Bagian 15
Kenapa oh kenapa??? Kenapa kalian jadi penasaran ama kisah emaknyee ? 😑😑
Why gengsss?
Btw, baca part ini jgn lupa istighfar 😂
Yg minta Paris, ntar malem aku usahakan up yess 😘
Okeehh! Cuss lgsg aja.
Happy reading sayang² Mika yang imut nan marmut #ehhh
Vomment cintahh 😘😘😘
●●●
Nafla mengerutkan dahinya saat ia melihat beberapa pasang sepatu laki-laki yang sangat mengkilap di rak sepatu. Bahkan, sandal rumahnya yang biasanya berjejer rapi 3 pasang disana, hilang seketika. Membuat Nafla berpikir, siapa yang datang kerumahnya?
Ia mengucapkan salam setelah menaruh flat shoes yang digunakan ke kampus untuk mengurus persyaratan yudisium. Menggantinya dengan sandal rumahan boneka miliknya lalu masuk untuk melihat siapa tamu yang datang di siang bolong begini.
Tak ada yang menjawab salamnya sehingga Nafla memilih untuk beranjak ke dapur yang terletak beberapa meter dari ruang tamu. Disana, ia melihat sosok pria memunggunginya sedang duduk sambil berbicara serius dengan sang ibu. Merasa penasaran, Nafla mendekat namun tubuhnya terasa kaku saat pria itu menoleh ketika keduanya sadar akan kehadirannya.
Matanya melebar kala melihat bahwa sosok itu nyata di hadapannya. “Pa-pa?” gumamnya tidak percaya.
Rendra melirik Sandra sekilas yang tampak merasa bersalah, sebelum melihat puterinya dan berdiri. Laki-laki itu mendekati Nafla yang masih terpaku di tempatnya. Dan tanpa mengatakan apapun, Rendra memeluk puterinya erat, membuat Nafla sadar dan membalas pelukan sang ayah dengan tanda tanya yang memenuhi kepalanya.
Nafla merasakan ayahnya mengecup kepalanya berulang kali sambil bergumam maaf dengan suara parau. Melepaskan pelukan itu, Nafla menengadah dengan mata nanar. “Papa?”
“Iya, Nak, ini Papa,” gumam Rendra haru karena pada akhirnya ia bisa menemui puteri cantiknya. “Kamu apa kabar, hm?”
Nafla mengangguk kaku, “Baik, Pa.” Matanya langsung melirik sang ibu yang menatap mereka dengan air mata yang membasahi kedua pipinya. “Ma,” gumamnya seakan minta penjelasan dari sang ibu.
“Mas,” Sandra memberi kode agar laki-laki itu yang menjelaskan karena bagaimanapun Rendra butuh waktu untuk bersama puterinya. “Aku akan bekerja.”
Rendra seketika berbalik, “Aku tidak akan lagi mengizinkanmu bekerja, Sandra.”
“Kamu nggak berhak ngelarang aku!” Dan perdebatan itu kembali di mulai membuat Nafla hanya bisa terdiam di balik punggung lebar ayahnya. “Selama ini, aku juga hidup tanpa uang dari kamu. Aku—”
“Ingat perjanjian, Sandra.”
“Mas Rendra!” tukas Sandra namun masih kalah cepat. Padahal, Sandra sudah mengingatkan untuk tidak membicarakan tentang hubungan mereka di depan Nafla.
“Perjanjian?” tanya Nafla bingung.
Sandra memejamkan matanya erat. Ia melemparkan tatapan kesal pada pria itu sebelum pergi tanpa memberikan penjelasan apapun.
“Nafla, Papa ingin kamu duduk. Kita bicarakan ini pelan-pelan.”
Nafla yang membisu hanya diam dan menurut mendengar perintah tegas ayahnya. Ia duduk tepat di depan sang ayah yang masih terlihat sehat bugar. Bahkan, Nafla sama sekali tidak melihat perut buncit sang ayah yang menandakan seberapa seringnya ayahnya berolahraga dan menjaga pola makannya agar selalu sehat, tidak seperti kebanyakan pria yang seumuran ayahnya itu.
“Papa dan Mama memutuskan untuk kembali bersama.” Rendra sama sekali tidak pandai berbasa-basi sehingga pernyataannya itu membuat Nafla lagi-lagi terkejut. “Papa ingin memulai semuanya dengan Mamamu dari awal, Nak. Papa harap kamu mengerti.”
“Mengerti?” tanya Nafla miris. “Mengerti bagaimana, Pa? Papa selama ini sudah melontarkan aku dan Mama. Papa meninggalkan kami dan lebih memilih bersama wanita lain.”
Rendra menatap lurus puterinya yang sedang berbicara. Ia mendengarkan seksama. Membiarkan puteri bungsunya itu mengeluarkan semua rasa sakit yang dirinya torehkan tanpa niat menyela.
“Papa bahkan memiliki anak bersama wanita itu. Lalu, Papa minta aku untuk mengerti? Katakan bagaimana caranya agar aku mengerti, Pa?” Nafla menghela napas tersengal akibat ucapannya yang memburu. Ia menatap sendu sosok ayahnya yang masih diam. “Katakan padaku...”
Rendra menarik napas pelan. Berbicara dengan puterinya ini tidak semudah berbicara dengan ibunya. Ia tahu bahwa Nafla juga memiliki sikap keras kepala yang ia turunkan pada anak gadisnya itu. “Kamu pasti tahu bagaimana Mama kamu sibuk bekerja sehingga jarang bisa meluangkan waktu untuk keluarga kita. Belum lagi dia membagi waktu untuk Papa dan juga kamu.” Rendra menatap sosok puterinya yang diam mendengarkan. “Apa kamu tidak berpikir kalau seandainya saja Mama tidak bekerja dan bisa membagi waktu untuk kita, apa mungkin Papa akan tergoda oleh wanita lain yang tak bukan adalah masa lalu Papa sendiri?” tanyanya sambil terus menilai ekspresi puterinya. “Dia datang memberikan perhatiannya disaat Mama kamu justru lebih memilih pekerjaannya dibanding dengan keluarganya sendiri. Dan apa kamu tahu kenapa Kakakmu lebih memilih meninggalkan rumah ini?”
Nafla menggeleng pelan. Ia masih berusaha mencerna setiap kata yang terlontar dari bibir Papanya.
“Karena dia merasa bahwa dia sama sekali tidak diperhatikan. Papa bekerja, Mama kamu juga bekerja. Siapa yang mengurusnya? Nggak ada, ‘kan? Dia berharap bahwa kepergiannya bisa merubah keputusan Mama kamu agar tidak lagi bekerja. Tapi, apa Na? Sampai saat ini bahkan Mama kamu lebih memilih bekerja daripada keluarganya sendiri.”
Rendra menghela napas pelan. “Papa tahu, Papa memamg salah tergoda oleh masa lalu Papa. Sekarang, Papa tanya sama kamu. Laki-laki mana yang tidak tergoda oleh perhatian wanita lain disaat istrinya sendiri justru mengabaikan keluarganya? Tidak mau tahu tentang keluarganya?”
Lagi-lagi Nafla hanya mampu terdiam mendengar setiap kata yang Papanya katakan.
“Secinta apapun Papa sama Mama kamu, tapi jika terus-menerus diabaikan, rasa cinta itu akan kalah dengan rasa bosan, Nafla. Kamu akan menikah dan Papa minta jadikan pernikahan kami sebagai pelajaran untuk kamu. Paham? Jangan mengulangi kesalahan seperti yang Mama kamu lakukan.”
Nafla menunduk dalam sebelum mencoba menengadah dan bertanya, “Jika Papa ingin mengulang kembali hubungan bersama Mama. Bagaimana dengan wanita—” ia menelan ludah sebelum melanjutkan, “Itu?”
“Hubungan yang Papa jalani bersama wanita itu memang cukup lama sejak Papa SMA. Tapi, kedua orang tua Papa tidak setuju sehingga memilih menjodohkan Papa dengan Mama kamu. Kami menikah saat Mama kamu tamat SMA dan Papa kuliah semester tiga.” Rendra kemudian melanjutkan, “Akhirnya secara perlahan Papa bisa mencintai Mama kamu sepenuhnya.” Mencoba kembali menerawang masa lalu, Rendra menatap langit-langit dapur rumah yang dulu begitu hangat karena keluarganya masih lengkap dengan di sulung. “Mama kamu orang yang mudah untuk dicintai, Na. Dan ketika Mama kamu tamat kuliah dan lama kelamaan Papa mulai kewalahan mengatur Mama kamu mengingat ambisinya untuk bekerja sangatlah tinggi yang akhirnya mengabaikan Papa, kamu, dan juga kakakmu.”
“Kakak?” Nafla bertanya penasaran. Ia tahu, ia memiliki seorang kakak. Tapi, dia tidak benar-benar tahu dimana kakaknya itu sekarang.
Rendra mengangguk tipis. “Perbedaan usia kalian sebelas tahun. Dia pergi ketika kamu berumur tiga tahun.”
Nafla melebarkan bola matanya. Jika memang sejauh itu perbedaannya, berarti sosok kakaknya sudah menikah dan memiliki anak. “Pa, kakak aku laki-laki atau perempuan? Dimana dia sekarang?”
“Kakak kamu perempuan. Dia tinggal di kota yang sama dengan kita.” Rendra merasa lelah jika membahas puteri sulungnya itu. “Papa tidak benar-benar melepaskannya. Lagipula, dia juga membutuhkan biaya hidup dari Papa. Tapi, yang membuat Papa kecewa adalah dia yang menikah diam-diam tanpa sepengetahuan Papa.”
Sekali lagi, Nafla ditampar kenyataan bahwa dia benar-benar memiliki seorang kakak. Kakak yang tampaknya tidak bertanggung jawab.
“Lalu, si-siapa yang menjadi wali nikahnya?”
“Adik Papa, paman kamu, Ari. Dia menelepon Paman Ari untuk menjadi wali nikahnya. Dan sekarang, yang Papa tahu dia sudah bercerai karena menyelingkuhi Kakak ipar kamu.” Dan Rendra tidak habis pikir dengan tingkah puterinya itu. Benar-benar sudah kelewatan. Sepertinya, setelah pernikahan puteri bungsunya ini, Rendra akan bertindak untuk membawa puteri sulungnya itu kembali.
●●●
Menyelingkuhi? Cerai?
Dahi Nafla berkerut saat ia mengingat setiap perkataan ayahnya. Kenapa rasanya cerita itu begitu familiar? Dimana dia pernah mendengar cerita seperti itu?
Nafla melangkah masuk ke market terdekat rumahnya. Ia memang sebelumnya izin untuk keluar membeli es krim karena cuaca yang mendadak panas dan cerita dari ayahnya yang membuatnya gerah. Masih dengan kepala di penuhi oleh pertanyaan-pertanyaan aneh, Nafla mengambil es krim coklat dengan taburan kacang di sekitarnya. Membawanya ke kasir dan membayarnya.
Ia membuka plastik es krim sebelum menjilatinya sembari terus berpikir, kisah siapa yang tampak familiar dengan kisah sang kakak?
Tak lama ponselnya bergetar. Ia meraih ponsel dari dalam saku celananya sebelum melihat nama dialler yang tak lain calon suaminya. Nafla segera mengangkat,
“Hallo?”
“Dimana kamu?”
“Saya lagi beli es krim, Pak.”
Di seberang, Asgaf berdecak. Disaat wanita lain luluran dan perawatan mendekati pernikahannya, gadis ini justru membeli es krim di siang panas seperti ini. Tapi, Asgaf tidak peduli, karena ia bukan tipe laki-laki yang memandang fisik seorang wanita.
“Cepat pulang. Saya ingin ke rumah sekaligus kenalan sama calon Papa mertua.”
Nafla berdecak jengkel dan menjawab ketus. Ia mematikan ponselnya sebelum mengingat sesuatu yang membuat matanya melebar. Jantungnya bertalu cepat sehingga tak sengaja es krim yang dibelinya jatuh begitu saja ke aspal.
Kisah kakaknya sama dengan kisah Pak Asgaf. Apakah mereka orang yang sama? Atau benar Pak Asgaf adalah kakak iparnya sendiri?
Tapi, kenapa?
●●●
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top