CHAPTER 6 : Rose Night (1)
Sepertinya ada yang janggal beberapa hari belakangan ini. Berkali-kali Harry memerhatikan, sosok Ellea semakin jarang terlihat di Istana Spica. Misalnya seperti sekarang. Saat jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi, dan Harry tengah menikmati sepiring waffle berlapis madu dengan segelas kopi. Biasanya Ellea akan muncul dari koridor kamar mereka, sambil berjingkrak-jingkrak kecil dan bersenandung riang. Tapi, Harry belum melihatnya beberapa hari ini.
Harry mengangkat tangannya, menghentikan seorang gadis pelayan yang baru saja lewat sambil mendorong keranjang cucian. "Kau tahu kemana Ellea pergi?"
Pelayan itu menghentikan aktivitasnya, kemudian memberi hormat pada Harry sebelum menjawab, "Putri Estelle tengah berlatih tata krama dengan Paduka Ratu, Pangeran."
"Ibunda Ratu?" Harry tersenyum miring, "Di mana mereka sekarang?"
"Di ruang tengah Istana Sirius, Yang Mulia." pelayan itu menjawab lugas.
Harry mengangguk, kemudian mengibaskan tangannya pelan untuk mengisyaratkan pada gadis pelayan itu bahwa ia sudah boleh pergi.
Wanita muda itu membungkuk sekali lagi, "Kemuliaan dan Kejayaan Deandrez bagi Putra Mahkota."
Selepas kepergian si pelayan, Harry buru-buru mengangkat bokongnya. Meninggalkan sepotong waffle dan setengah gelas kopi yang masih tersisa. Kaki jenjangnya melangkah cepat, lurus menuju ke koridor luar yang menghubungkan antara Istana Spica dengan Istana Sirius. Harry penasaran sekali pada latihan yang dilakukan Ellea. Itu karena lelaki itu tahu betul bahwa Estelle Theodore tidak memiliki tata krama seperti gadis bangsawan pada umumnya.
***
Sementara itu Ellea tengah meringis, mengatur napasnya perlahan sampai perlu perhitungan matang untuk mengembuskannya. Perempuan itu berdiri kaku, kedua tangannya terbentang lebar, dan dagunya lebih naik daripada biasanya. Kaki Ellea agak gemetar, tapi tetap dipaksa untuk melangkah. Ada tiga buah buku tebal yang menumpuk di atas kepala wanita muda itu. Keringat sebesar biji jagung meluncur mulus dari dahinya.
BRUK!!
Ellea jatuh tersungkur, bersamaan dengan runtuhnya menara buku tebal itu dari puncak kepalanya. Padahal yang ia lakukan tidak banyak, cuma menggeser kakinya beberapa sentimeter dari tempatnya berdiri barusan.
"Oh, ya ampun, bukan begitu caranya, Ell," Ratu Arielle menarik napas panjang, "Kau harus melangkah perlahan, bukan malah menggeser telapak kakimu beberapa inci dari tempatmu berdiri."
Ratu Arielle menghampiri Ellea, kemudian mengulurkan tangannya dan membantu gadis itu berdiri. Ellea mendesah lelah, tapi cengiran lebar yang khas itu masih melekat di wajah cantiknya.
"Maafkan saya, Paduka Ratu, saya akan mengulanginya lagi." Ellea mengepalkan kedua tangannya ke udara, memberi semangat pada dirinya sendiri. "Saya pasti bisa!"
Ratu Arielle tertawa dan mengambil tangan Ellea, kemudian menurunkannya dan meletakkannya di sisi tubuh gadis itu. "Putri Mahkota tidak boleh mengangkat tangan terlalu tinggi, mengepalkan tangan terlalu bersemangat, apalagi bersorak terlalu girang."
"Kau juga tidak boleh tertawa terlalu keras, atau mencebik kesal pada orang-orang." suara bariton Harry tiba-tiba memenuhi ruangan.
Ellea berbalik, kemudian menoleh sedikit sehingga netranya bisa menangkap sosok Harry yang memasuki ruangan. Baru saja pemuda itu menyelesaikan kalimatnya, dan si Putri Mahkota langsung mencebik kesal. Ellea mendengus, kemudian memutar bola matanya malas dan mengabaikan Harry.
"Ibunda lihat sendiri, 'kan?" Harry mengedikkan bahu, "Apanya yang 'pasti bisa'! Baru diberitahu jangan mencebik, dan Ellea sudah merasa paling cantik kalau mencebik begitu, ckck ...."
Ellea melemparkan salah satu buku bekas latihan, yang langsung bisa ditangkap Harry. "Dasar menyebalkan!" ia mengancingkan giginya.
"Harry, jangan mengganggu Ellea seperti itu." Ratu Arielle menggeleng dan terkekeh sekaligus, "Ada alasan kenapa Ellea harus berlatih tata krama secara intensif. Rose Night akan diselenggarakan sebentar lagi. Kau juga harus mengajarinya berdansa, Harry." sang Ratu beralih pada Ellea, "Ell, Putri Mahkota tidak melemparkan benda-benda pada suaminya."
Ellea langsung menegakkan punggungnya dan berdeham kecil, sementara Harry mendesah lelah. "Tapi Ibunda, aku harus ...."
"Harus mengajari Ellea sampai bisa." Ratu Arielle bertitah.
Ellea tertawa sambil menjulurkan lidahnya untuk mengejek Harry. Kemudian perempuan itu menyilangkan sebelah kakinya sambil membungkuk, sementara tangannya sedikit terbuka mengangkat gaun yang ia kenakan. Ellea baru saja mempraktekkan ilmu dari Ratu Arielle, tepat ketika kakinya tergelincir dan kehilangan keseimbangan lalu menubruk Harry.
Brukk!
"Ell, ya ampun!"
Ratu Arielle berseru panik, sementara Ellea menangkap seringai licik dari sudut bibir Harry.
"Kenapa kau tidak menangkapku, sih?" Ellea kesal lagi, ia mendengus dan berdecak sekaligus, "Malah ikut-ikutan jatuh!"
Ellea tersungkur lagi, entah untuk yang keberapa kali hari ini. Tapi minimal tubuhnya tidak langsung beradu dengan marmer, karena Harry berada di bawah sebagai tumpuan.
Harry membalas sarkastis, "Kerjamu hanya makan dan tak pernah berolahraga. Jalan-jalan keluar pun cuma untuk duduk di teras sambil makan kue. Dan kau masih berani tanya kenapa aku tidak menangkapmu?" ia menarik napas panjang, "Seharusnya kau minta maaf karena membuatku merasa tertimpa sekarung beras.
"Harziusse!" Ellea menopang tubuhnya dengan tangan dan mencoba bangkit, tapi, "Aw!"
Harry mendongak sebentar, kemudian mencoba bergerak, dan ....
"Aw! Harry, jangan bergerak dulu!" Ellea berseru heboh di atasnya, "Antingku tersangkut!"
Pria itu kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas, lantas Ellea mulai menyentuh dada bidang Harry. Wanita bersurai karamel itu mencoba melepaskan antingnya yang tersangkut, tetapi lelaki dibawahnya mulai salah tingkah. Harry berulang kali menahan napas saat jemari mungil Ellea menjelajahi tubuhnya. Pemuda itu keheranan sendiri. Padahal Ellea cuma melepaskan anting yang tersangkut, tapi perasaan Harry bisa setegang ini.
"Sudah?" Harry membuka suara, sementara Ratu Arielle masih memperhatikan pasangan muda itu. "Sudah belum? Kenapa lama sekali, Ell?" nada suara Harry tiba-tiba naik.
"Sebentar,"
Harry masih menunggu, tapi kepala Ellea menyembul tiba-tiba. Manik karamel gadis itu menatapnya lekat, kemudian mengerjap beberapa kali. Lelaki itu mematung di tempatnya sampai sepersekian detik, netra kelamnya menatap lurus pada bola mata Ellea. Hidung bangir Harry hampir bersentuhan dengan hidung Ellea, napas mereka saling berembus meniup kulit wajah satu sama lain. Ingat, jangan jatuh cinta, Ell, jangan.
"Apa masih tersangkut, Ell?"
Suara Ratu Arielle memecah lamunan keduanya. Ellea kemudian mengalihkan atensinya buru-buru dan bangkit berdiri. Harry menarik napas panjang, kemudian membuangnya dalam satu hembusan.
"Baiklah, Ell, sampai disini latihan kita hari ini. Besok datang lagi seperti biasa." Ratu Arielle memberikan beberapa catatan, "Baca ini dan berlatihlah sebelum tidur bersama Harry."
Ellea mengangguk paham, kemudian membungkuk hormat sambil menyilangkan sebelah kaki persis seperti yang diajarkan. "Kemuliaan dan Kejayaan Deandrez bagi Permaisuri."
Ratu Arielle kemudian berbalik menuju koridor kamar utama Istana Sirius. Harry sudah berdiri di depan jalan setapak, menunggu Ellea keluar dari ruang tengah Istana Sirius.
"Jadi, kapan kau akan mengajariku berdansa?" Ellea mendongak menatap Harry yang jauh lebih tinggi darinya.
Harry cuma mengedikkan bahu, "Lihat saja nanti."
Tak lama setelah si Putri Mahkota keluar, sang Pangeran mengulurkan tangannya. Perempuan itu tersenyum tipis, kemudian mengambil tangan suaminya dan berjalan beriringan menuju Istana Spica.
***
Dua minggu kemudian Ellea sudah bisa melihat berbagai dekorasi mulai dilakukan. Aula Orion yang biasanya terkesan formal dan agung mulai dipermanis dengan vas-vas bunga besar yang diletakkan di sudut-sudut ruangan. Lampion-lampion cantik juga mulai dipasang di seluruh penjuru ibu kota. Pita-pita besar yang menjuntai indah melengkapi langit-langit dan lorong-lorong istana.
Harry berdiri di depan pintu sanggar, memerhatikan Ellea yang tengah meliukan tubuhnya diiringi alunan dentingan piano. Seorang wanita paruh baya yang tengah memainkan piano di sudut ruangan mengamati gerakan sang Putri Mahkota dengan seksama. Gadis itu melangkah ringan, tangannya terangkat ke atas sebelum akhirnya memutar tubuh cepat-cepat. Alunan irama yang memenuhi ruangan seolah menyatu dengan gerakan-gerakan perempuan itu.
"Ya, bagus sekali Putri." Wanita itu mengomentari dari balik piano, "Satu, dua. Satu, dua. Berputar ...."
Sorot mata Ellea tajam, menatap lurus pada cermin yang memantulkan gerakan tubuhnya. Surai karamel yang dikuncir kuda itu mengikuti Ellea kesana-kemari. Pikirannya fokus, menyimak arahan dari pelatih wanita yang memainkan piano untuknya. Gadis itu mengatur napas, kemudian memacu tubuhnya lagi-dan lagi.
"Putra Mahkota silahkan masuk."
Harry maju ke tengah, menghampiri Ellea yang sedang menyelesaikan rangkaian gerakan solonya. Lelaki itu menyilangkan kaki, kemudian sedikit membungkuk sambil mengulurkan tangannya pada si Putri Mahkota. Ellea memutar tubuhnya sekali, sebelum meletakan tangannya pada sang Pangeran.
Denting piano berlanjut lagi, iramanya berubah lembut dan tenang. Harry menarik Ellea agar mendekat padanya. Pria itu meletakkan satu tangannya pada pinggul istrinya, kemudian mengikis jarak di antara mereka. Sementara wanita itu meletakkan sebelah tangannya pada bahu Harry, sementara tangan mereka yang lain saling bertaut di sisi tubuh yang sama.
"Pestanya besok malam, lho," Harry berbisik, kemudian tertawa kecil menggoda Ellea, "Kau yakin bisa melakukannya sebaik ini?"
Langkah kaki Harry dan Ellea bergerak dalam satu irama beriringan. Alunan piano kemudian berubah tempo perlahan.
"Tentu saja, hampir tiga minggu aku berlatih." Ellea menjawab dengan penuh percaya diri. "Aku ini cerdas dan cepat belajar, jangan meremehkan Estelle Theodore."
Harry cuma mengangguk, tapi mimik wajahnya tampak mencemooh Ellea, "Mau bertaruh?"
Ellea kemudian mendorong bahu Harry kuat-kuat, kakinya terangkat seiring dengan setengah tubuhnya yang berputar ringan. Pria itu tak mau kalah, pada jemari mereka yang masih bertaut Harry menariknya kembali kuat-kuat. Membawa Ellea kembali ke dalam dekapannya sebelum memindahkan tangannya pada pinggang perempuan itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kalau kau tidak menginjak kakiku sewaktu berdansa besok malam, maka aku akan mengabulkan tiga permintaanmu." Harry melanjutkan tawarannya yang tertunda tadi.
Ellea mengerutkan kening sekilas, kemudian tersenyum lebar, "Termasuk jalan-jalan keluar istana?"
"Iya, kalau itu permintaanmu," Harry kemudian menyeringai, "Tapi kalau kau menginjak kakiku satu kali saja, maka kau harus mengikuti semua perintahku selama tiga hari. Setuju?"
Ellea mengangguk mantap, "Setuju."
Suara piano berakhir. Harry menurunkan Ellea sambil mengakhiri gerakan dansanya.
Clap, clap.
Wanita paruh baya itu bertepuk tangan dua kali, menandakan waktu latihan telah usai. Ellea mengambil segelas air yang tersedia di meja sudut sebelah piano, kemudian meneguknya sampai habis. Harry melihat jam tangannya sebelum pergi dari sana tanpa bicara apa-apa. Dan gadis itu cuma melirik penasaran.
"Baiklah, Putri, saya pamit." Wanita itu membereskan barang-barangnya, hampir membungkuk hormat kalau saja Ellea tak menahannya.
"Tidak perlu hormat segala, Madam Gwen, aku tidak boleh membuat guruku merendah seperti itu." Ellea tersenyum lebar sambil menggenggam tangan Madam Gwen erat-erat. "Terima kasih banyak atas semuanya." Lanjutnya.
"Kemuliaan dan Kejayaan Deandrez bagi Putri Mahkota." Madam Gwen tersenyum lembut sambil mengulurkan tangannya pada Ellea.
Ellea tertawa kecil, ia menjabat tangan Madam Gwen. Lantas detik berikutnya ia menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Madam Gwen akhirnya membalas pelukan sang Putri, seraya mengusap lembut punggung gadis itu.
***
◇•◇•◇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top