Who is he?

"Ketika kau patah hati, kupikir Tuhan sedang memberiku kesempatan untuk masuk melalui celah hatimu yang terbuka. Namun nyatanya, di dalam sana masih selalu ada satu nama. Dan itu bukan aku."

...

Suara tepuk tangan menggema memenuhi ruang kafe sore itu. Bahkan beberapa di antaranya ada yang sampai berdiri menggeleng-geleng kepala; kagum. Aku mulai turun dari stage setelah berhasil meloloskan satu lagu milik Miley Cyrus. I'll always remember you. Seperti perasaanku pada Sam.

"I proud of you, Emily. Yeaaahh."

Joe menghambur ke pelukanku. Senyumnya merekah, kegirangan. Aku tak pernah melihat dia sebahagia ini sebelumnya.

"Ya, ya. Simpan saja pujianmu itu, bos. Kau tahu aku memang selalu mengagumkan."

ucapku bangga lalu mengambil tempat duduk di depan Joe. Kami duduk persis di tempat terakhir aku bertemu dengan Sam. Entahlah. Tempat ini menjadi tempat favoritku sekarang.

"By the way, sekarang kamu sering banget ada di kafe sih?" tanyaku santai sembari menghirup aroma cokelat panas yang entah sejak kapan ada di sini. Tapi kuyakin Joe yang membawanya.

"Barangkali kamu lupa, Em. Aku ownernya," jawab Joe meremehkan. Sengaja menekan kata terakhir. Aku mendengkus sebal mendengar jawabannya.

Dua tahun sudah aku bekerja dengan Joe. Kafe ini mulai didirikan setelah kami lulus di salah satu perguruan tinggi. Sebetulnya Joe mengajakku untuk melakukan bisnis ini bersama. Tapi karena Sam –saat kami masih pacaran— tidak menyetujuinya, maka aku hanya mengajukan diri untuk menjadi penyanyi saja mengingat suaraku memang sedikit lumayan.

Sam tidak pernah munyukai Joe. Itu alasannya. Bahkan setelah aku resmi menjadi penyanyi di kafe ini, Sam selalu ikut. Duduk hanya untuk menyaksikanku bernyanyi. Jika kemungkinan dia sedang sibuk dengan sebuah urusan, Sam akan mengirimiku puluhan pesan. Jika tidak dibalas, dia akan menelpon atau yang lebih parah melakukan video call. Dia pikir aku akan main gila dengan Joe? Sahabatku sendiri? Yang benar saja!

"Sebagai owner kau jarang sekali ke sini, Joe. Bahkan urusan kafe kamu serahin ke Nino." aku menyendokkan coklat lalu membiarkannya meleleh melumuri tenggorokan. "Aneh aja sih, sekarang kamu sering banget ada di kafe. Bukan kepedean juga, tapi mungkin kamu baru menyadari betapa merdunya suaraku ini."

Aku tergelak saat melihat air muka Joe yang sedikit merona merah. Sesekali memukul meja pelan, karena Joe masih tak bergeming juga. Apa dugaanku benar? Dia mulai mencintai suaraku, makanya sering ada di kafe sekarang. Apa suaraku semakin merdu setelah berpisah dengan Sam?

"Karena sekarang nggak ada Sam di samping kamu," satu kalimat lolos keluar dari mulutnya dengan santai. Sementara aku masih berusaha keras mencerna ucapannya. Bahkan membiarkan dia mengambil cokelatku lalu meneguknya dari pinggiran cangkir berwarna emas.

Sedetik dua detik, otakku masih belum bisa mencerna. Sam, nama itu. sudah sejak lama aku bahkan tak pernah menyebutnya lagi.

"Jadi karena Sam," ucapku kemudian sembari menimbang-nimbang maksud perkataan Joe tadi.

"Maaf. Kamu jadi keinget Sam lagi ya?" Joe mulai terlihat menyesal. Wajahnya berganti cemas setelah melihat ekspresiku. Mungkin dia pikir aku sedih ketika nama Sam disebutnya tadi.

"Tenang saja Joe. Aku udah belajar tegar," dustaku. Padahal berhari-hari ketika Joe memberiku cuti, aku hanya menghabiskan diri di kamar. Menangis, lalu mengiris mentimun untuk menghilangkan bengkak di mataku.

Seketika sadar dari lamunan, aku kembali menatapnya tajam. Tak terima cokelatku dicurinya diam-diam. Dia menyeringai lebar, memberikan cangkir cokelatku kembali.

"Kalo dipikir-pikir kamu itu seperti dia," Joe tersenyum lalu menunjuk sesuatu di depannya agak terletak di pinggir meja. Yang sejak tadi ada namun aku baru menyadarinya.

"Strawberry cake?" ulangku memastikan.

"Bukan. Ini berry happy, Em. Aku beli di kafe depan yang baru buka."

"Okey. Lalu apa hubungannya denganku, Joe."

"Manis, merah, lucu, imut,..."

Aku tergelak mendengar penjelasan Joe. Jelas saja dia sedang menjelaskan diriku secara rinci. Bukan berry cake-nya.

"Em, aku serius," ucapnya kesal membuang napas kasar. "Baiklah. jadi maksudku...," dia menatapku intens dengan tatapan yang sulit aku artikan. "Cake ini memiliki tekstur lebih keras di banding topping-nya. Kamu seperti ini. Lebih tegar di dalam. Tapi kamu terlalu lembut seperti toppingnya dari luar. Itu bikin aku pingin lindungin kamu terus. Walaupun kamu gak butuh perlindungan."

Kulihat wajah Joe berubah datar setalah mengucapkan kalimat terpanjangnya tadi. Cuaca kafe agak sedikit panas. Dan jadi lebih panas lagi ketika aku dengan susah payah menahan tawa yang siap meledak. Joe, sejak kapan dia jadi alay? Ah, itu bukan dirinya sekali. Aku curiga memang otak Joe agak sedikit tidak waras.

"Ketawa aja, Em. Gak usah ditahan-tahan," sindir Joe dengan tampang sebal. Mungkin dia tersinggung karena aku malah tertawa mendengar penjelasan Joe tentang berry cake tadi. Jujur, itu memang sangat lucu. Membuat perutku terasa melilit sakit. Entah kenapa, setelah kehilangan Sam aku jadi mudah tertawa. Tapi mudah menangis juga. Kadang ceria, lalu bisa tiba-tiba berduka.

Joe hanya menggiringku mengingat luka lalu. Berry cake adalah satu dari banyak dessert yang paling Sam sukai. Yang Joe bawa di hadapanku bukanlah berry happy seperti yang joe katakan. Ini tak lebih dari menjadi berry sad setelah aku melihatnya lagi tanpa Sam.

Jika Sam akan memakan puluhan dessert dengan rasa strawberry, maka aku akan memilih cokelat untuk mendampinginya. Lucu sekali. Pecinta cokelat, tapi hidupku tak pernah terasa manis seperti coklat-cokelat itu.

"You okay?" tanya Joe sedikit membungkukkan wajahnya mensejajarkan dengan wajahku yang tertekuk lesu.

"Tentu saja," jawabku pasti lalu memasukkan sesendok cokelat lagi.

"Setelah Sam pergi, apa yang akan kamu lakukan?" lagi-lagi Sam. Ada apa dengan Joe. Akhir-akhir ini dia berlagak aneh sekali.

"Hidup," jawabku merasa enggan.

"Tidak, tidak. Maksudku apa kau akan mencari penggantinya dalam waktu dekat?" tanya Joe antusias. Lihat saja, tangan, alis, bibir, semuanya bergerak mengikuti ekspresi mukanya. Joe benar-benar aneh.

"Tidak secepat itu Joe."

Aku mendelik kesal sambil memasukkan sesondok cokelat lagi. Berharap mood-ku tidak tiba-tiba kacau setelah Joe bertanya tentang kisah asmaraku yang pahit. "Tapi kenapa kamu tiba—tiba ngomong gitu sih? Ngeselin banget, Joe," bentakku geram.

"Aku cuma-"

"Emily ya?"

Seorang lelaki berkemeja hitam mengalihkan fokus kami. Dia tiba-tiba datang memotong ucapan Joe yang hendak menjelaskan tadi. Aku mengernyit karena sama sekali tak kenal dengan pria ini. Lalu beralih menatap Joe dengan ekspresi bertanya. Dia hanya mengedikkan bahu dengan raut wajah kesal.

"Emily Davison?" ucapnya penuh penekanan membuatku berhasil memalingkan wajah lagi merasa namaku disebutnya dengan sempurna.

'Who is he?'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top