002: Are you happy, Mum?

002: Are you happy, Mum?

Masih jelas terpatri di ingatan Corry saat Teja datang ke rumahnya kala itu. Pria itu datang dengan kedua orang tuanya. Wajah Teja terlihat serius saat berbicara dengan Lidya. Samar-samar, Corry bisa mendengar suara Teja berbicara dengan bahasa Indosesia yang teramat baku. Kaku. Bahkan nada suaranya terdengar begitu formal.

"Corry? Sudah pulang, Nak?" Sapaan Lidya membuat semua orang di sana berpaling dan menatap Corry.

Corry sedikit terperanjat saat melihat Teja yang kala itu memunggunginya langsung berbalik cepat. Untuk sesaat, Corry dibuat terpaku sebab wajah yang menatapnya dengan binar antusias itu terlihat tidak asing.

Corry yakin bahwa ingatannya tidak salah. Raut wajah itu jelas raut wajah yang sama saat ia berada di Edinburgh Playhouse. Satu-satunya penonton yang memandangnya tanpa ekspresi di saat semua bertepuk tangan riuh dan sibuk mengusap air mata karena terharu.

"Bun?" Tatapan Corry terlihat bingung.

"Corry ... mandi dan ganti baju dulu, ya? Nanti kalau sudah selesai ikut gabung dengan kami di sini," ucap Lidya. Raut wajahnya seolah mengatakan 'nanti bunda jelasin'.

Corry mengangguk patuh sebelum berjalan menjauh tanpa sedikit pun menoleh. Namun, Corry masih bisa merasakan bahwa di antara ketiga orang asing itu ada sepasang mata yang memandangnya tanpa berpaling.

༺...༻

Sepanjang kegiatannya membersihkan diri hingga kini mengganti pakaian di dalam kamar, Corry terus sibuk dengan pikirannya yang saling bersahutan menanyakan hal yang sama-'siapa?'.

"Corry? Sudah selesai?" Lamunan Corry harus terpecah saat Lidya mengetuk pintu kamarnya dan berujar dengan nada halus.

Lantas Corry memilih untuk membuka pintu kamarnya dan mendapati sang bunda yang tersenyum lembut.

"Bun, mereka siapa? Temen Ayah dari Tasik, ya?" tanya Corry seraya membenarkan ikatan rambutnya.

Lidya enggan menjawab. Ia hanya tersenyum dan mengajak Corry untuk segera bergabung dengan ketiga orang asing yang kini sedang bercengkrama di ruang tamu. Tampaknya ada magnet tersendiri untuk Teja saat itu, sebab begitu Corry datang, Teja langsung menoleh seraya menunjukkan binar bahagia pada matanya.

"Hai, Corry!" Teja berujar lembut dengan suaranya yang terdengar tegas.

Corry hanya mengangguk sekali. Masih enggan mengeluarkan suara. Ia masih betah mengobservasi situasi asing yang kini terasa sedikit canggung.

"Jadi, Corry ... ini Teja, dan mereka orang tua Teja," ujar Lidya lembut.

Lagi-lagi, Corry hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung sebagai sapaan pada kedua orang tua Teja.

"Teja dan orang tuanya kemari bermaksud untuk melamar kamu, Nak." Ucapan Lidya harusnya terdengar begitu lembut, tapi entah mengapa setiap silabel yang bundanya keluarkan terdengar seperti sambaran petir.

"A-apa?" Mata Corry membulat. Ia menatap tidak percaya pada Lidya.

"Umm, Corry ... kamu tidak perlu menjawabnya sekarang, kok." Teja berujar lembut dengan bahasa Indonesia yang masih terdengar kaku. "Saya-"

"Maaf, Bun. Corry banyak tugas dari kampus," pangkas Corry cepat. "Permisi semuanya." Corry bangkit dan menundukkan kepalanya sekilas kepada kedua orang tua Teja sebelum meninggalkan ruang tamu.

༺...༻

Bunyi 'klik' yang cukup keras terdengar saat Corry dengan tergesa menutup pintu kamarnya. Buru-buru ia mendudukkan diri di atas kasur. Kacau, pikiran Corry saat itu sungguh kacau. Ringisan kecil keluar dari bibir saat ia dengan sengaja menjambak rambutnya. Ujung-ujung kuku tangannya ia gigit hingga membuat beberapa bagian terkelupas.

"Duh! Apa-apaan, sih?! Ini bukan lagi drama atau reality show yang suka nge-prank, kan?" Corry menjatuhkan kepalanya ke atas bantal. "Nggak mungkin. Bunda nggak akan berbuat begitu. Tapi ... duh, apaan, sih, ini?!"

Ia menutup wajahnya dengan bantal lain. Bergumam tidak jelas bahkan sesekali berteriak. Untung saja suaranya teredam oleh bantal. Saat Corry menjauhkan bantal dari wajahnya, sesaat muncul berbagai macam imaginer yang begitu berantakan di atas kepalanya.

Melamar katanya?

Tidak, tidak. Corry bahkan tidak mengenal Teja kala itu. Pertemuan antar netra saat di playhouse tidak bisa terhitung sebagai tanda saling mengenal. Lagi pula, menikah tidak ada di dalam rencana kehidupannya yang saat ini sedang berada di pertengahan semester lima.

༺...༻

Tiga hari setelah hari di mana Prasetya Teja datang dengan kedua orang tuanya, ia kembali datang ke rumah Corry, tapi kali ini Teja hanya sendiri. Penampilannya terlihat lebih santai dibandingkan dengan sebelumnya yang terlihat formal dan teramat kaku.

"Sudah ada jawaban, Corry?"

Corry bisa melihat kegugupan di setiap inci tubuh Teja. Bola matanya bergetar, jemari yang diremas kuat-kuat, dan bahkan rambut di keningnya yang sedikit basah akibat keringat. Lantas, Corry hanya bisa menghela napas sebelum memandang Lidya sesaat dan beralih menatap Teja kembali.

"Aku nggak bisa masak. Nggak cocok jadi istri." Corry berujar tak acuh. Niatnya untuk membuat Teja mundur dengan mengatakan kelemahan diri yang nyatanya hanya kebohongan semata.

Namun, sebaliknya, Teja malah berujar di luar ekspektasi.

"Saya ingin bangun rumah tangga. Bukan rumah makan yang butuh koki handal."

Corry meringis dalam hati. Tanpa sadar mengeluarkan decakan sebal yang lumayan keras. "Aku pemalas. Nggak suka rapi-rapi."

"Saya tidak melamar kamu untuk jadi office girl." Teja menampilkan senyum tulus. Raut wajahnya terlihat tenang, meski rematan pada jemari tangan berkata sebaliknya.

Mata Corry menyipit seraya memberikan tatapan penuh intimidasi. Diam-diam, ia menyalahi diri sendiri karena ternyata perkiraannya salah. Teja tidak mudah untuk dilunturkan niat dan semangatnya. Corry menghela napas seraya menyandarkan punggung pada sandaran sofa dan memandang jengah pria yang tengah duduk di seberangnya kini.

"Aku masih kuliah. Dan rencana mau lanjut S2. Kalau menikah sekarang, semua biaya tentu bakal jadi tanggungan kamu. Nggak mungkin, kan, aku minta Bundaku?" Sudut bibir kanan Corry terangkat hingga membentuk seringaian tipis. Ia berdeham pelan untuk mengembalikan raut wajahnya seperti semula-tegas dan berpendirian. "Duh, pikir-pikir lagi, deh, yang ada kamu malah repot bayarin kuliah aku nantinya."

Corry pikir kalimatnya barusan akan menjadi senjata ampuh untuk menolak Teja secara halus. Namun, tidak. Ia jelas kalah telak dan tidak bisa menolak, apa lagi saat sang bunda tersenyum lembut seolah berharap penuh padanya untuk menerima lamaran Teja.

"Tabungan saya masih lebih dari cukup untuk bisa membiayai kamu sampai S3 sekalipun."

༺...༻

"Corry?"

Yang dipanggil jelas mendengar, tapi tetap tidak menyahut. Ia terlampau sibuk memikirkan segalanya yang tidak berjalan sesuai rancana. Diam-diam, Corry mencoret satu-persatu rancana kehidupannya. Helaan napas lelah terdengar dan kini, ia semakin menundukkan kepala hingga menyentuh meja belajar yang sedang menumpu beban tubuh bagian atasnya.

"Anak bunda kenapa?" Tidak ada sahutan, Lidya mengusap lembut rambut Corry yang terurai.

"Teja itu ganteng, lho. Kenapa malah sedih begini?" Ada nada jenaka pada kalimat Lidya.

"Bukan masalah ganteng, Bun ...."

"Lalu?"

Corry kembali menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangan di atas meja. Banyak kata yang ingin ia utarakan sebagai sanggahan agar Lidya mengerti, tapi semua itu hanya tertahan di batas kerongkongan. Semuanya tertahan di sana hingga rasanya membuat Corry ingin muntah.

"Mereka keluarga baik-baik. Katanya, Teja itu model. Tapi, sekarang udah berhenti. Ayahnya bilang kalau Teja cukup terkenal di Tasik karena pernah jadi model apa ya katanya tadi? Pokoknya, model terkenal. Bukannya itu bagus? Nanti Corry bisa ikut terkenal, bunda juga," ujar Lidya dengan kekehan kecil di akhir kalimatnya.

"Bahkan selama tinggal di Tasik, Corry nggak pernah tau kalo ada eksistensi Teja di sana, Bun." Nada suara Corry benar-benar terdengar begitu frustrasi.

Lidya tersenyum sendu. Jemarinya ia bawa untuk mengusap punggung anak semata wayangnya. "Maaf ... bunda cuma ingin lihat Corry aman. Bunda rasa Teja itu sosok yang tepat buat jagain Corry kalau nanti bunda udah nggak bisa jagain. Teja itu mapan. Lalu, dari segi sikap dan sifat juga bunda rasa nggak buruk. Ini naluri seorang ibu, sih, bunda rasa Teja itu baik."

Corry terdiam. Masih belum ingin menyuarakan apa pun sebab pikirannya kini semakin kacau. Rencana kehidupannya memang menjadi pedoman hidup, tapi Lidya jelas prioritas utama baginya saat ini.

Corry menghela napas, terdengar begitu lelah dan putus asa. "Kalau Corry menikah dengan Teja, bunda bahagia?"

Lidya mengecup halus puncak kepala Corry. "Bunda bahagia kalau Corry juga bahagia."

Yang terdengar memang seperti itu, tapi Corry jelas menangkap maksud lain. Sesuatu yang tersirat dari kalimat 'Bunda bahagia kalau Corry juga bahagia'. Ini sama saja dengan frasa bahwa cinta tak harus memiliki. Bullshit. Nyatanya, cinta memang harus memiliki. Diperjuangkan sampai mampus kalau perlu. Siapa yang akan bahagia kalau melihat cintanya berada dalam genggaman orang lain?

Maka dari sana Corry menyimpulkan. Bundanya hanya akan bahagia jika keinginannya terkabul. Corry yang saat ini menjadikan kebahagiaan Lidya sebagai prioritas di atas prioritas hanya bisa pasrah dan kembali membiarkan rencana kehidupannya diacak total demi membiarkan satu eksistensi asing memasuki kehidupannya.

༺...༻

TBC

A/N

Hello fellas??!!
Gimana? Sudah terbayang wajah Prasetya Teja dan Denara Corry??

Ayo ramaikan vomment 💐💐

*DeepBow

Natha 🌹🌷 💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top