001: Why should be me?
Ekhmmm ekhmmm, re-pub di jam makan siang nih xixi selamat beraktifitas Harmonyy~~
.
.
.
001: Why should be me?
Corry sedang duduk termenung di atas karpet dekat dengan jendela sambil menatap hujan yang turun di sore itu. Menerawang jauh sambil sesekali mengusap lembut bibir cangkir dengan ibu jarinya. Helaan napas terdengar begitu lelah. Tidak. Ini bukan terkait lelah pada fisik. Hatinya, perasaannya, juga pikirannyalah yang terlampau lelah. Corry menyesap sedikit cokelat panas yang sedari tadi ada dalam cangkir—dan lagi, helaan napas terdengar.
Entah sudah ke berapa kali ia menghela napas seperti itu. Mungkin kalau bundanya mendengar, ia akan habis diceramahi karena di anggap membuang keberuntungan.
"Kangen Bunda ...." Suara Corry terdengar lirih. Bahkan dalam hening yang menemani, suaranya tidak sedikit pun mengusir sepi.
Ia kembali memandangi pemandangan di luar jendela hingga tanpa sadar melempar dirinya sendiri ke saat-saat di mana ia merasa begitu bahagia, tapi menyesal secara bersamaan.
༺...༻
"Iya, Bun ... sebentar lagi berangkat." Corry terlihat bergegas dengan segala pakaian hangat yang membalut tubuhnya serta telepon genggam yang terhimpit di antara telinga dan bahu. "Pokoknya nanti Bunda harus lihat Corry tampil, ya?!" tukasnya antusias.
"Iya, dong. Nanti minta tolong teman kamu video call dengan bunda, ya!" Sosok yang sedang berbicara dengan Corry terdengar sama antusiasnya.
"OK! Nanti ada Emma yang nelepon Bunda. Semoga aja dia nggak keberatan sama biaya telepon dari Scotland ke Bogor," balas Corry dengan tawa renyah di akhir kalimat.
Dirinya kini sudah membuka pintu gedung apartment yang ia tinggali sementara di Scotland—persiapan untuk tampil di Edinburgh Playhouse. Hujan. Itu yang pertama kali Corry dapatkan sebagai pengisi pandangan. Telapak tangannya dijulurkan usil hingga tetes air hujan terasa menggelitik.
"Bun?"
"Ya?
"Kira-kira... apa Ayah dan Nenek bangga sama Corry?"
"Bunda yakin Ayah dan Nenek sangat bangga sama gadis cantik yang mereka besarkan."
"Kalau ... Bunda?"
Ada hening sejenak serta helaan napas yang begitu jelas dari seberang sambungan telepon.
"Jangan tanya, bunda jelas jadi yang paling bangga sekarang. Jadi ... menari yang cantik untuk bunda, ya?"
Corry kembali menyesap cokelat panas yang kini mulai menghangat bahkan hampir dingin. Terdengar suara ribut seperti benda terjatuh serta ringisan ngilu dari ruangan yang sama sekali belum pernah ia jamah selama dua minggu tinggal di tempat ini. Namun, Corry memilih abai dan kembali menatap hujan, dan kembali mengenang hari yang mungkin seharusnya tidak pernah terjadi.
Menarilah yang cantik untuk Bunda.
Kalimat yang diucapkan dengan lembut pada setiap silabelnya itu membuat Corry semakin bersemangat. Ia yang kini berada tepat di balik tirai hitam tengah mengatur napas dan bersiap memasuki panggung, lalu memberikan anggukan sekali pada Emma—temannya—untuk memulai panggilan telepon.
Corry tersenyum sekilas pada Lidya—bundanya—yang terlihat melambaikan tangan dari layar ponsel, lalu kembali menoleh ke depan dengan raut yang terlihat sendu—mendalami peran. Tirai terbuka dan musik yang melantunkan instrument Giselle mulai tedengar.
Corry terlihat begitu lihai, begitu cemerlang, dan amat sangat mendalami peran. Kakinya terlihat begitu luwes saat memulai langkah-langkah kecil sebelum akhirnya melompat, berputar, bahkan menunduk lesu. Semuanya terlihat sempurna. Hingga saat di mana ia diharuskan menatap satu orang penonton—demi kepentingan penampilan panggungnya—di sana ia melihat sosok pria yang memandangnya tanpa ekspresi. Rahangnya mengeras. Alisnya menukik. Corry bahkan yakin bahwa pria itu mengeluarkan dengusan sebal.
Kenapa?
Corry jelas merasa bahwa semua mata memandangnya penuh dengan kekaguman. Terlalu percaya diri? Tidak. Ini adalah kenyataan. Namun, pria itu hanya memandangnya lurus tanpa raut yang menggambarkan perasaan apapun. Hingga di mana aksi panggungnya berakhir dengan Corry yang membaringkan tubuh di atas panggung serta setangkai bunga yang ada dalam gengganmannya, pria itu hanya terdiam di antara semua yang bertepuk tangan dan mengusap air mata secara bersamaan.
Kenapa?
༺...༻
Cokelat hangatnya kini benar-benar sudah mendingin. Corry sudah kehilangan selera, lalu memilih membuangnya pada tempat cuci piring dan meletakkan cangkir kotor itu di sana begitu saja. Ia memilih kembali berdiam diri di ruang TV. Meski tahu bahwa mungkin tidak akan ada acara yang menarik, Corry tetap menyalakan TV-nya demi membunuh keheningan di tempat yang nyatanya ditinggali oleh dua orang.
Decakan sebal terdengar begitu layar TV menyala. Diam-diam ia memaki dirinya sendiri di dalam hati. Harusnya ia tidak usah menyalakan benda persegi itu. Lantas, Corry mendengus kesal serta memandang remeh pada layar kaca yang menampilkan judul.
LAMA TIDAK TERDENGAR KABARNYA, MODEL PENDATANG BARU INI MEMILIH MUNDUR DARI DUNIA HIBURAN DEMI MENIKAHI GADIS YANG DICINTAINYA
Komentar gadis-gadis berseragam SMA di dalam layar kaca itu malah membuat kepala Corry semakin mendidih.
"Aku yakin perempuan itu jadi perempuan paling bahagia karena nikah sama Kak Teja kami yang ganteng."
"Mereka pasti lagi bulan madu sekarang."
"Perempuan itu beruntung banget."
"Meski aku sedikit menyesali keputusan Kak Teja yang nikah di usia yang terbilang muda, tapi aku akan selalu dukung apa pun yang membuat Kak Teja bahagia.'
"Arrrgghhhh!" Habis sudah kesabaran Corry. Tanpa pikir panjang ia melempar remot TV ke arah layar kaca yang masih menampilkan gadis-gadis yang terus berkomentar tentang dirinya.
Bunyi benda jatuh dan terbelah terdengar bersamaan dengan bunyi pintu dari ruang tak terjamah terbuka. Dehaman terdengar seiring dengan langkah kaki yang mendekat pada Corry. Prasetya Teja—suami Corry—berdiri tepat di hadapan Corry dan menghalangi penglihatan istrinya dari layar kaca yang ia yakini sebagai penyebab remot TV-nya rusak, lagi.
"Ada yang harus saya beli. Saya keluar dulu sebentar, ya? Mau dibelikan sesuatu?" ucapnya sambil memungut remot yang sudah terbelah. Tangannya mencoba menyatukan kembali remot tersebut, tapi nihil. Benda itu sudah tidak terselamatkan.
Tidak ada sahutan. Corry memilih untuk membuang muka dan kembali menatap hujan.
"Saya belikan sup iga dekat perempatan, mau? Hujan-hujan begini leb— "
Corry membangkitkan tubuhnya dengan cepat dan meninggalkan Teja yang bahkan belum menyelesaikan kalimatnya.
Kali ini Corry jelas bisa mendengar helaan napas Teja yang sarat akan kelelahan. Namun, Corry kembali memilih abai. Lagi pula, pikirnya, untuk apa ia peduli? Ia lebih memilih melanjutkan langkah ke kamarnya. Sebelum pintu kamar tertutup rapat, Corry bisa mendengar suaminya masih berusaha mengucapkan sesuatu.
"Hati-hati di rumah. Hubungi saya kalau butuh sesuatu untuk dibelikan dalam perjalanan pulang."
༺...༻
Denara Corry baru menapakkan kakinya di Bogor, jawa barat setahun belakangan. Setelah kedua orang tuanya bercerai, Corry tinggal di Tasik dengan sang ayah dan nenek; sedangkan bundanya memilih kembali ke tempat asal. Setelah sang ayah meninggal, Corry hanya hidup dengan nenek. Itu adalah masa-masa di mana ia merasakan kehancuran pada dunianya.
Corry adalah sosok yang selalu merencanakan langkahnya—kehidupannya. Tipikal prefeksionis dan ambisius. Ia selalu merencanakan dan menargetkan segalanya agar berjalan dengan sempurna, dan tidak menyesal dikemudian hari, begitu pikirnya. Hingga saat di mana sesuatu yang tidak pernah ia masukkan ke dalam rencana kehidupannya terjadi, Corry total merasa hilang arah.
Saat ayahnya meninggal tepat di hari kelulusannya ketika SMA, ia merasa kehidupannya tidak berjalan di koridor yang tepat. Semua yang ia rencanakan harus rela ia coret mentah-mentah. Kuliahnya tertunda, impiannya hampir kandas.
Beruntung Ririn—sang nenek—masih di sana, bersamanya. Merangkul Corry meski kehidupan yang keduanya jalani hanya sebatas kata cukup. Corry berhasil mendekatkan diri pada impiannya menjadi penari balet. Semua karena sang nenek yang bahkan rela menjual harta benda miliknya hanya untuk Corry seorang. Semenjak ayahnya meninggal, Lidya sering memintanya untuk pergi ke Bogor dan menetap, tapi Corry tidak bisa begitu saja meninggalkan nenek yang jelas-jelas membantunya bangkit dari titik terendah.
"Nenek mau ikut Corry ke tempat Bunda?" Corry yang kala itu masih mengenakan almamater kampusnya, bertanya hati-hati pada Ririn yang tengah menyulam.
"Memang Corry mau ke tempat Bunda?" Meski tidak megalihkan pandangan, Corry tetap bisa melihat senyum lembut yang terukir apik di wajah sang nenek. Corry hanya diam. Raut wajahnya terlihat ragu untuk memberi jawaban. Maka, Ririn kembali angkat bicara. "Nenek tau kalau Corry rindu Bunda. Kalau memang Corry ingin tinggal dengan Bunda, nenek—"
"Corry memang rindu Bunda," pangkas Corry cepat. "Tapi ... kalau harus jauh-jauhan sama Nenek ... Corry nggak mau."
Lagi-lagi helaan napas terdengar. Corry melihat keluar jendela. Tampaknya hujan tidak akan berhenti untuk beberapa jam kedepan. Lantas, dirinya membangkitkan diri dan mengambil jaket tebal yang selalu ia gantung di belakang pintu kamar. Berjalan keluar dan mengambil payung yang ia gantung dekat lemari tempat penyimpanan gelas dan piring.
Corry menyusuri jalanan sampai ia menemukan angkutan kota berwarna hijau dan tanpa ragu menaikinya. Hingga tempat yang tidak asing itu kini terlihat saat Corry mengatakan 'kiri' pada supir angkutan. Langkah kakinya ia bawa untuk menyusuri gang komplek hingga menemukan rumah yang satu tahun belakangan menjadi hunian sebelum pindah dan hidup dengan Teja selama dua minggu terakhir.
"Bunda?" Corry masuk setelah mengetuk sebanyak tiga kali.
"Corry? Sama siapa?"
"Sendiri," sahut Corry tak acuh.
"Suamimu?" Nada suara Lidya terdengar khawatir.
Corry tidak menjawab. Setelah mengecup pipi Lidya, ia berjalan memasuki kamarnya sewaktu tinggal di sana. Menatap isi kamar hingga netranya terpaku pada objek yang memang ia cari.
Sebuah turntable kuno yang masih berfungsi dengan baik itu mengambil penuh atensinya. Corry meletakkan piringan hitam hingga lagu kesukaannya terdengar—I started a joke.
Sudut bibir Corry terangkat hingga kurva itu menimbulkan lengkungan sinis. "Duh, kenapa lagu ini pas banget buat jadi backsound hidup, ya? Kirain celotehan anak-anak indie soal semesta yang bercandanya makin keterlaluan itu cuman bercandaan."
Corry mendengus sebelum akhirnya mengembuskan napas dengan kasar. Semesta rasanya sebegini mengolok-olok kehidupannya. Kenapa juga ia dibiarkan membuat rencana jika semua hanya berakhir dicoret mentah-mentah? Kalau begini, Corry merasa seperti sudah diangkat tinggi-tinggi, lalu dijatuhkan tanpa persiapan.
"Corry? Teja jemput, tuh."
Corry bisa mendengar suara Lidya dengan jelas, maka ia memilih untuk keluar kamar dengan mengemas turntable sebagai oleh-oleh yang memang ia rencanakan sebelum pergi.
"Kenapa nggak bilang? Saya bisa antar kamu kalau mau ke rumah Bunda." Teja dengan celana bahan yang ujungnya terlihat basah, menatap Corry dengan raut khawatir.
"Corry memang begitu, Nak Teja. Dia suka keluyuran sendiri," sahut Lidya yang melihat anaknya tidak kunjung menjawab. Lidya sengaja menyelipkan kekehan pada kalimatnya agar suasana bisa sedikit mencair.
"Tapi saya khawatir, Bun. Apalagi Corry nggak bawa pon—"
"Corry pulang ya, Bun. Kapan-kapan ke sini lagi. Oh, iya, ini Corry bawa, ya," katanya sambil menunjukkan turntable yang ia lapisi dengan tas kain. Setelah itu, Corry mengecup pipi Lidya dan melewati Teja begitu saja.
Tanpa merasa bersalah, Corry berjalan menuju mobil terlebih dahulu. Membiarkan Teja yang dari kejauhan sigap menonaktifkan kunci mobil agar istrinya bisa masuk duluan.
"Teja pamit, Bun," katanya dengan nada tergesa.
"Teja." Lidya menahan lengan Teja saat hendak berbalik. "Tolong maklumi Corry, ya? Dia hanya ... belum terbiasa."
Teja hanya tersenyum lembut dan mengangguk pelan sebagai sahutan untuk sang ibu mertua.
༺...༻
"Corry, bisa bicara sebentar?" Teja berujar tenang saat keduanya sudah kembali ke kediaman mereka.
Namun, lagi-lagi Corry memilih abai. Bahkan tanpa rasa bersalah ia berlalu begitu saja memasuki kamar setelah meletakkan turntable di atas lemari jati dengan tinggi sepinggang yang berada di ruang TV.
"Sayang—"
"Jangan seenaknya manggil sayang!" Corry berbalik, menatap Teja dengan raut sendu dan mata yang berkaca-kaca. "Kenapa aku? Kenapa harus aku yang nikah sama kamu?! Kita bahkan nggak saling kenal! Kenapa?!"
Dari sana Teja bisa melihat bagaimana Corry yang terlihat begitu rapuh dan begitu membenci dirinya. Namun, Teja tidak bisa melakukan apa-apa selain membawa jemarinya untuk menghapus air mata Corry sebelum merengkuh tubuh sang istri dengan lembut meski Corry terus meronta meminta untuk dilepaskan.
"Maafkan saya, Corry."
༺...༻
TBC
A/N
Yuhuu~
Chapter 1 is out already!
Gimanaaa??? Dimohon utk meramaikan vote dan comment yaa.. ah, kritik dan saran sangat diterima loohh..
*DeepBow
Natha 🌹🌷
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top