Bagian 18

Komen spam nggak kuhitung. Ini aku up krna menghargai yg ngehargai karya aku.

Aku marah? Nggak. Tenang ajaa, aku nggak bisa marah 😂

Kita punya HAM kan ya, ngapain marah wkwk
Kedepannya aku nggak target lagi. Up klo misal kelar aku tulis ❤

Udah, lgsg aja. Happy reading 😘

●●●

Nafla melihat jelas wajah kaget sang kakak saat melihatnya untuk pertama kali. Keduanya berpisah saat Nafla masih sangat kecil sehingga dia tidak mengingat rupa sang adik. Namun, Nafla justru menatap benci sosok kakaknya walau tahu disaat yang bersamaan ia juga merindukan Rena.

Nafla juga melihat bagaimana sang ayah yang marah besar pada puteri sulungnya itu dan juga kepada pamannya Ari yang sudah menjadi wali pernikahan Rena.

“Aku gini karena aku anak Papa. Bukankah Papa sendiri juga menyelingkuhi Mama, hah?” tanyanya menantang membuat Rendra naik pitam sebelum melayangkan tangannya.

Sandra memekik keras lalu mendekati Rena dengan wajah memerah.

“Mas Rendra!” tegur Sandra sambil menatap tajam. “Apa kamu gila memukul anakmu sendiri?”

“Apa kamu nggak lihat kelakuannya? Anak seperti dia memang harus diberi pelajaran, Sandra! Dia sudah mempermalukan keluarga kita, membuat kekacauan dimana pun dia berada!”

Nafla mendengar perdebatan itu segera berlari ke dalam kamar. Ia tidak akan sanggup mendengar apapun disaat hatinya sendiri sedang kacau. Lama Nafla termenung di dalam kamarnya sampai seseorang mengetuk pintu. Laki-laki yang usianya 20-an masuk dan menatap Kakak sepupunya yang terbaring lesu di atas kasur.

“Om Rendra ngajak kita semua ke rumah calon suamimu, Mbak.”

“Aku nggak ikut,” gumam Nafla. “Aku butuh istirahat, Dimas.”

Dimas mengangguk lalu mendekat, menaikkan selimut sang kakak sebelum bergumam. “Mbak, kalau dia memang jodoh Mbak, dia pasti kembali dan mempertahankan pernikahan ini. Nggak peduli kalau Mbak Rena itu adalah Kakak kandungnya Mbak.”

Dan yang mampu Nafla ucapkan hanya terima kasih karena sudah menghiburnya.

●●●

“Kami datang kemari untuk meminta maaf dan menjelaskan semuanya,” gumam Rendra yang mendapat tatapan berbeda dari masing-masing mata.

Lalu, tiba-tiba saja adik kandung Viona menyela cepat. “Dia nggak akan diterima lagi disini. Masih nggak punya muka berani datang kemari setelah menghancurkan keponakan saya?”

“As, berhenti,” tegur Viona sebelum menatap canggung keluarga sahabatnya itu. “Sebaiknya kita bicarakan di dalam saja.”

“Terima kasih, Vi,” gumam Sandra yang mendapat balasan anggukan dari Viona sebelum semuanya duduk pada satu tempat. Bahkan, banyak dari mereka juga memilih berdiri di masing-masing tempat.

Kini para kedua keluarga besar itu sedang duduk dalam satu ruangan, sementara Rena terus menunduk mendapatkan tatapan tajam dari keluarga mantan suaminya.

“S-saya ingin meminta maaf atas kesalahan saya di masa lampau.” Rena menatap gelisah pada setiap mata yang memandangnya. Lalu, matanya menatap nanar satu sosok yang duduk dengan angkuh tak jauh darinya. “Mas, aku minta maaf. Aku menyesal, Mas.”

“Kamu selalu tahu kalau saya nggak akan pernah bisa memaafkan seorang pengkhianat! Dan lagi, saya akan menikah dengan adik kamu jadi saya minta tolong untuk tidak memperkeruh acara kami.”

Rena menggeleng kuat dengan air mata yang mengalir. Ia mana mungkin sanggup melihat mantan suaminya menikah dengan adiknya sendiri? Rena tidak bisa menerimanya. Ia tidak akan sanggup melihat itu.

“Nggak, Mas. Kumohon... Jangan seperti ini.”

Bitch,” umpat Luna pelan sebelum pergi meninggalkan ruangan.

Viona dan Guven diam sambil memandang mantan menantu mereka. Menatap benci sebelum melirik Sandra dan bertanya, “Nafla... Apa yang dia bilang, San?”

“Dia ingin membatalkannya, Vi. Dia malu pada dirinya sendiri, malu sama Asgaf,” mata Sandra melirik Asgaf yang juga menatapnya dalam diam. “Dan malu sama kalian semua.”

Seketika semuanya terdiam. Asgaf berdiri dan menatap Rena tajam, “Lihat kelakuan kamu, Rena! Apa kamu nggak malu sama adik kamu sendiri, hah? Dia masih muda tapi kamu? Kamu yang jauh lebih dewasa darinya masih tidak mampu untuk berpikir seperti dia!” bentaknya membuat Rena kian terisak keras.

“Papa,” sela suara Caca yang tiba-tiba saja datang dan memeluknya. “Papa jangan marah-marah,” bisik gadis kecil itu takut melihat ayahnya yang penuh emosi. Ia melirik sosok Rena yang menangis sambil menatapnya penuh kerinduan. “Kata Kak Nafla, kita harus memaafkan, Papa. Kita nggak boleh dendam. Dendam itu nggak baik.”

Dan seluruh keluarga yang mendengar hanya bisa terdiam kaku ketika mulut gadis kecil itu berbicara polos.

“Maafin Papa ya, Sayang.” Asgaf meraih puterinya sebelum menciumnya berulang kali.

●●●

“Yang mau jadi pengantin, muka ditekuk terus.” Raya menggoda Nafla yang tampak termenung di depan prodinya pagi ini untuk mengurus berkas yudisium. Ia tahu, jika berdiam diri pun di rumah hatinya tetap akan kacau. “Kenapa ke kampus? Bukannya lusa kamu nikah, Na? Seharusnya kamu di rumah, luluran, spa atau apalah.”

Nafla menggeleng pelan. “Batal, Ray.”

Seketika Raya terduduk, meletakkan minuman yang di belinya di KFC sebelum ke kampus lalu menatap Nafla seakan menuntut penjelasan. “Kenapa bisa batal?”

“Banyak yang terjadi, Ra.” Nafla menatap Raya tersenyum tipis. “Kapan sidang?” tanyanya mengalihkan.

“Na, kamu nggak usah alihin pembicaraan kita,” tukas Raya cepat menatap iba temannya karena tahu bahwa Nafla kini sedang tertekan dan bersedih. Itu terlihat jelas dari matanya yang membengkak. “Ngomong, Na... Cerita kalau bisa bikin kamu tenang.”

“Nggak pa-pa, Ra.” Nafla melirik prodi dan melihat Kak Frida dari balik kaca kecil. “Aku jumpain Kak Frida bentar ya?” dan tanpa menunggu persetujuan Raya, Nafla segera beranjak mendekati staf prodi. Ia benar-benar ingin melupakan masalahnya tanpa membahas lebih lanjut. “Kak, aku mau kasih berkas yudisium.”

Frida menengadah dan tersenyum. “Masuk aja, Na. Lagi nggak ada orang kok.”

Tanpa menunggu diminta dua kali, Nafla segera masuk melalui pintu prodi. Ia mendekati Kak Frida dan memberikan sebuah map merah yang berisi berkas untuk persyaratan yudisium.

“Duduk dulu, Na. Kakak periksa dulu berkasnya.”

“Iya Kak,” sahutnya lalu duduk dengan diam di dalam ruangan yang pernah ia jadikan tempat konsulnya dan juga Pak Asgaf.

Tak lama, pintu ruangan prodi terbuka dan Nafla merasakan seseorang mendekati mereka dari belakangnya. “Frida, jam berapa meeting?”

Kak Frida melirik jadwal meeting antar sesama dosen sebelum menjawab. “Jam 3, Pak. Itu pesan Pak Bur.”

“Terima kasih.”

Nafla yang sekujur tubuhnya menegang hanya bisa melihat Kak Frida mengangguk. Ia bahkan tahu itu suara siapa, namun Nafla sama sekali tidak berani menoleh.

Ia harus menghindari pria itu!

“Na, berkas kamu udah complete. Mungkin kamu bisa yudisium tanggal 27 bulan ini.”

“Alhamdulillah, Kak,” seru Nafla sebelum berdiri lalu berterima kasih kepada Kak Frida yang sudah membantunya. “Sekali lagi terima kasih, Kak.”

“Sama-sama, Na.”

Dan ketika Nafla hendak membuka pintu, tangan lain lebih dulu memegang handle-nya. Nafla terkesiap sebelum melirik sosok Asgaf yang menatapnya tajam. “Frida, tampaknya saya tidak bisa hadir meeting. Katakan pada dosen lain saya minta maaf.”

Lalu Asgaf segera membuka pintu dan menarik Nafla untuk mengikutinya.

“Pak, lepas!” serunya sambil melepas cekalan yang terasa sangat sakit. “Pak, sakit.”

Asgaf menulikan telinganya sebelum membuka mobil yang terparkir di halaman depan lalu memaksa Nafla untuk naik. Keduanya kini terdiam sementara Nafla sibuk mengelus tangannya yang memerah.

Selama perjalanan, tidak ada yang membuka suaranya. Nafla tahu bahwa dia memang salah telah menghindari pria itu semenjak Kakaknya pulang ke rumah. Semua kenyataan itu membuatnya semakin sadar bahwa seharusnya ia menolak pernikahan ini.

Asgaf menghentikan mobilnya di sebuah taman yang terlihat sepi. Ia berpikir bahwa keduanya membutuhkan privasi untuk berbicara. Menarik napas pelan sebelum keduanya keluar dari mobil.

Nafla menunduk dalam sambil memainkan kedua tangannya gugup. Bukankah semalam keluarganya menemui keluarga Pak Asgaf? Kenapa sekarang pria itu justru membawanya kemari? Padahal, Nafla berpikir bahwa setidaknya sang kakak bisa kembali bersatu asalkan tidak mengulangi kesalahannya lagi. Nafla juga sadar bahwa kakaknya benar-benar bertaubat dari kesungguhannya semalam.

Nafla mencuri sedikit pandang pada sosok dosennya yang memunggunginya sambil berkacak pinggang, seakan pria itu benar-benar marah besar saat ini.

“Kenapa kamu memutuskan untuk membatalkan pernikahan kita, Na?” tanyanya lalu menatap Nafla dengan mata menyipit. “Siapa yang nyuruh kamu, hah?”

Nafla tersentak mendengar bentakan tersebut. Seketika kedua bahunya di cengkram erat. Nafla meringis sambil menengadah menatap Asgaf yang terlihat mengerikan.

“Apa kamu nggak dengar saya bilang kamu cuma punya satu kesempatan untuk membatalkan pernikahan kita? Apa perlu saya ulangi sekarang!”

Nafla menelan ludah, “S-saya nggak pantas untuk Bap—”

“Memang siapa kamu yang berhak menentukan pantas nggaknya dengan saya? Kamu bukan Tuhan yang bisa menentukan segala hal!”

"Saya memang bukan Tuhan, Pak. Saya manusia yang memiliki hati dan pikiran sebelum bertindak lebih jauh." Nafla memejamkan matanya sejenak untuk menetralkan detak jantungnya yang menggila. "Saya tidak ingin keputusan yang saya buat akan berkonsekuensi kelak yang merugikan banyak orang." Ia kembali menatap Asgaf setelah perasaannya sedikit tenang. “Saya bahkan nggak bisa masak,” gumamnya sambil tersenyum tipis. “Karena itu saya nggak pantas untuk Bapak. Saya juga nggak akan bisa mendidik Caca dengan benar. Bahkan, saya nggak yakin bisa melayani Bapak dengan baik selayaknya seorang istri,” lanjutnya lalu menghapus air matanya yang mengalir begitu saja. Nafla tertawa kecil. “Maaf, Pak. Saya jadi cengeng gini padahal saya baik-baik aja, lho.” Ia kembali tertawa sambil terus menghapus air matanya.

Melihat Nafla seperti ini membuat Asgaf ingin sekali memberikan pelajaran pada Rena. Ia memeluk Nafla erat yang membuat gadis itu semakin terisak keras.

“Kita akan tetap menikah lusa! Dan kamu nggak berhak membatalkannya apalagi mencoba kabur, karena aku akan selalu mencari dan menemukanmu dimana pun kamu berada, Na.” Ia menghirup aroma wangi rambut Nafla. “Camkan itu baik-baik di kepalamu!”

●●●

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top