CHAPTER 3 : Togetherness (1)
Sejauh ini Ellea masih harus mewaspadai seluruh gerak-gerik Putra Mahkota. Pasalnya, dari semua orang, hanya Harry yang gerak-geriknya paling mencurigakan. Pantas saja dia yang paling berpotensi membunuh si Putri Mahkota, yang sekarang sedang Ellea perankan. Beberapa waktu lalu lelaki itu menyebutnya bisu dan tidak punya tata krama, kemudian sesaat sebelum memberi salam tiba-tiba saja si mata elang itu mengecup buku-buku jarinya.
"Harry, jangan cepat-cepat!"
Ellea berusaha mengimbangi langkah kaki jenjang pria itu yang terlihat sangat buru-buru. Si Putri Mahkota gadungan tampak kesulitan mengimbangi kecepatan Harry yang didukung tungkai panjangnya. Sambil mengangkat gaun tinggi-tinggi, perempuan itu juga mempercepat langkah.
"Harry!" Dia berseru lagi, "Harry, tunggu! Hhh!"
Harry berhenti, Ellea terengah-engah. Semilir angin musim panas yang kering menyapa mereka, sementara beberapa pohon meranti yang tumbuh tinggi rindang mengelilingi mereka. Membiaskan sinar mentari yang menyorot tepat di atas kepala menjadi cercah cahaya keemasan di balik daun-daun yang bergemerisik. Tanah kering dengan sedikit rumput yang mereka pijak ditumbuhi beberapa tanaman paku-pakuan.
"Aku. Hhh. Tidak. Hhh. Kuat. Hhh. Lagi. Hhh." Ellea menelan salivanya pada tenggorokan yang kering.
"Pasukan Ayahanda Raja sudah di depan, kalau kau lambat seperti ini bisa-bisa kita tertinggal jauh." Harry berdecak dan mendengkus sekaligus. "Lagi pula, kenapa pakai gaun untuk berburu?"
"Ya, mana aku tahu kau mau mengajakku berburu!" Ellea masih sibuk mengambil napas, megap-megap seperti gurami nyasar ke darat.
"Aku sudah bilang padamu untuk memakai pakaian yang simpel dan ringan, 'kan?" Harry berkacak pinggang, beberapa prajurit yang mengikutinya berbaris rapi beberapa meter di belakang. "Ayo, cepat!"
Ellea menarik ujung kemeja Harry, kemudian menatapnya memelas. "Tidak bisa naik kuda saja?"
"Kau bahkan tidak bisa duduk di atas kuda dengan benar, Estelle." Harry mendesah lelah.
Dia teringat bahwa keduanya hampir jatuh saat berkuda dari Istana Spica ke Barack Pegasus. Salahkan wanita merepotkan itu yang tiba-tiba melonjak sehingga membuat hewan berkaki empat itu terperanjat dan lari tidak karuan. Alasan tersebut juga yang membuat mereka harus berburu tanpa kuda, dan hasilnya? Ellea malah kelelahan padahal baru setengah jam mereka memasuki hutan. Jangankan membawa pulang hasil buruan, keluar hutan dengan saja sepertinya sulit bagi sang Putri.
"Estelle, ayo." Harry melirik pada perempuan itu, tapi yang dilirik tajam malah merosot santai dan duduk bersandar di bawah pohon meranti.
Ellea menatap manik kelam yang tertuju padanya, heh, tajam sekali sampai ingin kucolok.
"Estelle," Harry melanjutkan ucapannya, "jangan membuatku terpaksa meninggalkanmu di sini."
Ellea memutar bola matanya malas, "Ya, ya, ya, tinggalkan saja. Biarkan aku dimakan harimau atau beruang, paling besok jadi bangkai."
"Tidak ada yang seperti itu di hutan istana, ck!" Harry berbalik, menarik tangan Ellea yang masih bersandar di batang pohon meranti. "Ayo bangun, merepotkan sekali!"
"Kalau begitu tinggalkan saja aku!" Ellea menepis tangan pria itu. "Jemput aku di sini kalau sudah selesai. Jangan lupa bawakan air."
Harry tertawa hambar, menunjukkan sarkasme pada perempuan itu. "Oh begitu, ya?" Dia mendengkus pelan. "Baik, kita lihat seberapa lama kau bisa duduk di dekat sarang ular."
Mata Ellea membola, secepat kilat dia bangkit berdiri sambil menepuk-nepuk gaunnya. "Oke, ayo jalan."
Sang Pangeran kembali mencangklong set anak panah dan busurnya ke punggung, menarik napas panjang. Sementara Ellea mengerjap beberapa kali sebelum menatap Harry dengan senyuman yang dibuat-buat. Satu pertanyaan terlintas di kepalanya, kenapa seorang Putri Mahkota harus ikut kegiatan berburu?
Baru beberapa langkah, Ellea terhenti lagi. Dari sudut bibirnya tertarik lengkung miring yang diarahkan pada punggung Harry. Kurasa aku harus. Sekarang berburu, besok memanah, lalu menggunakan pedang. Mana tahu aku bisa menebas kepalanya sebelum dia membunuhku!
***
Ellea langsung mencari kasur dan merebahkan dirinya dengan semena-mena di ranjang begitu sampai di Istana Spica. Lantas Harry juga dengan teganya menarik perempuan itu agar tidak jadi jatuh ke tempat tidur. Keduanya mendengkus bersamaan, sang Pangeran berdecak heran sambil menatap tajam manik hazel yang tampak kesal.
"Kau!" Ellea menghardik lebih dulu, batal menyentuh empuknya kasur membuatnya kesal.
"Kau?" Harry menarik napas, kemudian mengembusnya kasar. "Orang yang barusan kau hardik ini suamimu, Estelle." Lelaki itu melanjutkan, "Lagi pula, bagaimana bisa kau berpikir mau langsung tidur dengan tubuh kotor itu, hah?"
"Tapi aku-"
"Nyonya Margareth, Frita!" Harry berteriak lantang. "Apa kalian di luar?!"
Dua orang wanita tergopoh-gopoh masuk, kemudian membungkuk sopan. "Hormat kami pada Putra dan Putri Mahkota. Apa ada yang bisa kami bantu, Pangeran?" Nyonya Margareth berbicara dengan tenang, sudah sangat terbiasa menghadapi sikap Putra Mahkota yang setiap hari selalu meledak-ledak.
"Mandikan Putri Mahkota." Titah sang Pangeran. "Aku akan menemui Ayahanda Raja sebentar, begitu pulang aku mau Estelle sudah bersih."
Harry menggeleng pelan, kemudian memicing pada Ellea sebelum melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Frita dan Margareth membungkuk hormat mengiringi kepergian Putra Mahkota, sementara sang Putri hampir saja melemparkan diri ke ranjang empuk kalau saja tangan Margareth tidak menahannya.
"Astaga, kalian!" Ellea memutar bola matanya malas.
"Kami harus memandikan Anda sekarang, Tuan Putri." Margareth berucap tegas, tangannya menahan lengan atas Ellea sambil mengarahkan wanita itu ke kamar mandi.
Dengan sisa tenaganya Ellea mengekor kepala pelayan Istana Spica itu masuk ke kamar mandi. Frita entah sejak kapan sudah berada disana, dengan cekatan ia menyiapkan air hangat serta menaburkan kelopak dan sari mawar ke dalam bathup. Ellea memejamkan mata, menghirup wangi lembut yang menguar ke seluruh ruangan. Margareth kemudian menarik resleting gaunnya dan meloloskan pakaian itu dari tubuh sang Putri.
Perlahan Ellea masuk ke dalam bathup dan bersandar nyaman di sana. Air hangat bersuhu pas, wangi mawar yang menguar, serta dua orang dayang cekatan yang membantu menggosok tubuhnya ... sepertinya ini tidak buruk juga, Ellea membatin. Kemudian menampilkan segaris senyum yang tertarik miring.
"Apa Anda merasa kurang nyaman, Yang Mulia?" Suara Frita menyahut pelan dan takut-takut.
Ellea menatap wajah lugu gadis itu, dengan surai panjang yang digelung rapi ke atas dan sorot mata hitam yang jernih. Ia benar-benar tidak terlalu paham pada strata kebangsawanan yang berlaku, akan tetapi di zaman eropa kuno para gadis bangsawan sangat suka memamerkan kecantikan, juga mengagungkan posisi mereka. Wajah gadis pelayan ini lumayan cantik, dengan hidung mungil, mata sayu, dan kulit tan menggoda. Frita menunduk dalam saat menyadari tatapan Putri Mahkota yang mengarah padanya.
"A-ada apa, Tuan Putri?" Frita mencicit pelan.
Ellea menggeleng pelan, "Dengan wajahmu itu kau bisa mendapatkan seorang suami kaya berpangkat tinggi." Senyum sang Putri terpatri tipis, atensinya kemudian teralih pada langit-langit. "Kenapa kau datang ke Istana dan repot-repot mengabdi pada keluarga kerajaan?"
Giliran Frita yang tersenyum tipis, "Tidak ada jaminan bahwa kami akan dicintai seumur hidup oleh lelaki bergelar tinggi itu, Tuan Putri, kalau di Istana kami tidak perlu takut pada hal seperti itu."
"Apa Anda sedang menyesali pernikahan ini, Putri Estelle?" Margareth menyisir surai karamel kecoklatan Ellea yang basah.
Bukan hanya pernikahan sialan ini, tapi keberadaanku di sini juga.
"Saya paham, pasti Tuan Putri sedang bimbang dengan keadaan sekarang, dan tidak tahu harus melakukan apa. Saya pernah merasakannya saat seusia Anda, Yang Mulia." Margaret kini mengusap lembut puncak kepala Ellea. "Perjodohan memang selalu seperti ini, dan laki-laki akan selalu menemukan wanita baru. Itu sebabnya mengapa kami berakhir di sini."
"Aku bimbang, tapi percuma." Ellea tertawa hambar. "Aku bahkan tidak tahu apa yang kulakukan di sini. Rasanya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata."
Margareth tidak menjawab kalimat terakhir Ellea, wanita itu langsung mengambilkan handuk dan membawa sang Putri keluar dari kamar mandi. Frita mengeringkan tubuhnya cekatan, kemudian mengeringkan rambut sang Putri dengan lembut. Seumur hidupnya Ellea belum pernah diperlakukan sespesial ini, bahkan saat menjadi aktris terbaik. Ditatap penuh rasa hormat juga kali pertama bagi perempuan itu. Kehidupannya di New York sungguh tidak segemerlap yang terlihat.
Para dayang itu memakaikan gaun tidur putih berbahan katun yang memiliki tekstur tipis dan ringan pada Ellea. Lantas sang Putri tanpa basa-basi langsung membanting tubuhnya ke ranjang dan terlelap, saking lelahnya. Harry masuk tepat saat Frita dan Margareth keluar dari kamar utama Istana Spica. Mereka membungkuk hormat pada sang Pangeran sebelum kembali ke asrama para dayang.
"Ck, sudah tidur rupanya." Harry menggeleng pelan, kemudian melepas dua kancing teratas kemejanya.
Lelaki itu tersenyum beberapa detik berikutnya, tepat saat menangkap wajah lelap Ellea dengan mulut sedikit terbuka. "Selamat tidur, Tuan Putri, semoga mimpi indah."
◇•◇•◇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top