Chapter 5

Yuhuuu update lagi😍😍😍🤗😘

Jangan lupa vote dan komentar kalian🤗🤗🤗😘❤

#Playlist: Seo In Guk - Distant Fate (Ost Doom At Your Service)

Tak ada satupun orang yang Mila beritahu mengenai keberadaannya. Mila hanya mengatakan sakit, tapi tidak memberitahu Sweety maupun Sani kalau dia dirawat di rumah sakit. Mila menyembunyikan semua hal dari kedua sahabatnya termasuk obat tidur yang sering dia konsumsi. Mila tidak ingin dilihat sebagai Mila yang menyedihkan dan hanya menuruti ibunya tanpa memiliki keputusannya sendiri. Mila hanya ingin dikenal sebagai Mila yang baik-baik saja. Mila tidak bisa seperti Sani dan Sweety yang seterbuka itu menceritakan masalah hidupnya.

"Kenapa kamu belum tidur? Ini udah jam sepuluh." Taro mengusik lamunan Mila. "Seandainya kamu belum bisa tidur, kamu bisa pejamin mata dulu," sarannya.

Mila diam tak menjawab meskipun dia mendengar saran suaminya.

"Saya lupa. Kamu cuma ingin mendengarkan Ombak, bukan saya," tambah Taro.

Kali ini Mila merespons dengan melihat Taro yang duduk di sampingnya. Dengan suara yang lantang, Mila berkata, "Setelah satu tahun, kita bercerai."

Taro seakan terkena serangan jantung mendadak. Jantungnya seolah berhenti selama beberapa detik. Dia tidak pernah memikirkan mengenai perpisahan meskipun pernikahan ini berasal dari perjodohan.

"Kamu serius mengatakan itu?" tanya Taro masih tak percaya.

"Apa saya terlihat bercanda?" Mila tetap menunjukkan wajah seriusnya. "Saya nggak ingin hidup selamanya dengan orang yang nggak saya cintai. Seenggaknya pernikahan kita udah dijalani walau hanya satu tahun."

"Kamu mungkin capek. Lebih baik istirahat. Kita bisa bahas ini––"

Mila memotong kalimat Taro yang belum selesai. "Saya serius. Saya menjalani pernikahan ini atas dasar terpaksa. Saya benci menikah muda. Saya nggak suka. Saya benci hidup dengan orang yang nggak saya cintai."

Satu pukulan lagi menusuk tepat di hati Taro. Ini bukan sebatas sesak atau menyakitkan. Lebih dari itu. Terlepas dari dia mencintai Mila atau tidak. Dia pikir semua hal bisa didasari dengan kata 'mencoba'. Dia salah. Tidak semua hal bisa berporos pada kata itu.

"Saya nggak akan menjawab apa-apa. Kamu tidur yang nyenyak." Taro bangun dari tempat duduknya sambil memaksakan senyum.

"Nggak perlu dijawab. Akan tiba saatnya hari itu terjadi. Kita berpisah," ucap Mila penuh penekanan.

"Iya, saya tau." Taro masih tetap memaksakan senyum. Kemudian, dia mengusap kepala Mila. "Saya keluar sebentar. Kalo kamu butuh, telepon aja."

"Nggak. Ada suster di sini. Nggak perlu menemani juga nggak apa-apa," tolak Mila.

"Ya udah." Taro masih sanggup menyunggingkan senyum. "Saya keluar sebentar aja."

Tanpa mengatakan apa-apa lagi Taro keluar dari ruangan. Setelah berada di luar Taro mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Udara di luar lebih banyak. Rasanya udara di dalam tidak banyak sampai-sampai dia merasa sesak.

Dia menjauhi kamar Mila dan mencari tempat duduk sampai berhenti di dekat lorong rumah sakit yang menyediakan tempat duduk.

Taro mengusap wajahnya kasar dan menghela napas berat berulang kali. Taro ingin menghubungi Unique, tapi dia takut perempuan itu sudah tidur. Jika menghubungi Chanon, dia yakin sedang melakukan ritual rutin bersama pacarnya. Satu-satunya orang terakhir yang bisa dia hubungi cuma satu; Flamora. Sepupunya itu siap sedia mendengarkan curhatannya.

"Yo?" Balasan Flamora seperti biasa. Singkat, tapi dijawab dengan cepat.

Sesuai dugaan Taro, sepupunya itu menjawab dengan cepat. "Hai, mantan tercinta Chanon," balasnya meledek.

"Berarti lo mantan tercinta Spora dong?" balas Flamora santai dengan nada meledek yang sama.

"Berisik lo."

"Haha... mampus, kan."

"Berisik nih Momo."

"Momo Twice?" Flamora tertawa geli.

Taro mendesah kasar. "Gue butuh teman cerita. Lo sibuk nggak?"

"Nggak. Buat lo selalu free. Ada apa?"

"Menurut lo, kenapa ada pasangan yang mau bercerai?"

"Itu pertanyaan lo?"

"Yep."

"Simple sih. Karena ada masalah atau ketidakcocokan. Kalo dibilang nggak cocok, lantas kenapa nikah? Padahal menikah nggak semudah itu. Ada orang yang awalnya merasa cocok terus saat menjalani pernikahan mereka menemukan hal-hal yang nggak terlihat saat pacaran. Biasanya saat pacaran kelihatan yang bagus-bagus aja. Busuk-busuknya tuh nanti waktu nikah. Jadi wajar aja ada yang bercerai," jawab Flamora panjang lebar dari seberang sana. Suaranya terdengar santai dan tenang.

"Seandainya nih, lo udah menikah terus pasangan lo mau ngajak cerai dalam waktu satu tahun. Alasannya karena pernikahan kalian hasil perjodohan dan dia nggak mencintai lo. Bagaimana lo akan bersikap?" Taro bertanya ragu-ragu. Dia takut Flamora tahu ini tentangnya.

Flamora tertawa di seberang sana. "Haruskah segamblang itu menceritakan diri lo?"

Lihat bukan? Flamora memang sepeka itu. Ya, memang dia salah. Siapapun pasti bisa menebak kalau pertanyaannya seperti sedang menceritakan kehidupan sendiri.

"Oke, oke, gue jawab. Terlepas itu tentang lo atau bukan." Flamora berdeham. "Seandainya gue jadi lo, maka gue akan buat kenangan yang manis selama satu tahun. Biar apa? Biar batal cerai dan suami gue bisa mencintai gue."

"Oke, gue paham. Makasih ya. Gue mau beli kopi dulu deh. Gue matiin ya teleponnya."

"Eh, tunggu!" Suara setengah memekik Flamora terdengar cukup jelas di telinganya.

"Kenapa?" tanya Taro.

"Gue nggak tau, apa ini tentang lo dan Mila atau bukan, tapi gue mau bilang lo harus semangat. Gue tau gimana perasaan lo setelah pisah dari Spora dan akhirnya menikah dengan orang baru yang belum lo kenal sama sekali. It's really hard but you can through it. Semangat, Sepupuku!" Suara Flamora terdengar lebih bersemangat dari sebelumnya.

Dari sekian banyaknya hal tak terduga, setidaknya Taro bersemangat lagi setelah mendengar ucapan Flamora. Keluarga memang tempat ternyaman untuk saling berbagi cerita.

"Iya. Thank you. Salam buat Yudha," ucapnya.

"Oke. Byeeee, Tar Tar!"

Sambungan telepon berakhir. Taro mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan dengan mantap. Dia segera kembali ke kamar Mila.

Di dalam kamar dia mendapati Mila sedang menonton televisi. Padahal dia sudah meminta Mila untuk beristirahat.

"Saya setuju kita bercerai setelah satu tahun," ucap Taro tanpa basa-basi.

Mila mengalihkan pandangan pada Taro yang berdiri tak jauh dari ranjangnya. Laki-laki itu menunjukkan wajah seriusnya.

"Tapi dengan satu syarat," tambah Taro.

"Apa?"

"Saya ingin kita bersikap selayaknya suami dan istri."

"Tidur bareng?" terka Mila.

"Bukan. Saya nggak akan melakukan hal itu kalo kamu nggak mau. Bagian nggak beberin hubungan kita sama sahabat-sahabat kamu tetap sesuai permintaan kamu. Di kampus pun kita akan seperti orang asing sesuai keinginan kamu. Maksud saya bersikap selayaknya suami dan istri adalah cara bicara kita saat di rumah, sarapan dan makan malam bareng, pegangan tangan seandainya kita menghadiri acara bareng. Hal-hal kecil aja. Saya nggak mau menyia-nyiakan waktu satu tahun hanya dengan berdebat." Taro menjelaskan pelan-pelan supaya tidak ada yang terlewat oleh istrinya.

"Oke," balas Mila. Singkat dan padat.

Tak lama setelah itu Mila mematikan televisi dan memunggungi pintu seraya menarik selimutnya.

Taro mendekati ranjang dan duduk di samping Mila seperti biasanya. Taro menyandarkan tubuhnya di kursi sambil memandangi Mila yang memunggunginya.

Melihat bagaimana Mila bersikap, dia mulai menyesali keputusannya setuju dijodohkan. Dia bukan tipe yang mudah menyesal, tapi kali ini berbeda. Kalau saja Spora... entahlah. Taro kesal sendiri.

❤❤❤

Mila sudah kembali ke rumah dan masuk kuliah seperti biasa. Semester ini adalah semester terakhir Mila berada di kampus.

"MIULLLLL!" Sani memanggil dengan energik seperti biasa. Dia berlari mendekati Mila yang baru saja akan masuk ke dalam kampus. "Gimana, Miul? Beneran udah sehat? Katanya sakit demam ya? Kok bisa sampai empat harian? Bukan gejala tipes, kan?" tanyanya khawatir.

"Bukan kok. Gue cuma demam biasa aja. Mungkin terlalu pusing mikirin skripsi," jawab Mila berbohong sambil tersenyum.

"Haaah... syukurlah." Sani memeluk Mila sebentar, lalu melepas detik berikutnya. "Berarti bisa gue ajak mamam es krim dong?"

"Bisa. Lo mau makan es krim sekarang?"

"Nggak, Miul. Nanti dong kalo udah siangan dikit. Gigi ngilu kalo pagi-pagi," kata Sani.

Mila mengangguk setuju. Bertepatan dengan langkah yang sudah berhenti di depan lift, Mila melihat suaminya bersampingan diengan Tebing.

"Pagi, Pak Teb. Pak Tebing ada jadwal pagi nih?" sapa Sani tanpa basa-basi. Pertanyaan sok akrabnya ini membuat beberapa orang memerhatikan.

"Iya, Sani. Baru kali ini dapat jadwal pagi." Tebing menjawab setengah tertawa. Pandangannya terarah pada Mila. "Hai, Mila. Udah baikan? Saya dengar dari Anatomi kalo kamu sakit."

"Udah, Pak." Mila menjawab sambil tersenyum.

Diam-diam Taro mendengarkan percakapan singkat itu walaupun pandangan tetap tertuju ke depan.

"Nanti siang saya, Unique, Cloud, Anatomi, dan Sweety mau makan di restoran baru belakang kampus. Kamu mau ikut?" ajak Tebing.

Sani menyela, "Bapak cuma ngajak mantan gebetan aja nih? Saya nggak diajak sekalian?"

Tebing tertawa pelan. "Haha... iya, kamu boleh ikut, Sani. Apa perlu saya ajak Angan juga?"

"Nggak usah, Pak. Suami saya mah sibuk. Saya sendirian tanpa pasangan juga nggak apa-apa. Lumayan jadi pengamat kemesraan," canda Sani.

Tebing masih tertawa sambil mengangguk. "Iya, iya. Kamu ikut juga ya. Tapi bujuk Mila ikut juga."

"Miul, ikut ya. Mau, kan?" bujuk Sani sembari merangkul lengan Mila dan mengedipkan mata genitnya.

Mila ingin menolak karena sebelumnya dia sudah membuat janji dengan Taro untuk makan siang bersama. Suaminya itu ingin mereka meluangkan satu atau dua kali makan siang bersama saat berada di kampus.

"Uhm... oke. Gue ikut," jawab Mila akhirnya setelah cukup lama diam.

"Asyik!" Sani memeluk Mila dari samping menyalurkan rasa senangnya.

Taro yakin Mila akan menyetujui ajakan itu jadi dia tidak berharap banyak. Mana mungkin Mila menolak. Dia justru merasa ajakannya tidak tepat. Makan siang bersama di kampus? Permintaan konyol seperti itu takkan mungkin dilakukan.

"Pagi, Pak Taro!" sapa Jamaika sembari menepuk pundak Taro.

"Pagi juga, Bu Jamaika," sapa Taro.

"Widih... udah datang aja. Bukannya jam kuliah lo nanti siang?" Chanon menambahkan. Namun, begitu menyadari ada Mila, dia sudah tahu jawabannya tanpa dijawab Taro.

"Mau urus tugas mahasiswa. Soalnya lupa dibawa pulang," jawab Taro beralasan.

"Oh, gitu." Jamaika ber-oh ria. "Omong-omong, lo mau ikut gue, Chanon, Sultan, dan Spora makan bareng nggak nanti siang?"

"Ngapain sih lo ngajak Taro. Nanti ada yang memutar ulang kenangan," sela Chanon sengaja menekankan tiap kalimatnya supaya Mila dengar.

"Kenapa? Taro sama Spor––"

"Gue ikut," potong Taro lebih cepat.

"Nah, gitu dong!" Jamaika tersenyum lebar. "Kalo sama––"

"Ayo, masuk. Jangan ngomong mulu," sela Taro. Dia tidak mau Jamaika membocorkan statusnya dengan Spora secara terang-terangan. Ada mahasiswanya di sekitar mereka.

Taro masuk lebih dahulu bersama Chanon dan Jamaika. Beberapa mahasiswa memilih membiarkan mereka bertiga lebih dahulu mengambil tempat.

Sementara itu, Tebing, Mila, dan Sani masih berdiri di depan lift karena tidak mendapat cukup ruang. Sebenarnya Tebing sudah disuruh masuk karena masih muat satu lagi, tapi memilih menolak dan menemani Sani dan Mila.

Mila sempat mendengar ucapan Chanon sebelumnya. Dia baru tahu kalau Taro memiliki kenangan dengan salah satu dosen baru di sini.

Selama beberapa saat Mila dan Taro saling memandang. Tatapan mereka berakhir setelah pintu lift tertutup. Janji makan siang yang mereka rencanakan batal begitu saja.

❤❤❤

Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘🤗❤

Biasanya kan kalo dijodohin manis-manis gemes ya, tapi ini bakal bikin kalian emosi dan gemes mulu sih😂😂😂 semoga kalian sabar dan tetap setia menunggu cerita ini ya❤🤗 daaan satu lagi sih, jangan mengharapkan apa-apa dari cerita ini😂 (apa maksudnya tuh? Nah, ini artiin sendiri aja ya🙈)

Follow IG & Twitter: anothermissjo

Salam dari Milalang😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top