Gia dan Kemalangannya

Sama seperti intrupsi yang Jessi berikan. Gia dan motor maticnya bergegas menuju hotel X. Ia sedikit kehilangan kepercayaan diri karena tatapan pengguna jalan. Gia dengan dress merah tanpa lengan serta make up cetarnya harus rela dilihat oleh banyak pengemudi lain. Ck! Seharusnya tadi ia naik Go-Car saja.
Tetapi, persetan dengan tatapan orang-orang! Tatapan itu tak bisa membuatnya kaya. Tak bisa membuat Gia lepas dari pekerjaan malam yang sebentar lagi akan dilakoni. Serta tak bisa membuat perutnya kenyang. Jadilah Gia tak mau ambil pusing. Biarkan orang-orang menatapnya penuh dengan penilaian. Gia tak mau tahu.

Tidak ada kata lancar pada perjalanan Gia. Jalanan Jakarta lumayan padat malam ini. Ya, namanya juga Jakarta. Mana pernah lenggang selain di hari-hari besar dan musim liburan. Sebelumnya Gia selalu membenci kemacetan kota kelahirannya, tapi pengecualian untuk hari ini. Untuk pertama kalinya ia suka pada kemacetan Jakarta. Bukannya apa-apa, kemacetan malam ini bisa sedikit mengulur waktu. Jujur saja Gia masih belum siap bertemu dan melayani Om Bro malam ini.

Namanya Subroto Wijaya atau lebih dikenal dengan panggilan Om Bro. Pria berperawakan tinggi besar. Berperut sedikit buncit. Serta yang memiliki kumis hitam lebat. Hal terakhir adalah point utama yang disukai para sugar baby. Katanya, kumis Om Bro menambah ketampanan pria itu. Kalau sudah dipuji begitu si pria yang mendapat kursi di pemerintahan akan membuka dompet untuk mengambil beberapa lembar uang yang akan dibagi pada si pemuji.

Om Bro gampang dijinakan. Beliau bukan Om-Om penyuka sex sembarangan. Hanya wanita-wanita pilihan yang akan merasakan kegagahannya. Dan malam ini Om Bro akan kembali mencari. Ia akan kembali menyeleksi para wanita untuk merasakan keperkasaanya. Kemarin sudah ada dua kandidat. Sekarang Om Bro akan menemui kandidat ketiga. Setelah itu ia akan memilih satu dari tiga wanita pilihan.

*drrrttttdrrrttt*

Gia bisa merasakan ponselnya bergetar. Sebelum mengangkat ia lebih dulu melihat detik lampu merah. Gia masih bisa mengangkatnya. Untuk itu ia mengambil ponsel lalu mengangkat panggilan telefon. "Iya, hallo?" awalnya menyapa.

"Gia, kamu sudah sampai mana?" suara itu...

Gia gelagapan. Ia menjauhkan ponselnya untuk membaca nama si penelfon. Bukan hanya terkejut, Gia juga langsung diserang rasa takut. "Hallo, Gia?" sapa sesorang di seberang sana yang tak lain dan tak bukan adalah Om Bro.

Yang dipanggil kembali mendekatkan ponsel pintarnya ke telinga. "Masih terjebak macet, Om." jawabnya jujur.

"Perlu saya jemput?"

Tawaran macam apa itu? Memangnya kalau Om Bro turun tangan menjemput Gia, apa yang bisa dilakukannya? Menyelamatkan Gia dari kemacetan? Lalu setelahnya apa? Bukannya berhasil keluar dari kemacetan mereka malah sama-sama terjebak macet. Hadeh. Ada-ada saja Om Bro!

"Nggak usah, Om. Sebentar lagi Gia sampai kok." tolak Gia.

Hembusan napas panjang terdengar setelahnya. "Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kamu. Sampai bertemu, Gia. Saya tidak sabar ingin segera bertemu kamu."

Setelah itu sambungan telefon terputus. Gia menghembuskan napas berat bersamaan dengan berakhirnya telefon. Ia berusaha menenangkan perasaannya kembali. Tapi seberapa kuat Gia mencoba, sebesar itu pula kegagalannya. Ia benar-benar khawatir dengan keselamatan dan juga masa depannya. Kekhawatiran itu semakin terasa setelah Gia mendengar suara Om Bro. Bukannya apa-apa, tapi sepertinya ia pernah dengar suara itu. Namun—ah, sudahlah! Lupakan. Lagipula di dunia ini banyak orang memiliki suara mirip. Jadi, ya sudahlah Gia. Jangan dipikirkan lagi.

...

Gia membuka kaitan helm putihnya. Begitu terlepas ia langsung menaruhnya pada spion. Gia merapikan penampilan. Ia berkaca di spion sebelah kiri. Cukup cantik. Batinnya memuji diri sendiri.

Setelah menyelesaikan urusan penampilan, Gia pun merogoh ponsel dalam sling bag putihnya. Begitu menyala maniknya langsung mendapati banyak panggilan tak terjawab dari Om Bro. Gia mendengkus. Tidak sabaran sekali pria itu!

Jika tadi notifnya dipenuhi oleh panggilan tak terjawab dari Om Broto sekarang gilirannya untuk menghubungi pria itu. Panggilan pertama langsung berdering. Detik selanjutnya langsung diangkat. Gia tak sempat menyapa karena keduluan Om Bro. "Hallo, Gia. Kamu di mana? Sudah sampai? Kenapa lama sekali?" rentetan pertanyaan itu mengintrupsi telinganya.

Tipe om-om protektif, batin Gia menilai.

"Hallo Gia. Kamu tidak papa 'kan?" tambah Om Bro.

Yang ditanya sempat mendengkus panjang. "Nggak papa, Om. Ini Gia udah nyampe kok."

"Di mana? Perlu saya jemput?"

"Nggak usah, Om. Gia bisa jalan sendiri." tolak Gia.

"Ya sudah. Cepat ke sini. Saya tidak sabar ingin bertemu kamu."

*tuttuttut*

Sambungan telefon terputus. Gia memasukan ponselnya ke dalam tas. Sebelum melangkah lebih jauh ia lebih dulu menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Maniknya menatap ke depan. Ini saatnya. Siap tidak siap Gia harus siap. Bukannya apa-apa, tapi ini juga demi keberlangsungan hidupnya.

Lagipula apa susahnya membaringkan tubuh di atas ranjang? Yang membendakan hanya Gia membaringkan tubuh di samping Om-Om. Bukan hanya menemani si om tidur sih. Namun, ia juga harus merelakan tubuhnya dijadikan guling hidup.

Guling hidup?

Guling?

Apa fungsi guling? Dipeluk?

Ya Tuhan!!! Gia tak sanggup membayangkan tubuhnya dipeluk erat oleh seorang pria—yang mungkin saja— seumuran ayahnya.
Gia tidak bisa membayangkan. Benar-benar tak pernah kepikiran kalau ia akan berada dalam keadaan seperti ini.

Gia mencoba menenangkan diri sepanjang perjalanan menuju kamar tujuan. Namun, tak bisa. Bahkan ketika tubuhnya sudah sampai di depan ruangan bernomor 1001. Jantung Gia semakin berdebar kencang. Tangannya mendadak bergetar. Ia tidak—belum—siap bertemu dengan seseorang yang ada di dalam.

Gia masih berdiri. Menimbang-nimbang. Apa bisa ia berhenti di sini? Gia tidak bisa melakoni pekerjaan seperti ini. Tapi, ia sudah terlanjur. Tidak bisa berhenti di tengah-tengah. Gia juga sudah berhutang pada Jessi. Lalu dengan cara apa ia membayarnya?

*ddrtttdrrtt*

Bersamaan dengan getaran ponsel itu Gia mengetuk pintu yang ada di depannya. Ia tidak mau mengangkat panggilan pada ponsel pintarnya karena sudah tahu siapa penelfon itu. Daripada basa-basi via suara Gia lebih memilih berbincang secara langsung.

*toktoktok*

Pada ketukan ketiga pintu kamar terbuka. Seketika itu manik indah Gia bertemu dengan seorang pria berperawakan tinggi besar. Tanpa basa-basi pria yang akrab disapa Om Bro itu langsung menarik tangan Gia. Sontak membuat tubuh gadis itu otomatis masuk ke dalam ruangan. Begitu sampai di dalam Om Bro langsung mengamati wajah Gia. Kalau dilihat-lihat sepertinya ia pernah bertemu gadis yang ada di hadapannya ini.

"Ha-hallo, Om." sapa Gia canggung.

Yang disapa masih melihat-lihat. Om Bro penasaran dengan Gia. Sekelebat pikirannya mengingat sosok gadis yang ada di hadapannya. Namun ingatannya tidak mau berkompromi. Gia merasa takut dilihati terus- menerus. Daripada melihat bertatapan dengan manik Om Bro, Gia lebih memilih menundukan kepala. Ia gugup. Tak berpengalaman dalam hal seperti ini.

"Kamu Gia?" Om Bro bersuara.

Jika berhadapan langsung suara Om Bro terdengar lebih berat. Membuat siapapun yang mendengarnya jadi tegang. "Iya, Om." jawab Gia menganggukan kepala.

"Saya sepertinya pernah melihat dan bertemu kamu sebelumnya." aku Om Bro membuat Gia mendongkan kepala, menatapnya.

Gia juga merasakan hal yang sama. "Di mana dan kapan?" tanyanya.

Om Bro kembali berpikir. Terus berpikir hingga... "Kamu putrinya Brian Ksatria?" ucapnya membuat tubuh Gia menegang.

Kenapa pria yang ada di depannya ini tahu? Jangan-jangan...

"Saya Broto teman Brian," kenal Om Bro, berjeda. Selanjutnya pria itu berjalan mengelilingi Gia. Senyum dibibirnya mulai tersungging. "Ayah kamu rekan seprofesi saya. Tidak terlalu dekat. Lebih tepatnya saya yang tidak mau dekat dengan seorang mata duitan seperti ayah kamu." sambungnya.

Gia menulikan telinga. Ia tidak mau mendengar cerita tentang ayahnya dari mulut orang. Om Bro masih mengelilingi tubuh Gia beberapa kali. Hingga diputaran ke empat ia memilih berhenti tepat di hadapan sang gadis. "Saya tidak menyangka jika putri satu-satunya Brian Ksatria akan jadi pelacur seperti ini."

Hati dan mata Gia memanas. Tahan, Gi. Tahan...

Om Bro meraih dagu Gia. "Asal kamu tahu, Gia. Dulu saya pernah dihancurkan oleh Brian sampai tak berbentuk." berjeda. "Tapi, sudahlah. Daripada membahas pengkhianat itu saya lebih tertarik mencicipi tubuh kamu." sambungnya tersenyum penuh kemenangan.

Si pria kembali menatap Gia dengan sorot kemarahan. "Mungkin dengan meniduri putri si koruptor saya bisa menyembuhkan luka hati ini." ucapnya menarik tangan Gia untuk dibawanya ke atas ranjang.

Gia hanya bisa pasrah. Semuanya sudah ia serahkan pada Sang Pemilik Jiwa.

tbc.

#sasaji

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top