Dua sama rasa

"Aku bertemu dengannya saat menunggumu. Dan aku mulai menyukainya saat aku masih mencintaimu."

...

Sendiri membuatku lantas menjadi wanita gampangan. Mengikuti lelaki asing yang muncul di kafe Joe kemarin. Tidak, tidak! Lelaki yang kuketahui bernama Augus ini yang merengek memintaku untuk berbicara hal penting dengannya kemarin. Tentang Sam! Jelas aku tidak semurahan itu, kan? Ini menyangkut Sam! Seseorang yang masih kuharapkan.

Augus memarkir ferrari merahnya di depan sebuah kafe. Area parkir yang begitu padat sore ini membuat Augus terpaksa memarkirkan mobilnya lumayan sedikit jauh. Aku merasa risih dengan tatapan lapar beberapa wanita yang hilir mudik memerhatikan kami sejak turun dari mobil. Mereka memandang kagum, iri, bahkan ada juga yang menatapku sinis. Aku merasa bangga dengan postur tubuhku yang ya... boleh dikatakan ideal lah. Jadi kurasa tidak memalukan juga jika berjalan berdampingan dengan pria jangkung dan kekar ini

Tiba di dalam kafe, aku dibuat ternganga dengan dekorasinya. Setiap dinding kafe dibuat 3D cokelat yang nyaris saja ingin kujilati seluruh permukaannya. Ditambah seluruh ornamen unik dan lucu bertemakan cokelat. Aku bahkan baru tahu jika ibukota mempunyai tempat seperti ini. benar-benar surganya cokelat.

Susah payah kusembunyikan kekaguman pada tempat ini ketika sepasang mata abu-abu menatapku ramah. Tentu. Aku tidak akan membuatnya berbangga diri dengan tempat pilihannya ini.

"Jadi silakan jelaskan tujuan anda menemui saya sekarang," ucapku tanpa basa-basi.

"Apa kamu memang tidak sabaran seperti ini?"

Augus tertawa santai. Matanya membentuk bulan sabit ketika tertawa. Dan lesung pipinya... Oh ayolah Emily. Apa yang sedang kamu lihat!

Seorang waitress datang menginterupsi. Menata pesanan kami di atas meja. Aku membuang napas lega. Augus tersenyum manis sekali. Waitress itu mematung beberapa saat sebelum aku berdeham menyadarkannya. Ia lalu kembali dengan tergesa-gesa. Augus mengulum senyum geli. Tuhan. lelaki ini punya berapa jenis senyuman sebetulnya. Manis sekali.

Kali ini Augus yang berdeham. Wajahku memanas. Malu karena ketahuan mengaguminya diam-diam.

"Kamu suka tempat ini kan?" tanyanya tiba-tiba mengusir segala isi pikiranku sebelumnya. "Setahuku kamu memang suka cokelat," timpalnya lagi.

"Aku sedikit merinding berhadapan dengan dukun sepertimu."

"Dukun?" dia mengulang lalu tertawa. "Aku hanya sedikit mencari tahu, Emily."

"Jadi kamu ini siapa?" tanyaku frustrasi. Orang ini benar-benar suka berbasa-basi.

"Aku Augus. Apa kau tak menyimak perkenalanku kemarin?" dia terkekeh sambil mematika ponselnya yang sedari tadi bergetar di atas meja. Menyadariku yang hanya terdiam, dia lalu melanjutkan, "Oke baiklah. Aku menemuimu karena aku rasa kita punya perasaan yang sama. Dua rasa yang sama."

Aku masih tidak paham dengan obrolannya yang terlalu ambigu.

"Ck. Omonganmu terlalu berputar-putar tak jelas, Sir."

Dia menyeringai menampilkan deretan gigi putihnya. Sial.

"Aku sebetulnya tidak suka cokelat, Mily. Hanya karena untuk bisa ngobrol bersama pecandu cokelat, aku rasa tak ada salahnya mencicipi sedikit."

Apa katanya tadi? Mily? Dia berlagak seolah kami sudah saling dekat.

"Emm, apa kamu suka hot cokelat itu?" Augus bertanya sembari menunjuk ke arah cangkir cokelatku dengan dagunya. Aku hanya mengangguk sebagi jawaban.

"Kamu mengingatkanku kepada seseorang."

Otakku mencerna kemudian. Teringat sesuatu.

'Gila lo, Mil. Cokelat gue elo embat semua!'

'Elaaah, pelit amat lo. Entar gue gantiin dah. Traktir makan cokelat sepuasnya.'

'Omongan doang lo. Aaarrghht, sini bagi gue cokelatnya. Mood gue lagi buruk banget gara-gara ulangan matematika tadi.

Dengan sigap aku bangkit membagi cokelat panas ke cangkir kosong yang Alea bawa. Lalu kembali di atas kasur Alea yang empuk, melanjutkan tontonan drama koreaku di layar laptopnya.

Lelaki ini bilang akan membicarakan Sam. Kenapa topiknya jadi ke cokelat begini. Tunggu! Dia bilang tadi apa? Hati yang sama? Mengingatkanku pada seseorang? Alea? Dan, obrolan seputar Sam?

"Jika aku tak salah menangkap, maksudmu, apa mungkin kamu...," ucapku menggantung karena sedikit ragu untuk mengucapkannya.

"Kamu pinter nangkep omonganku, Mily. Aku suka kecerdasanmua itu. Menarik."

Augus mengedipkan sebelah matanya membuat bulu kudukku meremang.

Suasana hening saat aku memutuskan untuk tidak merespon perkataan Augus tadi. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku jadi mempunyai kesempatan untuk menikmati secangkir cokelat panas yang nikmat. Sesekali memikirkan hubunganku dengan Alea dulu. Kami mulai bersahabat karena mempunyai banyak kesamaan. Selain perihal cokelat, kami juga mempunyai ketertarikan yang sama pada seseorang.

"Mengukur kedalaman perasaan seseorang tidak semudah mengukur kedalaman secangkir susu panas dengan choco stick ini, Mily," Augus memainkan choco deep sticknya penuh kesedihan. "Bahkan untuk mengetahui tulus tidaknya perasaan seseorang..., aku harus menunggu tiga tahun sampai benar-benar menyadarinya. Bahwa selama itu, ternyata dia hanya berpura-pura. Bodoh ya?" lanjutnya lagi. Matanya memerah. Ada sebongkah kekecewaan di sana.

"Harusnya kita bertemu sejak dulu. Biar aku beri tahu kamu jika Alea tidak pernah sanggup mencintai orang lain selain kekasihku."

Augus tersenyum getir.

"Lalu bagaimana denganmu? Kudengar kalian sudah bersama sejak SMA. Apa itu lebih menyakitkan?"

"Tentu saja tidak. Sam sangat mencintaiku dan dia tidak pura-pura."

"Jadi dia sangat mencintaimu sehingga menikah dengan orang lain?"

Pertanyaan sindirannya mampu membuat ujung mataku terasa sangat panas. Bukan itu, tentu bukan itu.

'Sam bahkan menemuiku sebelum hari pernikahannya. Aku tak pernah ragu dengan perasaannya. Kecuali meragukan takdirku sendiri yang terlahir tanpa mengenal sosok seorang Papa.'

Aku masih ingat bagaimana hubunganku dulu sangat didukung tante Ambar –mantan calon mertuaku. Ralat. Ibunya Sam—yang selalu ramah ketika aku berkunjung ke rumahnya. Semuanya berjalan mulus sebelum mereka tahu bahwa aku hanya terlahir dengan satu orang tua. Mama. Aku bahkan berharap Papaku sudah meninggal hingga aku punya alasan untuk menjelaskannya kepada mereka. Tapi sekali saja, mama tak pernah memberitahuku perihal itu. Dia tidak menjelaskan Papaku itu memang masih hidup atau tidak.

Drrrt drrrt

Aku bersyukur mama meneleponku di saat seperti ini. Jadi aku tak perlu menanggapi pertanyaan Augus yang lebih tepatnya adalah sebuah sindiran yang tak mampu kujawab.

"Sebentar," ucapku pada Augus pelan, lalu mulai menggeser layar ponsel.

"Hallo, Ma."

"..."

"Lagi bareng temen," aku melirik Augus sekilas.

"..."

"Oke, Ma. Mily pulang sekarang."

Aku merogoh isi tas lalu membawa keluar sebuah note beserta bolpoint-nya.

"Maaf aku harus pulang sekarang."

"Biar kuantar."

"Tak perlu. Aku harus membeli sesuatu dulu, lagi buru-buru." Aku masih fokus menuliskan sesuatu di atas kertas. "Ini."

Augus mengerutkan dahi lalu sedetik kemudian tersenyum lebar.

"Aku duluan, bye."

Aku pergi meninggalkan Augus dengan selembar kertas. Meinggalkan nomorku di sana. Apa aku sedang berharap dia menemuiku lagi besok, lusa, atau kapan-kapan? Aku sudah benar-benar gila.

R��V�%�;

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top