Chapter 3
Yuhuuuu akhirnya update lagi ^^
Yok, vote dan komen yang banyak~~
#Playlist: Jonghyun ft Taeyeon - Lonely
•
•
Mila menjawab, dengan dingin tentunya. "Nggak ada yang perlu saya ceritakan."
Dengan tatapan dingin, Mila melepas tangan Taro, lalu berbalik badan memunggungi suaminya.
Taro sedih, tapi dia tidak mau menunjukkannya. Dia bangun dari tempat duduknya, menarik selimut agar tubuh Mila tertutupi dengan sepenuhnya, dan terakhir mengusap kepala Mila.
"Saya nggak ke mana-mana jadi kalo butuh apa-apa panggil aja. Selamat beristirahat dan segera pulih, Mila." Taro berucap lembut.
Mila tidak menjawab. Meski dia memejamkan mata, tapi dia belum tidur.
"Mila! Anakku, Mila!" Suara berisik menggema di seisi ruangan seiring langkah terburu-buru yang memasuki kamar inap.
Detik itu pula Mila membuka kelopak matanya. Mila berbalik badan melihat kedatangan orangtuanya. Tubuh lemahnya mulai bergerak dan mengubah posisinya menjadi duduk.
"Astaga! Kamu jangan berbuat yang aneh-aneh dong, Mil." Sophia Barani––ibunya Mila––memeluk putrinya dengan erat. "Mama hampir jantungan denger kamu masuk rumah sakit karena pingsan. Jangan terlalu capek dong, Nak."
Taro tidak memberitahu alasan Mila pingsan karena rutin mengkonsumsi obat tidur. Dia tidak tahu sejak kapan Mila mengkonsumsi obat tidur, tapi dokter mengatakan Mila bisa berakhir di rumah sakit karena efek obat tidur yang berkepanjangan. Dokter menyuruh Mila berhenti mengkonsumsi obat tidur demi kesehatannya. Taro belum berani menyuruh Mila berhenti karena reaksi perempuan itu terlalu dingin padanya.
"Kamu nggak nyuruh Mila istirahat sampai dia pingsan, Taro?" tegur Sabar Barani, ayahnya Mila.
"Aku––"
"Mas Taro nggak salah. Dia nyuruh Mila istirahat kok, Pa. Ini karena efek..." Mila berhenti bicara setelah menyadari tatapan ibunya.
"Mas, kamu bisa keluar dulu? Aku mau bicara sama Mila," pinta Sophia.
Sabar beranjak keluar sembari menepuk Taro bermaksud mengajak menantunya ikut keluar. Taro tidak membantah dan segera mengikuti ayah mertuanya, membiarkan Mila berdua dengan ibunya.
Setelah kedua orang itu pergi, Sophia memegang kedua pundak Mila. Tatap mata serius ditunjukkan dengan jelas. Mila menatap ibunya lemah. Mila tahu apa yang akan dibicarakan ibunya setelah ini.
"Mila, kenapa sih kamu masih konsumsi obat itu? Mama udah bilang minum vitamin aja."
Mila diam tak menjawab. Sophia menambahkan, "Kalau kamu begini, kamu nggak bisa jadi jaksa. Kamu harus jadi jaksa, Mila. Jangan seperti kakakmu yang nggak tau diri itu."
"Iya, Ma." Hanya itu yang terucap dari mulut Mila.
"Jangan minum lagi obat tidurnya. Coba tidur lebih awal atau kamu nonton sampai bosan supaya bisa cepat tidur. Oke? Jangan sampai nanti ini memengaruhi nilai kamu. Nilai kamu harus sempurna. Mama nggak mau kamu seperti kakak kamu yang nggak jelas itu. Kuliah di luar negeri tapi berujung jadi model. Kamu harus jadi jaksa, Mila," cerocos Sophia.
Tanpa senyum dan ekspresi datar, Mila menjawab, "Iya, Ma."
"Ya udah, kamu tidur ya." Sophia mengusap kepala Mila dan mengecup keningnya. "Selamat beristirahat, Sayang. Mama sayang sama Mila." Kemudian, Sophia memeluk putrinya selama beberapa menit sembari mengusap kepalanya.
Mila diam tak membalas. Ibunya selalu memaksakan dia untuk menjadi jaksa. Padahal Mila tidak mau. Mila ingin menjadi pengacara. Namun, Mila tidak berani menolak atau membantah keinginan ibunya. Selain ibunya, ada kakaknya dan Ombak yang tahu kalau dia sering minum obat tidur supaya dapat tidur lebih nyenyak. Kedua orang itu tahu bahwa dirinya hidup dalam tekanan yang begitu besar. Mila lelah. Dia tertekan dengan tuntutan nilai sempurna dan keinginan ibunya yang menggebu-gebu.
"Mila juga sayang Mama," bisiknya pelan.
❤❤❤
Taro baru saja kembali setelah membelikan sarapan untuk ibu mertuanya. Ayah mertuanya sudah pergi bekerja. Untung saja dia tidak ada jam kuliah jadinya bisa menemani Mila. Tepat saat dia sudah mendorong pintu sedikit, Taro mendengar perseteruan hebat di dalam kamar.
"Mama nyalahin aku? Seharusnya Mama sadar, ini salah siapa sampai Mila masuk rumah sakit!" Suara perempuan yang cukup asing di telinga menggema di seisi ruangan.
"Ini salah kamu! Kalau kamu bersedia jadi jaksa, Mila nggak perlu menggantikan kamu untuk mencapai itu! Kamu kuliah hukum jauh-jauh di Harvard, tapi apa jadinya? Kamu malah jadi model untuk lingerie!" Suara Sophia ikut menggema, terdengar lebih kencang dari perempuan sebelumnya.
Taro tidak berniat masuk, tapi tidak juga berniat mundur. Dia ingat Mila punya kakak perempuan yang seharusnya dijodohkan dengannya, tapi karena kakaknya tidak pernah pulang maka Mila yang akhirnya menikah dengannya. Bahkan saat pernikahan mereka pun, kakaknya Mila tidak datang. Taro mencoba mendengarkan sedikit lagi perseteruan itu.
"Aku nggak mau jadi jaksa, Ma. Aku ingin jadi model. Aku mau gapai cita-cita sesuai keinginan aku, bukan keinginan Mama. Setelah aku nggak ada di rumah, Mama selalu push Mila untuk melakukan semua yang nggak aku lakukan. Mama mikirin perasaan Mila nggak sih? Dia belum mau menikah tapi Mama paksa menikah. Dia mau jadi lawyer tapi Mama paksa buat jadi jaksa. Mama setega itu menghancurkan hidup seseorang?" Suara perempuan itu terdengar kembali.
"Ini salah kamu. Mama mau jodohin kamu sama Taro, tapi kamu nggak mau dan nggak pulang. Kamu baru pulang setelah Mila masuk rumah sakit kayak gini. Adik kamu anak baik sampai mau menuruti Mama. Nggak seperti kamu yang senang berkeliaran di luar dan hidup bebas!" Sophia tidak kalah meninggikan suaranya.
"Aku nggak pulang karena nggak mau meladeni kegilaan Mama. Aku nggak mau hidup dalam aturan Mama. Aku punya mimpi sendiri. Kenapa aku harus ikutin Mama?" Perempuan itu menunjuk Mila yang duduk lemah di ranjangnya. "Mama harusnya sadar setelah lihat Mila masuk rumah sakit. Lihat betapa menderitanya dia memenuhi semua keinginan Mama!"
Taro mencerna semua kalimat dari perdebatan itu. Ternyata Mila hidup dalam genggaman ibunya. Menjalani semua atas keinginan ibunya. Kenapa Mila tidak berontak sedikitpun dan bersedia saja? Dia masih ingat Mila mengatakan tidak berani menolak permintaan orangtuanya, tapi dia tidak tahu kalau semua ini adalah keinginan ibunya.
"Mama lihat Mila, kan? Bagusnya dia cuma pingsan. Kalo dia sampai meninggal, Mama akan nyesel seumur hidup. Berhenti minta Mila memenuhi keinginan Mama. Dia bukan robot. Dia manusia yang punya keinginan dan mimpi. Cukup Mama menyuruh dia menikah sama orang yang dia nggak cintai. Jangan memaksakan hal lain lagi." Kali ini suara perempuan itu bergetar seolah ingin menangis.
"Cukup," sela Mila pelan.
"Mil, kamu bilang sama Mama sekarang kalo kamu nggak mau hidup begini. Jangan diem aja, Mila!" Perempuan itu kembali meninggikan suaranya. "Kakak nggak mau lihat kamu masuk rumah sakit terus. This is not your first time. Kakak nggak mau kehilangan kamu, Mila."
"Keluar kamu, Kim. Mama nggak mau melihat kamu," usir Sophia. "Berhenti meracuni pikiran adikmu. Kamu urus aja hidup kamu yang bebas itu."
Taro tidak ingin pertengkaran berlanjut karena dia merasa kasihan dengan Mila. Istrinya perlu beristirahat. Dengan memberanikan diri, Taro membuka pintunya setelah mengetuk pintu. Di sanalah dia melihat perempuan itu meneteskan air mata.
"Oke, aku keluar. Mama harus berhenti bertindak seenaknya kalo Mama nggak mau kehilangan anak Mama yang lain." Perempuan itu melangkah cepat.
Taro melirik perempuan itu yang keluar begitu saja. Perempuan itu tingginya hampir sama dengannya. Taro seperti mengenal wajah perempuan itu, tapi dia lupa melihatnya di mana.
Sophia berdiri memunggungi pintu sehingga tidak sadar ada Taro. Dia menghela napas dan mengusap wajahnya kasar. "Jangan kamu contoh kakak kamu, Mila. Dia itu keterlaluan."
Mila melirik ibunya. "Ma, maaf. Mila mau istirahat. Mama nggak perlu khawatir. Mila akan jadi jaksa sesuai keinginan Mama." Lalu, dia menarik selimutnya dan memunggungi sang ibu.
Sophia mendesah kasar, lalu mengusap kepala putrinya. "Ya udah, Mama pulang dulu. Ada suami kamu yang jagain. Cepat pulih, Sayang."
Mila tidak menjawab. Dia sedang menahan air mata yang mendesak keluar. Mila benci ketika ibunya dan kakaknya bertengkar seperti tadi. Entah siapa yang salah, Mila hanya ingin hidup tenang tanpa mengungkit apa pun.
Pada saat Sophia berbalik badan, dia melihat Taro tersenyum tipis. "Eh, Taro. Tolong jaga Mila ya. Mama mau pulang dulu," pamitnya.
"Iya, Ma. Oh, iya, ini makanan untuk Mama." Taro menyerahkan paperbag berisi makanan yang diinginkan ibu mertunya. "Hati-hati di jalan, Ma. Saya temani ke mobil."
"Nggak usah, kamu temani Mila aja." Sophia menepuk pundak Taro setelah mengambil paperbag yang diberikan. "Sampai nanti ya. Tolong ingatkan Mila untuk tetap meminum vitamin yang diberikan dokter," lanjutnya.
"Iya, Ma."
Tak lama kemudian Sophia keluar dari kamar. Taro melangkah maju, mendekati istrinya yang berbaring di ranjang. Saat dia ingin mengusap kepala Mila, istrinya itu bangun dan turun dari ranjang.
"Kamu mau ke mana, Mil?" tanya Taro lembut.
"Mau ke kamar mandi," jawab Mila datar. Dia menarik tiang infus sendiri.
"Saya bantu ya." Taro menawarkan diri, berusaha meraih tiang infusnya, tapi Mila menolak. "Kamu bisa sendiri?" tanya Taro tak yakin.
"Bisa kok. Saya baik-baik aja, belum sekarat."
Taro tidak bisa mengatakan apa-apa selain membiarkan Mila masuk ke dalam kamar mandi sendiri. Setelah pintu kamar mandi ditutup, Taro berdiri di depan pintunya. Dia ingin memastikan Mila tidak kesulitan di dalam sana. Namun, ada suara yang cukup jelas terdengar telinga. Walau samar-samar karena dibarengi suara pancuran air dari shower, tapi Taro bisa menangkap adanya suara tangis.
"Mila?" panggil Taro pelan sembari mengetuk pintu kamar mandi. Tidak dijawab sama sekali, Taro kembali bertanya, "Are you okay?"
Seperti sebelumnya, tidak ada jawaban. Suara tangis yang samar-samar dia dengar mulai menghilang. Taro bingung harus melakukan apa. Mila selalu mendorongnya jauh-jauh, menolak pertolongan ataupun bantuan yang ingin dia berikan. Setelah mendengar perdebatan Sophia dan perempuan itu, Taro sadar bahwa sebenarnya Mila sangat rapuh. Istrinya tidak setangguh yang terlihat. Mila memikul banyak beban yang dilimpahkan padanya.
"Mil, saya ada di depan pintu. Kalo kamu kesulitan, panggil aja ya," ucap Taro. Meski dia tahu Mila takkan menjawab, tapi dia ingin Mila tahu bahwa dia ada di sana.
Penasaran dengan wajah perempuan sebelumnya, Taro mengambil ponsel dari saku celana dan mencari tahu tentangnya. Dia mencari foto perempuan itu melalui Heartagram milik Mila dan mencari sampai bawah. Dan akhirnya ketemu. Dia menekan profile akun perempuan itu dan melihat namanya.
Coco Eskrimy Barani.
Taro ingat pernah melihatnya di mana setelah mengamati foto perempuan itu. Iya, dia melihatnya di postingan akun Avona's Heart yang diperlihatkan Chanon tentang model baru merek lingerie itu. Jadi ini perempuan yang seharusnya menikah dengannya.
❤❤❤
Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘🤗❤
Follow IG & Twitter: anothermissjo
Meet Eskrimy, kakaknya Mila sekaligus member baru Avona's Heart :3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top