Chapter 8

Yuhuu update lagi🤗🤗🤗😘😍

Yook, vote dan komen kalian🤗😘❤

"Mil, coba ajarin gue cara memahami Pengantar Hukum Indonesia. Gue bobrok banget soal ini, Mil," celoteh Sani di seberang sana.

Mila sedang teleponan dengan Sani. Hari ini Mila bisa menikmati hidupnya karena Taro pergi mengunjungi Seaworld. Dia membohongi Taro dengan mengatakan sudah berada di sana dan Taro harus menyusul. Yang lebih menyenangkan lagi waktu Kilau mengatakan pergi dengan Spora, tapi tidak memberitahu Taro akan pergi ke mana. Kilau memang bisa diandalkan. Mila senang.

"Lo mau gue jelasin bagian yang mana?" sahut Mila.

"Gue tuh bingung, Mil. Menurut lo––"

"Bentar, bentar." Mila menyela kalimat Sani yang belum selesai disampaikan. Dia mendengar suara ketukan pintu dari luar.

"Mila, buka pintunya. Kita perlu bicara." Suara dari luar itu sudah sangat familier. Tentu saja Taro.

"Siapa tuh, Mil? Kok ada suara laki-laki?" tanya Sani.

"Oh, itu. Suara Om gue. Dia mampir ke rumah. Nanti gue telepon lagi ya. Dadah, Sani!"

Mila buru-buru mematikan teleponnya walau Sani sempat terdengar ingin mengatakan sesuatu. Mila kesal. Taro selalu datang mengganggu. Dia turun dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamar. Di balik pintu itu, dia menemukan Taro menatapnya serius.

"Kamu keterlaluan ya, Mila."

"Keterlaluan apa sih?" tanya Mila pura-pura tidak tahu.

"Kamu minta Kilau ngajak Spora pergi ke Seaworld, kan? Kamu sengaja nyuruh saya nyusul biar ketemu Spora. Maksud kamu apa sih?" Taro kesal setengah mati waktu melihat Spora berdiri di depan antrean pintu masuk Seaworld menggandeng Kilau. Putrinya pun memberitahu kalau Mila ingin dia dan Spora bertemu.

"Biar Mas sama Spora balikan. Jadinya kita bisa pisah lebih cepat." Mila membalas dengan santai.

"Kalau saya ingin balikan, saya udah melakukan dari lama, bukan setuju dijodohkan dengan kamu. Kenapa sih kita nggak menghabiskan sisa waktu yang ada? Kamu bilang setahun, kan? Kenapa nggak bangun momen selama setahun?"

"Saya nggak mau. Buat apa? Saya mau balikan sama Ombak aja mikir dulu. Jatuhnya selingkuh kalo saya balikan. Jadi dari pada saya selingkuh, lebih baik kita pisah cepet-cepet."

Taro menahan napas sebentar. Dia mengembuskan napas pasrah. Tak disangka Mila benar-benar sekeras kepala ini. "Saya nggak bersedia pisah cepat. Satu tahun seperti kata kamu waktu itu. Kita udah sepakat satu tahun."

"Kenapa nggak balikan aja sih sama Spora?"

"Saya nggak mau. Kalo nanti kita cerai pun, saya nggak akan balikan sama Spora. Jadi berhenti bikin siasat kayak tadi. Jangan nyuruh Kilau melakukan apa yang kamu mau. Kasihan dia." Taro menekankan setiap kalimatnya. Suaranya terdengar penuh ketegasan.

"Ya, kenapa nggak mau balikan?"

"Cukup saya yang tau kenapa nggak mau balikan. Saya...." Taro berhenti setelah mendengar bunyi bel ditekan berulang kali.

Di rumah yang ditempatinya ada pembantu, tapi kalau sudah lewat dari jam delapan malam seperti sekarang, pembantunya sudah masuk kamar dan biasanya tidak mendengar ketukan pintu.

"Itu ada tamu. Lebih baik Mas buka pintu dulu. Saya mau mandi. Biasanya Mbak Iin nggak denger ketukan pintu," suruh Mila.

Taro tidak jadi melanjutkan karena Mila sudah menutup pintu kamar. Taro akan melanjutkan obrolan ini nanti. Dia pergi turun ke bawah dan segera membukakan pintu.

"Mama?" Taro terkejut waktu melihat ibunya muncul dari balik pintu yang baru saja dibuka.

"Yes! Kok kamu kaget?" Lisa Wirawan–– ibunda tercinta Taro––tersenyum lebar.

Jelas saja Taro kaget karena biasanya ibunya memberi kabar jika ingin datang ke rumah. Kali ini tidak. "Tumben Mama nggak ngabarin aku mau ke sini?" tanya Taro.

"Mama mau bikin surprise." Lisa memeluk Taro sembari menepuk bokong putranya berulang kali. Hal ini sudah menjadi kebiasaan Lisa setiap bersama putranya. "Mana nih Mila? Mama rindu menantu kesayangan."

"Mila lagi mandi, Ma. Tunggu aja bentar. Nanti aku panggilin."

"Kamu nggak sekalian mandi bareng Mila?" goda Lisa sambil tersenyum penuh arti.

"Mau ngapain? Mandi sendiri-sendiri aja." Taro merangkul pundak ibunya setelah pelukan berakhir dan mengajaknya duduk di ruang makan. "Mama mau minum apa? Jus? Kopi? Teh?"

"Wine ada?"

"Ma, ini bukan bar. Mila dan aku nggak minum minuman beralkohol jadi nggak ada."

"Yah... too bad." Lisa mengerucutkan bibirnya. Kemudian, "Well, Mama mau nginap di sini. Papa lagi ada urusan bisnis di New Zealand. Karena Mama bosan sendirian jadi mau nginap selama satu minggu sambil nunggu Papa kamu pulang."

"Hah?!" Taro melotot kaget.

"Kok kamu kaget gitu? Nggak suka ya Mama menginap di sini?"

"Oh, bu-bu-bukan, Ma. Aku senang kok Mama mau nginap di sini." Taro memaksakan senyum.

Kalau ibunya menginap, ini pertanda buruk. Ibunya tidak bisa diam dan mudah mencurigai sesuatu. Taro tidak akan mungkin lepas dari pantauan ibunya. Pembantu dan para pekerja di rumah bisa diajak kompromi karena selama ini mereka semua tutup mulut. Akan tetapi, ibunya takkan mungkin tinggal diam kalau ada yang mencurigakan.

"Kirain kamu nggak senang." Lisa bangun dari tempat duduknya dan menepuk pundak putranya. "Mama tidur di kamar tamu lantai dua ya. Mama nggak mau di lantai tiga. Mama mau istirahat sekarang."

"Eh, eh, jangan dulu, Ma." Taro menghalangi ibunya dengan tubuh dan tangan yang dia rentangkan lebar-lebar. "Kamar tamu di lantai dua lagi berantakan. Kemarin dipakai buat taruh barang-barang nggak penting."

Lisa mengangkat sebelah alisnya. "Semua kamar? Kamar tamu di lantai dua kan ada lima. Semuanya kamu pakai?"

Taro menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Bingung harus menjawab apa. Kalau dia sebutkan hanya kamar di pojok lorong sebelah kanan, ibunya pasti penasaran dan melihat ke sana. Dia sangat mengenal ibunya karena tidak mudah percaya.

"Kok kamu diem aja? Semua kamar kamu pakai? Kenapa nggak ditaruh di gudang? Kalau nggak penting kenapa nggak dibuang?" tanya Lisa semakin penasaran.

Taro bingung menjawabnya. Kamar di pojok lorong sebelah kanan digunakan olehnya untuk tidur. Sementara Mila tidur di kamar utama. Jika dia memberitahu kamar mana yang tidak boleh dibuka, maka ibunya akan memeriksa untuk memastikan bahwa dia tidak berbohong.

"Mama udah makan belum? Mau dibuatin nasi goreng, Ma?" tawar Taro.

"Mama belum makan sih. Ya, udah, makan dulu deh." Lisa kembali duduk di tempatnya.

"Tunggu ya, Ma. Aku minta Mbak Iin buatin. Mau manggil dia di kamar."

Belum sempat Taro mendatangi kamar kamar Iin, pembantunya itu sudah muncul duluan. Taro langsung meminta Iin membuatkan makanan untuk ibunya. Selain itu, Taro meminta Iin untuk tidak memberitahu apa pun tentang kamar tamu yang dia pakai.

"Ma, Mbak Iin lagi buatin makanan. Mama tunggu ya. Aku panggil Mila dulu."

Taro bergegas meninggalkan ibunya. Dia ingin mengunci kamar yang dia pakai lebih dahulu supaya tidak diperiksa ibunya. Untuk sementara waktu dia akan meletakkan semua barangnya ke kamar utama. Begitu tiba di lantai dua, Taro segera mengunci kamarnya dan kemudian menghampiri kamar Mila. Dia sudah mengetuk berulang kali, tapi tidak ada jawaban dan akhirnya memutuskan membuka pintunya. Ternyata pintu tidak terkunci. Taro tidak heran Mila tidak mendengar ketukannya karena suara lagu yang diputar sangat kencang.

"Mil, Mama ada di ba..." Taro buru-buru berbalik badan saat tidak sengaja melihat Mila berbalik menghadapnya tanpa mengenakan apa-apa. "Maaf."

Mila terkejut mendapati kehadiran Taro dan buru-buru mengambil handuknya. Dia lupa mengambil pakaian sebelum mandi sehingga dia keluar tanpa mengenakan apa-apa. Mila baru akan memakai piyama, tapi Taro sudah masuk.

"Masuk tuh diketuk dulu kek!" omel Mila sembari buru-buru mengenakan piyamanya.

"Saya udah ketuk berulang kali, tapi kamu nggak jawab. Lagian ngapain sih dengerin lagu segala? Mana kencang banget. Pintu tuh harusnya dikunci," balas Taro sambil tetap menghadap pintu.

"Kadang kalo malam gini saya dengerin lagu." Mila akhirnya selesai memakai piyama. "Mama kenapa? Tadi Mas ngomongnya setengah," tanyanya.

"Mama saya ada di bawah. Dia mau menginap selama seminggu di sini. Saya cuma mau bilang kita satu kamar dulu," jawab Taro.

"Oke." Mila tidak mau berdebat. Terlalu lelah.

"Kamu setuju?"

"Kalo oke berarti setuju atau nggak setuju? Jangan rewel. Saya udah ngantuk."

"Iya, iya, maaf. Ya, udah, saya tunggu di bawah."

Mila berdecak kasar setelah Taro keluar dari kamar. "Dasar om-om nyebelin!" Lalu, dia teringat kejadian sebelumnya.

Sial! Taro melihatnya telanjang. Besok dia harus membicarakan masalah-masalah yang perlu dibicarakan termasuk masuk ke dalam kamar seenaknya.

❤❤❤

Pagi ini Mila sarapan bersama Taro dan Lisa. Suasana sedikit lebih sunyi dan tegang dari biasanya.

"Kalian tegang banget. Lagi nahan sakit perut?" tegur Lisa.

"Lagi makan, Ma. Buat apa ngobrol nanti keselek," sahut Taro beralasan. Sebenarnya dia bingung ingin membahas apa dengan ibunya.

"Kalau bingung mau bahas apa, Mama mau bahas Papa kamu." Lisa mengambil sepotong toasted bread dan melahapnya setelah dilumuri selai stroberi.

"Bahas soal apa, Ma?"

"Itu Papa kamu selingkuh lagi. Apa nggak bosen ya main perempuan mulu? Mama aja setia sama pacar yang sekarang. Duh, aduin sama Om kamu deh. Pexel mungkin bisa nasihatin supaya Papamu taubat," ucap Lisa.

"Ma, tolong..." Taro menatap serius supaya ibunya tidak membahas ayahnya.

Lisa tentu menyadari tatapan putranya. "What? Kenapa? Kamu nggak cerita sama Mila soal status Papa dan Mama?"

"Nggak. Itu bukan untuk konsumsi publik."

"Tapi itu bukan rahasia umum di keluarga Wirawan." Lisa tertawa pongah. "Lagian Mila bukan orang asing. She must know about our family. Dengan begitu Mila bisa menerima kamu apa adanya."

"Mom, just stop," pinta Taro penuh penegasan.

Lisa berdecak. "Oke, oke, I'll stop it right now."

Mila hanya mendengarkan pembicaraan itu dan baru tahu akan hal-hal yang dibeberkan. Diam-diam Mila mengamati raut wajah Taro. Suaminya itu menunjukkan wajah kesal. Sebenarnya apa status orangtuanya Taro? Semakin lama dia mulai mengetahui beberapa hal tentang Taro.

❤❤❤

Jangan lupa vote dan komen kalian🤗🤗😘

Follow IG & Twitter: anothermissjo

Mila di depan mobil mewah dari Taro😏😏🙈

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top