Rencana
"Kamu ternyata candu yang lebih memabukkan. Tak perlu sebatang rokok untuk mengantarkan kehangatan saat hujan. Cukup membayangkan senyummu. Udara bisa tiba-tiba menghangat."
Aku tak pernah berpikir akan menjadi segila ini. Ah, aku sudah gila sebenarnya. Setelah wanita egois itu menghancurkan –bukan hatiku saja.—tapi juga kehidupanku setelahnya.
"Sayang, apa kamu masih di sana?"
Jadi kapan wanita tua ini bisa menyadari kalau sebenarnya aku hanya bermain-main saja? Jelas, aku tak membutuhkannya lagi sekarang. Hatiku sudah membaik setelah wanita bermata cokelat itu menerobos masuk ke sini. Seluruh hati dan pikiranku. Tentu saja. Rasanya bukan hanya untuk bermain-main. Aku menginginkannya untuk selalu ada dalam kehidupanku. Tidak seperti..., ya. Rrgggghhtt, wanita tua yang kekanak-kanakan.
Dulu, aku pernah merasakan sejatuh cinta ini. Tapi hancur ketika wanita yang aku jaga setengah mati hanya mencintai orang lain. dan itu menyakitkan sekali. Alea. Aku masih begitu hafal dengan namaunya.
"Ekhemm, ya. Aku tutup dulu, hon. Ada sesuatu yang harus kukerjakan."
"Apa itu? Aku pikir kamu free hari ini. Ayolah. Kita ke pantai saja sekarang ya?"
Benar-benar muak. Lihat saja! Dia melemparkan dirinya kepadaku dengan suka rela.
'Ck. Di mana harga dirinya?'
"Aku lelah sayang. Hari ini aku ingin istirahat saja. Aku bahkan baru bisa tidur jam tiga pagi. Kerjaanku sedang banyak masalah."
Wanita ini biasanya akan diam ketika aku bersikap lembut. Sedikit dicoba apa salahnya? Aku memang perayu ulung yang memang luar biasa.
"Kau di apartemenmu, kan? Aku bawakan sarapan ke sana ya? Kau mau apa? Bubur atau nasi saja? Atau kue cokelat?—"
'Oke. Ini tak berhasil.'
"Cukup, Jane! Apa kau tak mengerti juga? Aku Ingin istirahat. Dan jika kamu kemari, aku hanya akan semakin lelah saja."
Tanpa menunggu dia bicara lagi, kuputuskan lebih dulu panggilan teleponnya. Tak peduli dia akan mencak-mencak di sana, atau membanting ponsel pintarnya. Aku sungguh tak peduli. Sia-sia juga jika aku harus terus bicara padanya.
Baiklah, perutku sekarang terasa mual. Berbicara dengannya hanya akan memperburuk. Itu saat di telepon. Apalagi jika dia benar-benar ada di sini? Ya Tuhan. Membayangkannya saja aku tak sanggup. Begitu mengerikan. Aku tak peduli lagi dengan ocehan basi semacam yang dia punya. Yang aku inginkan sekarang hanya wanita bernama Emily. Bukan wanita tua itu.
Aku kembali fokus dengan ponselku dan men-dial nomor seseorang.
"Halo." Seseorang di sana telah mengangkat panggilanku. "Tolong perketat penjagaan apartemenku, Nic."
"...."
"Ya, tepat. Yang sering berkunjung ke apartemenku itu."
"...."
"Sialan! Kau hanya perlu menjaga apartemenku dari wanita itu bodoh. Soal hubunganku dengannya, itu sama sekali bukan urusanmu." Aku buru-buru mematikan panggilan telepon itu setelah mendengar dia tertawa kencang. Sial!
Setelah mual, sekarang tanganku begitu gatal untuk memukul seseorang. Nic, seorang kepala keamanan yang benar-benar sialan. Dia pikir aku mengencani seseorang karena harta? Yang benar saja. Setiap berkencan bahkan aku sering kehilangan saldo tabunganku hanya karena wanita tua itu.
***
"Sayang aku ingin yang besar." Dia berteriak-teriak di pinggir lapangan bola.
Kalau bukan karena dia, demi langit dan bumi, aku tak akan pernah mau melakukan ini. Bahkan jika dia meminta untuk yang kedua kalinya.
Anak-anak yang tingginya hanya sepinggangku tengah bersiap. Ibu-ibu berdaster dan bapak-bapak berkaos oblong menyoraki kami dengan lantang. Aku masih duduk di ujung lapang yang lain.
"Om, ayo, Om."
Dan tawa orang-orang semakin meledak setelah satu anak itu berhasil membawaku ke tengah lapangan. Permainannya sederhana. Aku hanya perlu berjalan di atas bakiak dengan anak-anak itu dan membawa dua hadiah yang disiapkan di ujung sana. Yang memalukan adalah daster yang kupakai. Ini gila. Benar-benar gila. Aturan macam apa ini?! Lelaki berdaster berjalan di atas bakiak untuk sebuah hadiah.
Ale memaksaku turun dari mobil ketika melihat kerumunan orang–orang saat hendak menuju puncak untuk liburan. Nahas. Dia malah memintaku untuk terlibat dengan permainan konyol ini hanya untuk sebuah boneka beruang. Demi apa, aku bahkan bisa membelikannya yang lebih besar dan banyak daripada ini. Ale hanya terus menggeleng manja ketika kujanjikan membeli boneka yang lebih besar. Aku menyesal membawanya ke puncak sore itu.
"Makasih sayang. Aku cinta banget sama kamu."
Akhirnya, ya. Tentu saja. Aku tak pernah kalah dari siapa pun. Dan boneka sialan itu sekarang sudah duduk manis di pangkuan kekasihku sekarang.
"Just for you, beib."
Aku hanya memandangnya sekilas lalu melajukan mobilku lagi.
"Love you. Kamu terbaik, Gus. Aku bahagia banget."
Senyumannya itu .... Aku terus menikamatinya sepanjang perjalanan. Tapi tiba-tiba Ale menghilang ketika ponselku berdering lebih kencang.
Memang dasar wanita bar-bar. Catat, jika detik ini aku telah benar-benar membenci dia. Ingatkan aku untuk memutuskannya dalam waktu dekat ini.
Tak peduli lagi, ponsel itu akan diam ketika kuhancurkan.
Braaaak
Aku masih tak percaya. Kepingan memoriku bersama Alea, mengapa selalu itu yang terus kuingat. Bahkan ketika aku dalam keadaan tak sadar.
"Mimpi kamu lagi, Al," Aku tersenyum miris. Kenapa wanita egois itu masih mengusik mimpiku lagi? Apa dia tidak terima jika aku memilih mencintai wanita lain? Apa tandanya itu dia sedang cemburu? Ah. Alea sayang, aku merasa senang. Lebih senang lagi jika dicemburui sejak dulu. Sejak kamu mengatakan I Love You yang padahal palsu. Harusnya kamu berpura-pura cemburu juga saat itu.
Aku ingin menghentikan semuanya. Terutama hidupku yang semakin tak berarah. Pertama-tama, mungkin aku harus memenuhi tawaran wanita tua itu untuk berkunjung ke rumahnya. Anggap saja sebagai pertemuan terakhir sebelum aku memutuskannya. Yeaah, Great! Lalu menjemput bidadariku dan menyingkirkan Alea selama-lamanya. Bahkan dari setiap mimpi-mimpiku.
Rencana yang sempurna untuk menata hidupku yang sudah kacau luar biasa.
#DapurCokelat
777 kata dalam #OnlyYou
<'?V�@�<
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top