Sebuah kesalahan

"Aku kehilangan cara untuk mendapatkanmu lagi. Kehilangan untuk kedua kalinya."


Jika ikan membutuhkan air untuk tetap hidup, maka aku membutuhkanmu untuk tetap bahagia. Sederhana saja. Sudah kubilang cintaku ini tak menuntut. Meski aku sangat ingin memilikimu, ketakutan untuk kehilangan nyatanya lebih besar dari keinginan itu.

Aku sudah sangat bersyukur ketika Tuhan menakdirkan kita bertemu. Dulu, bahkan aku tak punya tujuan hidup sebelum kau datang lalu mengambilku.

Namanya Emily. Panggilan kesayang, Em. Wanita bertubuh mungil tapi berjiwa bapak. Dulu dia pernah mendobrak pintu gudang yang letaknya lumayan jauh dari gedung fakultas. Terakhir masa ospek dia menemukanku di sana dalam keadaan kacau.

Emily Davison, wanita yang mempunyai tingkat kepedulian begitu tinggi. Berani, pantang menyerah dan cantik. Aku bahkan baru mengenalnya hari itu sebelum orang-orang brengsek ber-jas almamater menyiksaku di dalam gudang. Aku tak tahu alasan pastinya, yang jelas aku mengenal satu orang yang ada di antara mereka, menukikkan matanya tajam. Anak dari ayahku.

Setelah kejadian itu, aku menolak untuk menjadi dokter, dan memilih mengikuti Emily masuk di jurusan manajemen bisnis. Keputusanku lumayan membuat Papa istirahat selama berhari-hari di kamar rawat rumah sakit. Entahlah. Saat itu aku tak menemukan satu alasan pun untuk mematuhi kemauan Papa. Tiga tahun cukup bagiku menanggung kesalahan yang Papa buat dengan menjadi bulan-bulanan Nico—anak Papa dengan istri pertamanya.

"Johan Tian Saputra." Aku menoleh memastikan asal suara itu. "Hujannya nggak berhenti juga." Wanita itu mengusap lengannya dengan kedua telapak tangannya sendiri. Matanya masih fokus ke arah jendela luar yang basah. Aku hanya berinisiatif mengambil jaket yang tersampir di ujung sofa dan memakaikan padanya.

Kami sedang menikmati malam berdua. Di kafe yang cahayanya remang-remang. Semua pegawaiku telah pulang selepas kafe ditutup. Dan Emily masih di sini. Tadi kami sedikit bercerita. Menunggu hujan. Tapi nyatanya hujan tak juga reda, dan malam semakin larut saja. Aku tak tahan lagi. Benar-benar tak tahan lagi.

"Joe," lirihnya sangat pelan. Berusaha menolak tubuhku yang membalutinya sempurna. Aku harus berterima kasih kepada Nino yang telah menempatkan sofa ini di ruangan kerjaku. Desainnya pas sekali untuk Emily bisa bersandar tanpa rasa sakit kalau-kalau aku ketiduran dengan posisi seperti ini.

"Ssssttt. Aku juga kedinginan, Em."

Dingin, benar. Angin di luar sana masuk melalui celah-celas fentilasi udara. Tapi adanya Emily di sini membuat hatiku menghangat. Tubuhku juga.

"J-Joe, apa ... yang kau lakukan."

Aku bisa mendengar napasnya yang memburu ketika aku mulai mencecapi permukaan lehernya yang jenjang. Demi Tuhan! Selama hidup, baru kali ini aku mencium aroma yang sangat memabukkan. Bau keringat bercampur dengan bau shampoo dan aroma parfum yang sudah sedikit menghilang. Dia benar-benar seksi.

Tanganku melingkar di belakang punggungnya erat. Benar-benar erat, sebelum aku sadar dengan kegilaanku sekarang. Napasku memburu tanpa arah setelah menarik diri dan menemukan matanya siap pecah. Dia melipat kepala membuang pandangan. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan air matanya.

"Kau tidur di sini saja. Aku tak mau mengantarmu pulang tengah malam begini." Tubuhnya bergetar masih di posisi yang sama. Dia terlihat sangat kecewa. "Aku akan tidur di luar. Kunci pintunya dan beristirahatlah," titahku seolah tak terjadi apa-apa lalu meninggalkannya.

Bertahun-tahun aku menjaga Emily dengan tak pernah mengabari perasaanku padanya. Juga karena Sam. Saat aku mengenal Emily, dia sudah bersama lelaki itu. aku menghormati hubungan mereka juga menghormati persahabatanku dengan Emily. Tapi apa yang sudah kulakukan tadi? Menghancurkan yang telah kujaga selama bertahun-tahun!

Bugh

Satu tinjuan untuk dinding beton ber-cat cokelat. Napasku mulai memburu. Meremas sesuatu yang bisa kujangkau. Rambut, kaos, apapun yang tanpa menimbulkan banyak suara. Keadaanku tak serupa manusia berakal sehat sekarang.

Aku begitu marah setelah mendengar cerita Emily tentang lelaki yang tak lain adalah mantan sahabatnya sendiri, Alea. Lelaki yang beberapa hari lalu datang saat aku dan Emily sedang duduk santai di kafe. Ya, lelaki itu. Siapa itu namanya? Agus? Entahlah. Aku tak ingin peduli juga.

Lagi, bagaimana bisa Emily meminta saranku untuk menerima cintanya atau tidak. Mereka bahkan baru saling mengenal. Jika pun dia butuh seseorang, mengapa bukan aku saja yang rela bertahan bertahun-tahun tanpa melihat ke arah lain. Hanya wanita itu arah kehidupanku satu-satunya. Bahkan setelah aku membangun kafe dengan tema cokelat, dia masih tidak melihatku sebagai seorang pria? Keterlaluan sekali!

Sam, aku mengenalnya dengan sangat baik. Dia lelaki yang sempurna untuk dicintai seutuhnya. Aku akan rela jika Sam orangnya. Bukan lelaki sialan itu.

Bugh

Satu pukulan lagi menghantam tempat yang sama, hingga menimbulkan suara kesakitan dari jari-jari yang mulai berurai darah. Ini yang paling aman saat aku butuh pelepasan. Jika kulayangkan beberapa gelas dan piring, Emily bisa saja menjadi sangat ketakukan jika melihat, atau bahkan mendengarnya.

"Aku dengannya sama-sama ditinggalkan."

Bugh

Itu satu kalimat yang keluar dari mulut kecil Emily. Muak! Aku bahkan ingin menyumpal mulutnya ketika kalimat itu diluncurkan. Demi apapun, aku tak mempunyai firasat baik tentang lelaki itu. Persetan dengan kisah yang dia jual kepada Emily. Bisa saja yang dia jual adalah kebohongan hingga Emily luluh, terpedaya.

Bugh

Satu pukulan lagi untukku yang tak tahu diri. Aku hampir melakukannya tadi. Pikiranku menjadi begitu gelap ketika tahu Emily sedang mempertimbangkan perasaan seseorang. Tapi dia terlalu bodoh untuk mengerti perasaanku. Aku benar-benar terbakar. Rasa cemburu dan kecewa. Semua dorongan nafsu dan akal bulusku tercipta dari sana. Aku pikir apa harus merusaknya dulu untuk menjadikannya milikku?

Tidak, tidak! Aku menggeleng keras saat hendak memutar knop pintu ruanganku yang sedang ditempati wanita itu. Aku kembali dengan limbung. Tanganku mulai berkedut nyeri. Cairan merah menetes mengikuti langkah kakiku.

Akhirnya aku hanya bisa meringkuk di atas ubin yang dingin ini. Hatiku begitu sesak. Mungkin sudah tak berbentuk lagi. Kau yang telah membuatnya hidup lalu mati. Emily, aku benar-benar kehabisan cara untuk mendapatkan hatimu.

t-aliL>V���<

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top