cerita dong, Na. Mana tau si Raya jadi semangat sidang dengar kamu cerita.”
Raya mendelik lantas menggeleng, “Enak aja. Nggak, Na! Jangan dengerin.” Gadis itu duduk di sebelah Nafla. “Na, maaf ya aku nggak bilang sidang soalnya aku takut ganggu kamu yang lagi bulan madu.”
Nafla tersenyum kecil dan menggeleng pelan. “Aku tau dari Mas Asgaf—”
“Cieeee Mas nih yee....” Dengan kompak mereka membully Nafla yang kini berdecak pelan.
Ia berusaha untuk mengabaikan teman-temannya dan kembali menatap Raya. “Aku yakin kalau kamu pasti bisa ngejawab semua pertanyaan yang dia ajukan.”
“Mudah-mudahan, Na. Do’ain aja ya?”
Nafla mengangguk sebelum ketiganya membantu Raya menyiapkan sidangnya.
●●●
Raya berhasil melewati sidangnya dengan lancar membuat teman-temannya akhirnya mampu menghela napas lega terutama Nafla. Ia bahkan takut jika Mas Asgaf akan mempersulit Raya, namun tidak. Suaminya bahkan hanya memberikan beberapa pertanyaan yang memang diperlukan dan untungnya mampu Raya jawab dengan lancar.
Setelah mereka berfoto-foto dan saling mengucapkan selamat, Nafla tiba-tiba mendapatkan pesan dari sang kakak. Ia segera membuka ponselnya dan membaca pesan tersebut dengan perasaan gundah. Nafla bahkan tidak tahu sampai kapan ia akan terus seperti ini.
Kak Rena
Na, kamu dimana? Mampir ke rumah ya hari ini.
Memejamkan matanya lalu menghela napas. Nafla merasa enggan untuk berkunjung apalagi menemui wanita yang tak lain adalah mantan istri suaminya. Ia bukannya membenci Kak Rena, melainkan canggung jika dia harus bersikap ramah setelah tahu bahwa sang kakak masih mencintai suaminya.
Apakah ia harus memberitahu Mas Asgaf?
Nafla menggeleng pelan. Dia tidak harus tahu jika Nafla bertemu dengan sang kakak. Nafla hanya harus meminta izin pada suaminya. Menekan kontak suaminya, Nafla meletakkan ponselnya di telinga.
“Mas dimana?”
“Di kantor, Na. Kenapa, Sayang? Mau pulang?”
“Aku pulang sendiri aja, Mas. Mau ke rumah Mama dulu.”
“Ya sudah, sebentar lagi Mas antar.”
Nafla menggeleng walau tahu bahwa suaminya tak dapat melihatnya. “Nggak usah, Mas. Kalau Mas lagi sibuk, aku pergi sendiri aja.”
“Iya, nanti Mas jemput aja di rumah Mama. Kamu hati-hati ya? Mas masih ada bimbingan.”
“Iya, Mas.”
Dan setelahnya Nafla pamitan pada teman-temannya untuk pulang terlebih dahulu ke rumah ibunya.
●●●
“Kenapa kakak nyuruh aku kemari?” tanya Nafla sambil meletakkan tasnya. Duduk di meja dapur, melihat sang kakak yang sedang masak untuk makan siang.
Rena tersenyum, “Nggak pa-pa. Kakak kangen sama kamu. Nggak bareng Mas Asgaf, Na?”
Nafla menghela napas untuk bersabar. Ia tahu bahwa kak Rena menyuruhnya kemari hanya untuk melihat suaminya. “Nanti dia jemput aku. Kakak mau ketemu dia?”
“Kok kamu tanya gitu?” Rena menatap Nafla dengan bingung. “Kamu nggak suka? Kalau kamu nggak suka, kakak nggak akan tanya.”
Nafla mengendikkan bahunya. Menyandarkan diri sepenuhnya pada kursi meja makan di dapur mereka sebelum memejamkan matanya. “Kenapa kakak masih Cinta sama dia? Bukankah kakak dulu udah khianati dia?” matanya terbuka, menatap Rena tak berkedip. Ia ingin melihat alasan sang kakak yang selalu menjadi pertanyaan di kepalanya selama ini.
Rena mematikan kompor dan melepaskan apron. Memilih duduk berhadapan dengan sang adik. “Na, yang kami lalui itu bukan setahun dua tahun... Nyaris 10 tahun kamo bersama,” gumamnya pelan yang membuat Nafla memalingkan wajahnya. “Kakak dulu dijebak, Na. Dan yang menjebak Kakak itu adalah Doni, sahabat Mas Asgaf sendiri.”
“Dijebak? Dijebak gimana?” dan entah kenapa Nafla merasa takut mendengar lanjutan cerita itu.
Rena terdiam, menatap adiknya yang tampak benar-benar ingin mendengar ceritanya sebelum bersuara, “Malam itu kakak sudah tahu kalau Mas Asgaf akan pulang dari luar kota karena ingin merayakan ulang tahunnya. Terus, Doni datang dan alasan dia datang ialah ingin menunggu Mas Asgaf di rumah. Tapi, dia kayak udah ngerencanain semuanya karena saat kakak minum minuman yang kakak bikin, kakak merasa pusing dan panas.” Mata Rena berusaha menerawang kejadian pahit itu. “Saat itu, Doni merayu kakak walau sudah kakak tolak dia setengah mati. Hingga kakak nggak bisa ngelawan lagi rasa panas itu dan Doni membawa kakak ke kamarnya lalu kami melakukan hubungan terlarang tersebut.” Rena menatap sang adik yang terdiam dengan berkaca-kaca. “Dan Mas Asgaf pulang, menyaksikan semuanya tanpa mau mendengarkan penjelasan apapun. Dia bahkan menuntut cerai.”
Nafla benar-benar tidak mampu berkata apapun. Jika memang yang dikatakan oleh kakaknya ini benar adanya, maka semuanya hanyalah salah paham. Tapi, bagaimana jika Mas Asgaf tahu semuanya? Apakah pria itu akan kembali pada sang kakak? Nafla memejamkan matanya karena takut hal itu akan terjadi dan Mas Asgaf akan meninggalkannya.
Ya Tuhan...
Kenapa harus seperti ini?
“Kenapa kakak nggak memaksa dia untuk mendengarnya?” tanya Nafla dengan air mata yang mengalir memikirkan nasib dirinya ke depan. Apakah ia harus menjadi janda kembali saat Mas Asgaf meninggalkannya setelah tahu semua ini hanya salah paham? “Kenapa kakak nggak mau berusaha lebih keras sebelum dia menikahiku, ha?” serunya dengan suara yang meninggi. “Kenapa, Kak?”
“Na, kakak nggak bermaksud untuk buat kamu sedih. Tapi, kakak benar-benar minta maaf,” gumamnya pelan.
Nafla menggeleng kuat. “Aku nggak mau maafin kakak karena aku tahu pada dasarnya kakak nggak salah. Sekarang, aku harus apa, Kak? Aku harus gimana?” Air matanya terus mengalir deras. Membuat Rena semakin merasa bersalah.
Padahal, ini adalah hari pertama mereka menikah namun Nafla sudah tahu artinya rasa sakit. Bagaimana jika seterusnya? Apakah dia akan terus terbebani seperti ini? Belum lagi ia juga akan menyimpan rahasia besar ini karena takut jika Mas Asgaf tahu, Nafla akan ditinggalkan.
“Sekarang kamu sudah nikah kan sama dia? Kakak memang masih cinta sama Mas Asgaf, Na, tapi kakak nggak akan ganggu rumah tangga kalian lagi.” Rena tersenyum dan menangkup jemari adiknya. “Jaga dia baik-baik. Jaga Caca juga untuk kakak karena kakak akan terus berharap kalau Caca selalu menganggap kakak ibu kandungnya.”
Nafla menarik tangannya yang digenggam Rena. Ia menggeleng kuat. “Aku harus kasih tahu Mas Asgaf. Dia nggak boleh terus memikirkan kakak yang telah mengkhianatinya.”
“Tapi, Na,”
“Nggak, Kak. Aku nggak mau suami aku terus nggak akur sama kakak iparnya,” seru Nafla dengan jelas. Menamparkan kenyataan bahwa Rena kini hanyalah kakak iparnya.
Rena tersenyum tipis mendengar seruan sang adik. Ia tahu bahwa adiknya merasa gentar setelah dia menceritakan segalanya. “Memang kamu nggak takut, dia akan minta kakak balikan?”
“Jika memang Mas Asgaf jodoh yang Allah pilihkan untukku, aku nggak takut, Kak.” Nafla hendak beranjak, tapi gumaman yang berisi pertanyaan itu membuat langkah Nafla membeku.
“Na, kakak ingin mengingatkan. Jangan pernah menaruh bawang putih pada makanan Mas Asgaf.” Rena tersenyum tipis. “Dia membencinya.”
Hanya kalimat itu saja yang dikatakan oleh kakaknya mampu membuat Nafla semakin merasa nggak artinya bagi sang suami. Lagipula, bukankah pernikahan mereka hanya didasarkan oleh rasa sesaat? Beda halnya dengan hubungan sang kakak sengan Mas Asgaf yang telah berumur nyaris sepuluh tahun. Dan kemungkinan, ini hanya sebagian kecil yang ia baru ketahui.
Kenapa Mas Asgaf tidak memberitahunya?
Seketika, ia jadi penasaran sedalam apa kisah mereka? Rasa cinta mereka? Apakah suatu saat ia akan tersisihkan oleh sang kakak? Haruskah Nafla benar-benar berkata jujur? Karena jika dirinya terus membohongi Mas Asgaf setelah tahu apa yang terjadi, maka Nafla semakin merasa terbebani tanpa tahu tindakan apa yang akan pria itu ambil.
Ya Tuhan... Kenapa serumit ini?
●●●
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top