Paket hati di pagi hari

"Aku melihat diriku yang dulu di dalam dirinya sekarang. Apa cinta semaha dahsyat itu?"


Aroma sapi panggang mengusik pagi Emily yang berat. Ia masih mengantuk. Semalam Emily terpaksa harus menemani mamanya main catur sampai tengah malam karena insomnia. Sepulang bertemu dengan Augus, Emily mampir di sebuah mini market untuk membeli beberapa makanan ringan pesanan Jean, mamanya.

"Ck ck ck, apa kita kedatangan maling semalam?"

Emily berdecak kesal melihat seisi dapurnya yang berantakan. Sampah-sampah makanan ringan berserakan memenuhi meja makan, sebagian berserakan di lantai. Dia sadar bahwa kemarin dia bukan membeli 'beberapa' makanan ringan. Tapi 'banyak' makanan ringan untuk mamanya

"Morning sweety," sapa Jean menoleh sebentar lalu sibuk dengan masakannya lagi.

"Apa mama akan mengunjungi seseorang?" tanya Emily setelah menghabiskan segelas air putihnya.

"Tidak. Ini sarapan kita sayang," jawab Jean santai menyadari kebingungan Emily dengan masakannya pagi ini.

"Mama bercanda? Sarapan dengan menu seberat itu?"

Emily menarik kursi lalu duduk di sana.

Jean hanya mengangguk lalu menyalin makanannya di piring dan membawanya ke atas meja.

Dengan satu libasan sampah-sampah plastik itu jatuh tak beraturan. Emily melipat kedua tangannya di depan dada dengan menyenderkan punggungnya ke kursi makan. Melihat tingkah Mamanya yang mirip wanita urakan. Berbeda dengan penampilannya sehari-hari.

"Apa karena Daniel?" Emily memicingkan mata curiga.

"Jika sudah tahu kenapa bertanya," jawab Jean ketus. Mata Emily membulat sempurna. Mulutnya menganga lebar sudah mirip zombie yang baru bangun tidur dan kelaparan. Benar saja, Jean selalu aneh jika terjadi sesuatu dengan kekasih yang sudah dipacarinya enam bulan yang lalu.

Meski umurnya hampir menginjak kepala empat, tak bisa Mily bantah bahwa mamanya itu masih terlihat sangat muda. Seperti masih usia 28 tahunan. Tubuh kecil membuatnya selalu terlihat cantik saat mengenakan pakaian apapun, termasuk setelan blazer dengan rok selutut yang sering Jean pakai ke kantor.

Pekerjaannya sebagai seorang akuntan di perusahaan sebetulnya tidak terlalu menuntut Jean harus berpenampilan sedemikian rupa. Hanya saja yang perlu diingat, Jean adalah seorang single mother yang anaknya sendiri sudah dewasa. Jean seperti memiliki hidup yang baru ditambah kisah asmaranya dengan Daniel.

Sebenarnya itu sedikit mengganggu Emily. Dulu ketika pertama kali Emily dan Jean pindah ke sini, mamanya selalu jadi perbincangan ibu-ibu komplek setiap pagi. Dilihat dari penampilan dan statusnya membuat Emily malu sendiri. Hal ini juga yang membuat sikap kedua orang tua Sam berubah. Status Jean sebagai janda dan sering diantar lelaki pulang membuat siapa pun tak akan bisa berpikir yang baik tantang mamanya. Emily sadar akan hal itu. Tapi dia tak pernah berniat membicarakannya dengan Jean. Biarlah mamanya menganggap Emily dan Sam berpisah karena mereka sudah tidak ada kecocokan.

"Kali ini apalagi, Ma?" Emily mulai mengambil piring lalu menyendokkan nasi dan beberapa menu lainnya yang sudah Jean masak sejak pagi. Ini bukan kebiasaan sarapan Emily. Hanya saja, menemani Mamanya bergadang membuatnya lapar di pagi hari. Dan sama sekali tak ada roti, selai, susu dan buah-buahan seperti baiasanya.

"Daniel berubah," gumam Jean dengan tatapan sendu. Emily meringis melihat mamanya ini. Sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat dengannya. Jika Emily hanya menangis di kamar, memendam sendiri lalu kembali ke lingkungan sosialnya dengan ceria, Jean akan bertingkah sebaliknya. Terlebih urusan asmara. Emily sama sekali tak pernah tertarik untuk mengumbar kesedihannya kepada orang lain. Sekalipun itu mamanya sendiri. Dan Jean bertingkah seolah dia adalah anak dan Emily mamanya yang selalu bijak.

Emily sering melihat mamanya yang begitu jeli mengurus setiap inci kulitnya. Berbagai macam cream wajah, hingga botol-botol lain yang Emily sendiri tak tahu apa namanya, penuh sesak menghiasi meja rias Jean. Berbeda dengan Emily yang cuek dan melakukan perawatan seperlunya. Dia memang telah dianugerahi wajah yang cantik. Mulus, putih, dan tinggi. Lebih tinggi sedikit dari Jean, membuat mereka sering dianggap kakak beradik jika kebetulan pergi bersama.

"Tepatnya sudah lebih dari sebulan ini, Mil. Apa dia bosan ya? Kemarin dia nggak angkat telepon mama sama sekali. Sampai hari ini, Mily," lanjutnya lagi.

Emily kembali meringis kemudian merengkuh bahu Jean penuh sayang. Emily tidak tahu harus berkata apa. Mamanya sama sekali tidak merasa risih menceritakan kisah asmaranya kepada anak gadisnya sendiri yang sebetulnya sedang patah hati juga.

"Mily temenin nyalon ya, Ma?" ajak Mily berusaha mengalihkan perhatian mamanya agar tak melulu memikirkan hubungan asmaranya dengan Daniel.

Mily menangkup kedua bahu Jean yang rapuh. Dia berusaha menghibur dengan mengorbankan waktunya sia-sia di salon. Tempat yang sangat tidak Mily sukai. Tapi bukan masalah jika dengan begini mamanya bisa bahagia.

Jean mengangguk memeluk Emily sayang. Lalu melepasnya setelah terdengar bunyi bel beberapa kali. Emily hendak bangkit namun Jean menahannya untuk tetap duduk.

"Gak papa. Biar Mama aja."

Emily hanya mengangguk lalu melanjutkan sarapannya. Sesekali tersenyum karena kegalauan mamanya membuat Mily kembali merasa seperti anak yang dimanja. Bahkan di Minggu pagi seperti ini, Jean biasanya berangkat sejak subuh untuk jogging. Tapi sekarang, Jean memasak! Luar biasa langkanya.

Jean kembali ke dapur lalu duduk di sebelah Mily dengan wajah berseri-seri.

"Siapa Ma?"

"Kurir, Mil. Nganterin ini," jawab Jean memamerkan bungkusan besarnya.

"Aaaaaakkk, choco monkey, sweety."

Jean nyaris berteriak kegirangan setelah mendapati sebuah boneka monyet berukuran sedang dan sebuah cokelat berbentuk hati.

'Maafkan aku Jean sayang.

With love, Daniel.'

Emily memutar bola mata, jengah setelah sempat ikut membaca isi surat dari kekasih mamanya itu. Menggelikan.

"Mily, ke salonnya nanti-nanti lagi aja ya. Habisin sarapannya. Mama ke kamar dulu."

Mily mengangguk meski lipatan di dahinya begitu banyak berkerut. Dia heran dengan sikap Mamanya yang, ya mirip anak SMA lagi. Mirip tingkahnya dulu bersama Sam. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal, menatap kepergian Jean yang menghilang di balik tembok. Sedetik kemudian Emily berjongkok dan mendapati sampah yang masih berserakan di sana. Mily merasa kesal setengah mati dengan perilaku mamanya yang labil. Dia tak selera menghabiskan sarapannya lagi.

'Sabar Mily. Sabaaar.'

-��V���;

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top