Chapter 9

Yuhuuu! Update😍😍😍

Yoook, vote dan komen sebanyak-banyaknya🤗🤗😘❤

#Playlist: Kim Yeon Ji - Words of My Heart

Taro mengamati istrinya yang masih duduk di depan meja belajar kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Mila masih belajar. Dia khawatir Mila sakit lagi karena belum lama sembuh.

"Kamu nggak mau tidur? Kenapa masih belajar jam segini?" usik Taro. Tidak tahan lagi untuk tidak menegur istrinya. 

"Nanti," jawab Mila. Singkat dan padat.

"Apa harus belajar terus, Mil? Besok bukannya kamu nggak ada jadwal kuliah?" 

"Iya, nanti. Bawel banget." 

Taro mendekati Mila, mengamati dari belakang. Penasaran dengan apa yang dipelajari Mila. Rupanya Mila sedang mempelajari kasus yang dia berikan beberapa waktu lalu untuk dibahas minggu depan. Padahal masih ada banyak waktu untuk mempelajarinya, tapi Mila memilih belajar sekarang. 

Mengesampingkan kekhawatirannya sebentar, Taro mengusap kepala Mila. "Cepat selesaikan belajarnya. Saya tungguin kamu sampai selesai." Lalu, dia melangkah keluar dari kamar. 

Mila menoleh sebentar saat Taro keluar dari kamar. Dia tidak memedulikan Taro ingin pergi ke mana dan kembali belajar. Mila sedikit bingung soal kasus yang diberikan oleh Taro. Namun, dia tidak mau bertanya langsung pada Taro. Dia tidak mau dinilai tidak mampu memberikan penilaiannya sendiri. Ya, meskipun dia ingin seperti Sani yang selalu berdiskusi dengan suaminya. Akan tetapi, dia tidak mau menunjukkan ketidakmampuannya. 

"Bikin kasus rumit banget. Mau gue pukul aja," gerutunya sebal. "Apa nanya Kak Angan aja? Atau, Pak Anatomi? Aduh... ini kenapa sih dia kasih soal yang belibet gini? Mentang-mentang otaknya encer." Mila tak berhenti menggerutu. Akhirnya dia menyerah. Dia mengambil ponselnya dan menekan nomor telepon Sani. Belum menekan nomor sahabatnya itu, dia menggantung ibu jarinya di udara. "Jam segini mah Sani udah nina bobo sama suaminya."

Ujung-ujungnya Mila meletakkan ponselnya di atas meja dan mendesah kasar. Dia memilih membaca ulang kasus yang diberikan Taro. Pada saat yang bersamaan, dia mendengar suara pintu dibuka dan ditutup. Tidak perlu melihat pun, dia tahu kalau suaminya baru masuk ke dalam kamar. 

"Ini kamu minum dulu. Tadi pagi udah minum vitamin, kan?" Taro meletakkan susu cokelat hangat kesukaan Mila di atas meja. Selain itu dia meletakkan air putih untuk berjaga-jaga jika istrinya haus. 

Mila menaikkan pandangan melihat suaminya yang tersenyum. "Makasih," ucapnya pelan. Lalu, dia meneguk susu yang dibawakan. Ternyata dia haus memikirkan tanggapannya tentang kasus ini. 

"Kalo kamu punya pertanyaan atau bingung, kamu bisa tanya sama saya," ucap Taro. 

"Nggak ada kok." 

"Ya, udah. Kalo ada, tanya aja. Saya baca buku di sana." Taro menunjuk sofa panjang yang ada di kamar. Karena luas dan besar, kamarnya ada sofa lengkap dengan meja kopi dan televisi berukuran besar. Dia tidur di sofa saat Mila tidur di tempat tidur.

"Oke." Hanya itu yang diucapkan Mila. 

Taro duduk di sofa tempatnya tidur sejak kemarin malam. Kehadiran ibunya memaksa dia tetap berada di kamar yang sama dengan Mila. Dia tidak mau mengganggu Mila dan mengambil buku novel yang dipinjamkan Flamora padanya. Baru membuka lembar pertama, dia mendengar ponselnya berdering. Taro menjawab panggilan adiknya dan bergegas keluar dari kamar.

Mila sampai menoleh dan sempat mendengar Taro mengatakan; "Terus kenapa, Sua?" 

Kepergian Taro keluar kamar membuat Mila penasaran. Kenapa harus menjawab panggilan adiknya di luar kamar? Memangnya dia tidak boleh tahu apa yang Taro katakan? Satu-satunya orang yang dipanggil Taro dengan Sua adalah adiknya yang berumur 22 tahun. Adiknya masih berada di Swiss sejak memutuskan kuliah di sana.

Mila berujung kesal sendiri dan tidak berminat belajar lagi karena kesulitan dengan dua hal dalam kasus tersebut. Sebenarnya dia bisa saja cari di Google dengan kasus yang serupa dan melihat responsnya, tapi dia tidak mau. Lebih baik bertanya pada pakarnya besok. Dia akan bertanya pada Angan atau Anatomi. 

Penasaran dengan apa yang dibahas Taro di luar sana, Mila mendekati pintu dan mendekatkan telinganya pada pintu. Siapa tahu dia mendengar pertengkaran atau sesuatu yang menarik. Lumayan, bisa menjadi hiburannya saat ini. Mila memiringkan tubuhnya hingga bersandar pada pintu. 

"Kok nggak kedengeran, sih?" Mila bermonolog sendiri.

Pada saat yang sama Taro membuka pintu hingga membuat Mila nyaris jatuh kalau tidak tertahan tangannya. Istrinya tampak kaget. Dia pun sama kagetnya karena melihat Mila hampir jatuh.

"Kamu ngapain?" tanya Taro.

Mila memasang wajah sedatar mungkin. "Saya mau ke bawah," jawabnya beralasan. Dia berusaha tetap tenang. Semoga saja Taro tidak curiga dia menguping. 

"Mau ngapain? Makan?" 

"Iya." 

"Ayo, saya temenin ke bawah." 

Begitu Taro berbalik, Mila menahan lengan suaminya. "Nggak usah. Tiba-tiba saya nggak nafsu makan."

"Kamu yakin? Kalo kamu lapar saya bisa buatin makanan."

Mila menggeleng seraya menarik tangannya. "Yakin kok."

"Ya, udah, sekarang kamu tidur." Taro mengunci pintu kamar setelah Mila masuk kembali. "Kamu udah nggak mau belajar lagi, kan?" 

"Nggak kok. Saya mau tidur." Mila berjalan cepat menuju tempat tidur dan segera menaiki tempat tidur berukuran king size. Di balik selimut bergambar bunga mawar, Mila mengamati Taro yang mulai duduk di atas sofa. "Mas nggak tidur?" tanyanya.

Taro menjawab, "Tidur kok. Kamu nggak suka lampu nyala jadi saya ikut tidur." 

"Oh, gitu. Oke. Malam." Mila memunggungi suaminya. Meski sudah memejamkan mata dan lampu dimatikan, dia tidak bisa tidur. Mila sering tidak tenang saat malam hari. Terkadang kalau dia mulai gelisah dan tidak bisa memejamkan mata, dia butuh obat tidur. Sayangnya Taro sudah membuang obat tidurnya. 

Selama beberapa menit Mila bolak-balik posisi karena tidak bisa tidur. Berulang kali pula Mila mendesah kasar. Dan akhirnya dia turun dari tempat tidur dan menyalakan lampu. Mila duduk lagi di meja belajarnya dan membaca kasus yang membingungkannya.

"Kamu belajar lagi?" tanya Taro saat bangun menyadari istrinya duduk di tempat semula.

"Iya. Saya nggak bisa tidur." Mila kembali mengulang bacaan kasus yang ada di kertas.

"Mau saya dongengin sesuatu?"

"Dongengin apa?"

"Mungkin cerita dongeng?"

"Kenapa nggak ceritain tentang keluarga Mas aja?" usul Mila.

"Keluarga saya? Nggak ada yang menarik."

Mila memiringkan tubuhnya dan menoleh ke belakang. Suaminya sudah duduk dan tengah mengusap wajahnya. Kemudian, Mila kembali melihat kertasnya. Kalau Taro tidak mau cerita, lebih baik dia belajar sampai mengantuk.

"Apa kamu mau tidur kalo saya ceritain tentang keluarga saya?" tanya Taro tiba-tiba.

Mila tersentak kaget. Dia menjawab dengan cepat. "Iya."

"Ya, udah, kamu naik dulu ke tempat tidur. Saya ceritain. Biar kamu bisa tidur nyenyak. Saya nggak tega lihat kamu gelisah terus sepanjang malam."

Mila bangun dari tempat duduknya, lalu mematikan lampu dan menaiki tempat tidurnya. Mila menyelimuti dirinya dan mencari posisi terbaik untuk mendengarkan cerita suaminya.

"Kamu mau tau cerita keluarga saya dari mana?" tanya Taro.

"Pembahasan Mama pagi ini," jawab Mila.

Taro menghela napas berat. "Orangtua saya belum cerai secara hukum. Mereka hanya pisah ranjang gitu aja. Sisanya saya nggak mau mencampuri kisah cinta mereka sama pacar-pacarnya. Saya tau keluarga saya banyak kurangnya, tapi saya harap kamu tetap menghargai orangtua saya apa pun itu keadaannya."

"Mas nggak marah mereka pacaran?" Mila ingin menyumpal mulutnya karena sudah bertanya seenaknya. Seharusnya dia diam saja kalau sudah tahu kondisinya. "Abaikan aja pertanyaan saya, Mas," ralatnya kemudian.

"Apa hak saya marah sama mereka karena punya pacar? Saya cuma bisa mendoakan kebahagiaan menyertai mereka sepanjang waktu. Saya ingin mereka bahagia. Kalo nggak bisa bahagia bersama, saya ingin mereka bahagia dengan orang yang menurut mereka bisa membahagiakan."

"Adik dan kakak, Mas, nggak komentar?" Lagi, Mila ingin menyumpal mulutnya. Dia refleks memukul bibirnya. Kenapa dia ketularan jiwa kepo Sweety sih? Padahal ini bukan urusannya.

"Kakak saya nggak peduli. Justru dia yang mengenalkan Mama sama sahabatnya dan sekarang jadi pacar Mama. Adik saya rewel sih, dia kesal bahas ayah saya, tapi, ya... begitu aja."

"Tadi adiknya Mas telepon, kan? Kenapa harus telepon di luar?" Mila memukul bibirnya lagi. Ugh! Dia kelepasan dan penasaran terus. Bikin kesal saja.

"Saya nggak enak ganggu kamu belajar. Lagian adik saya cuma bahas pacarnya Mama," jawab Taro untuk kesekian kalinya.

"Oh, gitu. Makasih udah dikasih tau, Mas."

"Iya. Kamu udah mau tidur sekarang? Soalnya dongeng udah selesai."

"Belum."

"Mau saya pijat keningnya? Biasanya kalo Sua susah tidur, dia pijat keningnya. Mau coba?"

"Hm... boleh."

Taro bangun dari tempatnya dan beranjak menaiki tempat tidur. Setelah sudah duduk di samping Mila, dia melihat istrinya berbalik badan menghadapnya. Tanpa berlama-lama Taro mulai memijat kening Mila menggunakan ibu jarinya. Pelan dan lembut.

"Kalo terlalu kencang bilang, ya," ucap Taro.

Mila mengangguk pelan sambil memejamkan mata.

"Kalo kamu ada cerita apa pun itu, kamu bisa cerita sama saya, Mila. Saya bersedia dengerin kamu."

"Iya, Mas."

Taro tak berhenti memijat kening Mila sampai istrinya jatuh terlelap. Setelah memastikan Mila benar-benar tidur, dia mengecup kening Mila.

"Have a nice dream, Mila."

❤❤❤

Mila baru saja keluar dari kamar mandi dan sudah mengenakan pakaiannya. Dia melihat suaminya masih tidur di sofa. Mila mendekati suaminya dan menepuk lengannya.

"Mas? Nggak ngajar?" tanyanya. Pasalnya ini sudah pukul delapan pagi, tapi suaminya belum bangun. Biasanya Taro sudah siap. "Mas?"

Mila mengarahkan punggung tangannya pada kening Taro. Ternyata suhu badannya panas sekali. Mila sampai kaget. "Mas demam. Saya ambilkan obat ya."

"Nggak usah, Mil. Nanti sembuh sendiri. Kamu berangkat aja." Taro berbalik badan dengan napas berat. Dia batuk berulang kali.

"Daddy! Mommy! Ayo, sarapan!" Kilau berteriak semangat sambil mengetuk pintu berulang kali.

"Mas, pindah ke tempat tidur sekarang. Saya urus Kilau dulu. Nanti saya balik lagi," suruh Mila.

Taro tidak menjawab dan bangun dari posisi tiduran. Kepalanya sakit. Dia batuk-batuk dan tubuhnya terasa sangat panas. Mila membantu Taro sampai pindah ke atas tempat tidur.

"Mommy? Daddy? Belum bangun, ya?" teriak Kilau, masih tetap menggedor-gedor pintu.

Mila menyelimuti suaminya sampai batas ceruk leher, lalu dia turun dari tempat tidur dan menyahuti, "Iya, Kilau. Mommy udah bangun."

Tak lama Mila membuka pintu. Kilau tampak menyembulkan kepala dari balik tubuh Mila.

"Daddy mana, Mom? Nggak makan sama kita?" tanya Kilau.

"Daddy sakit jadi kita makan duluan ya." Mila mengusap kepala Kilau. Gadis kecil itu memasang wajah sedih. Mila yakin Kilau mengkhawatirkan ayahnya. "Tenang, Daddy baik-baik aja. Ayo, turun."

"Benar, Mom? Tapi Daddy sendirian. Kasihan Daddy." Kilau merengut sedih.

"Nanti Mommy temenin, Sayang. Ayo, kita turun dulu." Mila mengulurkan tangannya, berharap Kilau menggamit tangannya balik. Gadis kecil itu merespons dengan baik dan menggenggam tangannya. Dia tersenyum kecil menatap Kilau yang tak berhenti memandangi kamar. "Daddy akan baik-baik aja, Kilau."

"Okay, Mom." Kilau melihat lagi ke dalam kamar. "Daddy, nanti Kilau balik lagi! Kilau mau makan dulu."

Mila mengajak Kilau turun lebih dulu. Dia memberitahu Lisa tentang putranya yang sakit. Setelah itu, Lisa naik ke atas. Mila pun membuatkan bubur untuk Taro dan meminta pembantu membawakan obat ke kamarnya.

Sepertinya Mila harus pulang lebih awal. Dia akan membatalkan janjinya dengan Sani dan Sweety nanti.

❤❤❤

Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘🤗❤

Follow IG & Twitter: anothermissjo

Tarooo lagi mikir🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top