Bagian 13

“Kak, lihat deh... Caca dapat nilai A,” gumam Caca dengan riang sambil menyodorkan buku latihannya ke depan mengingat ia duduk di jok tengah saat ketiganya beranjak pulang.

Nafla tampak pura-pura menilai dan menggeleng pelan. “Seharusnya kamu dapat nilai B+, Ca.”

Dahi Caca berkerut bingung. “Kenapa begitu?”

Nafla sedikit memutar posisinya menghadap ke belakang. “Setelah senin hari apa?”

“Selasa,” jawabnya yakin yang membuat Nafla mengangguk sebelum memperlihatkan buku yang sempat Caca berikan.

“Lihat deh, ini harusnya Tuesday bukan Thursday.”

Mata Caca melebar sebelum menepuk dahinya sendiri dengan pelan. “Berarti Caca salah dong, Kak. Caca soalnya suka kebalik hari selasa sama kamis.”

Nafla terkekeh dan mengacak rambut Caca yang lepek akibat keringat. “Nggak pa-pa. Kakak dulu juga gitu, sering kebalik antara eye,” Nafla menunjukkan matanya. “Dengan I yang artinya saya.”

“Terus cara kakak membedakannya apa?”

“Kalimatnya dong, Sayang,” jawab Nafla cepat. “Tapi, kalau sudah terbiasa, lama kelamaan kita juga bakal ngerti sendiri..”

“Aku pengen pinter Bahasa Inggris kayak Kak Nafla.”

Asgaf yang sedari tadi menyetir hanya bisa mendengarkan ocehan dua perempuan yang berbeda usia tersebut. Sesekali ia mencuri dengar lalu tersenyum tipis.

“Papa Caca juga pintar Bahasa Inggris.”

“Papa sibuk, Kak. Nggak bisa ajarin Caca setiap waktu,” gumam gadis kecil itu cemberut.

“Sebentar lagi juga Kak Nafla bakal ngajarin kamu terus, kalau perlu setiap malam.” Asgaf melirik Nafla yang terdiam di tempatnya. “Itupun kalau Kak Nafla nggak sibuk kerja kayak Papa, Ca,” sindirnya yang mendapat tatapan kesal dari Nafla.

“Memang Kak Nafla mau ajarin Caca setiap malam? Apa Kak Nafla nggak capek bolak-balik? Atau Kak Nafla nginep di rumah Caca?”

Dan pertanyaan bertubi dari Caca membuat Asgaf dan Nafla terdiam sejenak karena memang gadis kecil itu tidak tahu bahwasanya sang ayah telah memilih ibu tiri untuk putri kecilnya.

“Kakak jawab aku,” desaknya tak sabar.

Menghela napas pelan, Asgaf memilih berujar. “Mulai dua minggu lagi, Kak Nafla akan tinggal di rumah kita. Kamu suka ‘kan?” tanya Asgaf sambil melirik putrinya melalui kaca depan.

“Tinggal? Maksud Papa tinggal selamanya? Sama kita?”

“Iya, Sayang. Kamu suka nggak?”

Caca mengangguk antusias. “Caca suka, Pa. Caca berarti ada kawan sekarang.”

“Nggak itu aja,” sela Asgaf cepat. “Kak Nafla juga akan jadi Mama Caca.”

Anggukan antusias tadi seketika lenyap. Tawanya menghilang membuat Nafla pasrah kalau memang Caca menolaknya.

“M-maksud Papa?”

Asgaf menghentikan mobilnya tepat di perkarangan rumahnya. Ia menoleh ke belakang dan menatap putrinya yang menunggu jawabannya.

“Kak Nafla akan jadi Mama kamu. Kamu suka, ‘kan?”

“Mama tiri? Seperti yang teman-teman Caca bilang? Iya, Pa?”

Mau tidak mau Asgaf mengangguk. Ia melirik Nafla yang terdiam di sebelahnya tanpa berani membuka mata. Entah kenapa, Nafla seketika takut merasa ditolak oleh gadis kecil itu.

Caca menggeleng kuat. “Caca nggak mau!” serunya lantang sebelum keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah.

“Na,”

“Saya nggak pa-pa, Pak,” gumam Nafla hendak membuka pintu mobil, namun Asgaf menahannya lebih dulu.

“Caca cuma butuh waktu,”

“Pak saya bukan anak kecil yang nggak ngerti apa-apa. Bagaimanapun Caca pasti susah nerima saya. Dia pasti ingin yang menjadi Mamanya adalah ibu kand—” Matanya melebar saat Asgaf tiba-tiba menyudutkannya dan kembali mencium bibirnya.

“Mau tidak mau Caca harus terima kamu!” desisnya sebelum kembali melumat bibir yang selalu menggodanya itu. Mencecapnya tanpa ampun yang membuat Nafla menggenggam erat kemeja hitam Asgaf karena tidak sanggup mengikuti alur ciuman liar pria ini tanpa mampu membalas.

●●●

“Mama lihat Caca nangis barusan. Ada apa?” tanya Viona saat melihat putra dan calon menantunya itu masuk bersamaan. “Apa yang kalian katakan?”

“Aku jujur mengenai pernikahanku bersama Nafla. Caca menolaknya.”

Nafla yang berdiri disamping Asgaf hanya bisa menunduk dalam-dalam. Ia bahkan tidak berani menatap calon mertuanya itu karena merasa malu telah ditolak mentah-mentah oleh cucu kesayangannya.

“Papa yakin Caca marah tidak akan lama,” sela suara pria paruh baya yang membuat ketiganya menoleh. “Jadi, kamu yang akan menjadi menantu di rumah ini?” tanya sosok yang berkebangsaan Turki tersebut.

Nafla mengangguk sopan lalu menyalami pria paruh baya yang terlihat jelas wibawanya dan juga terlihat tegap walau tidak lagi muda. “Saya Nafla, Om—”

“Papa dong, Sayang. Jangan panggil Om, ‘kan kamu sudah mau jadi menantu. Omong-omong saya Guven. Panggil saja Papa Guven.”

Nafla lagi-lagi mengangguk dan merasa segan ketika pertama kalinya ia melihat ayah dari calon suaminya ini.

Bence eve nasıl gideceğini bilmiyorsun, ” gumam Asgaf dalam bahasa turkinya. Menatap mengejek sosok ayahnya yang hanya mendengus pelan.

Eve gidiyorum çünkü seninle evlenmekte kötü şansı olan kadınları görmek istiyorum. Eminim senin gibi yaşlı bir adamla evlenme kararından pişman olmuştur, ” sahut sang ayah tidak ingin kalah.

“Biarkan mereka,” sela Viona sambil menarik lengan Nafla agar membawa calon menantunya itu menjauh dari dua pria yang jika bertemu tidak pernah akur. “Sebaiknya kita temui putri kecil kita dan berbicara padanya, ayo...”

Nafla merasa ragu, namun bagaimanapun ia harus menemui Caca dan mencoba bicara secara baik-baik.

●●●

“Sayang,” panggil Viona saat membuka pintu berwarna merah jambu milik cucunya. Menatap Caca yang masih sesenggukan di atas tempat tidurnya. “Kenapa kamu nangis?” Viona memberikan kode agar Nafla mendekat.

“Caca nggak mau Kak Nafla jadi ibu tiri Caca, Oma,” isaknya sambil menghapus air mata di pipi tembemnya.

Nafla yang mendengar seketika tergugu. Ia pun juga menolak kehadiran ibu tirinya saat dulu sang ayah memperkenalkan istri barunya itu di depan ibunya dan juga dirinya. Dan sejak saat itu, ia tak pernah lagi menemui sang ayah yang telah memiliki anak perempuan seusianya.
Sayangnya, Nafla dan Sandra hanya bisa menerima keputusan sosok Rendra Wirawan sebelum memutuskan untuk bercerai. Karena alasan perselingkuhan Papanya -Rendra- adalah masih sangat mencintai masa lalu. Menarik napas dalam-dalam, Nafla memilih melupakan ayahnya sejenak. Ia mendekati Caca dan bergumam lembut,

“Caca nggak suka kalau Kak Nafla jadi Mama tiri Caca?” tanyanya sambil mengelus rambut Caca. “Kalau Caca nggak suka, Caca boleh kok berpendapat. Kak Nafla juga bisa batalin pernikahan ini kalau Caca nggak mau.”

Mata Viona seketika melebar mendengar ucapan Nafla. Ia hendak berseru tidak setuju namun, Nafla kembali melanjutkan, “Caca tahu nggak sih kalau Kak Nafla juga punya ibu tiri?” pertanyaan Nafla justru mendapat atensi Caca.

“Ibu tiri?” tanyanya sendu dengan mata membengkak.

Nafla mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Caca beringsut dari selimut dan duduk di atas ranjang. Menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Teman-teman aku bilang kalau Ibu tiri itu jahat, Kak.” Dilihatnya Caca menggeleng. “Aku nggak mau punya ibu tiri. Aku nggak mau Kak Nafla jadi ibu tiri aku.”

Viona yang melihat Caca tampak lebih tenang memilih untuk keluar dan membiarkan Nafla menjelaskan segalanya.
Nafla tersenyum, ia bahkan tidak menyadari bahwa Viona tidak lagi ada disana. “Nggak semua ibu tiri itu jahat, Sayang. Buktinya, Ibu tiri Kak Nafla baik sama Kakak.”

“Bener?”

Nafla mengangguk walau ia tak pernah bertemu dengan ibu tirinya itu, tapi Nafla tahu bahwa ibu tirinya itu selalu berusaha mencari celah agar bisa berdekatan dengannya. Hanya saja, Nafla yang tidak memberikan celah tersebut. Ia tidak ingin mengkhianati sang ibu yang sudah dikhianati lebih dulu oleh ayahnya.

“Mungkin Kakak belum pantas jadi Mama untuk Caca, tapi Kakak bisa jadi teman untuk kamu. Gimana?” Gadis itu menaik-turunkan kedua alisnya membuat Caca tertawa lebar.

“Aku mau kalau Kak Nafla itu jadi kakaknya aku.”

Nafla mengangguk mantap. “Deal! Mulai sekarang, Kakak akan jadi Kakaknya Caca.”

“Bener? Kakak serius?”

“Iya dong.” Nafla kini memilih berdiri. “Sekarang, Caca istirahat ya? Biar Kakak temani Caca tidur.”

Caca mengangguk lalu membaringkan diri dengan posisi nyamannya. Nafla segera menaikkan selimut gadis itu dan menaikkan suhu ac agar tidak terlalu dingin.

“Kakak keluar dulu yaa... Sampai nanti, Sayang,” Nafla mengecup dahi Caca penuh sayang. Saat ia hendak berbalik, tiba-tiba saja tangan kecil Caca menggenggam lengannya.

“Kak Nafla boleh nikah sama Papa,” bisiknya disertai senyum simpul. “Karena aku yakin kalau Kak Nafla pasti bakal jadi ibu yang baik untuk aku, nggak kayak Mama yang udah tinggalin aku sama Papa. Aku benci Mama, Kak.”

Nafla terdiam saat melihat mata Caca yang dipenuhi kebencian. Ia kembali duduk di pinggiran ranjang. “Ca, Kak Nafla boleh kasih tahu sesuatu nggak?”

“Apa Kak?”

“Mama adalah orang yang berjasa yang sudah melahirkan Caca ke dunia ini walau dia harus mengorbankan nyawanya. Jadi, Caca nggak boleh benci Mama seperti itu karena tanpa Mama belum tentu Caca ketemu sama Kak Nafla sekarang, iya ‘kan?”

“Tapi, Mama jahat, Kak...”

Nafla menggeleng tegas. “Sejahat apapun seorang ibu, dia tetaplah malaikat untuk anak-anaknya, Sayang. Kak Nafla yakin, kalau Mama kamu sekarang kangen sama kamu. Dia pasti sedih karena Caca nggak mau ketemu dia. Jadi, Kak Nafla minta kamu harus belajar untuk bisa memaafkan Mama.”

Viona yang memilih berdiri di depan kamar Caca hanya bisa tersenyum haru. Mendengarkan semua setiap ucapan Nafla yang mampu membuat hatinya bergetar mengingat betapa baiknya sosok Nafla. Ia menyenggol perut berotot putranya yang keras.

“Gimana? Nggak salah ‘kan pilihan Mama kali ini?”

Asgaf memilih diam dan tidak menjawab. Matanya justru terpaku pada sosok Nafla yang asik berbicara dengan putrinya. Inikah jawaban dari Yang Maha Kuasa atas shalat istikharahnya? Jika ya, maka Asgaf berharap bahwa ialah yang menjadi jodoh Nafla di dunia dan di akhirat kelak hingga maut memisahkan mereka.

●●●

Saya rehat dua hari dari cerita ini. Kalau banyak komen dalam dua hari, saya up senin, kalau ngga banyak selasa, kalau ngga ada komen sama sekali berarti nggak up² 😂😂

Happy SatNite gengs ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top