3G and Ready!
"Nanti telefon gua aja kalau udah kelar kelas." pesan Garda pada Ganesh.
"Iya. Btw gua ke kelas duluan ya!" pamitnya.
Kini giliran Garda yang menganggukan kepala. Adegan selanjutnya adalah Garda memandangi tubuh Ganesh yang perlahan menghilang. Ia memastikan Ganesh benar-benar masuk ke dalam gedung fakultas. Setelah yakin bahwa yang diantarnya sampai, Garda kembali mengendarai mobilnya menuju tempat selanjutnya.
Garda dan mobilnya keluar dari area universitas. Siang ini ia sudah membuat janji dengan sang Mama. Iya. Setiap dua minggu sekali mereka mempunyai jadwal ketemuan. Kali ini Garda yang menentukan tempat ketemuan. Dan ia memilih Caffe miliknya sendiri sebagi tempat persinggahan.
Kurang lebih dua puluh menit Garda mengendarai mobil hitamnya. Ia berkendara dalam kecepatan sedang. Bahkan di menit terakhir Garda sengaja memelankan laju mobilnya. Bukannya apa-apa, tapi kalau boleh jujur ia malas bertemu ibu kandungnya. Bukan Mamanya sih, tapi seseorang yang nanti akan mendampingi Ibunya.
Namanya Melasti. Asisten Nyonya Violia Pramudji.
Garda tidak suka dengan gadis yang memunyai umur satu tahun di bawahnya. Sebenarnya Melasti baik. Saking baiknya Nyonya Vio sampai mengusulkan bagaimana jika Garda menjalin hubungan dengan si gadis. Ia sering tersenyum kecut atas permintaan konyol sang Ibu. Bagaimana bisa Garda menjalin hubungan dengan Melasti sementara ia bukan tipe pria yang suka berkomitmen.
Semenjak Ayah dan Ibunya bercerai, Garda tak lagi percaya dengan apa itu yang namanya cinta. Baginya cinta itu sesat. Palsu. Cinta memang akan terasa manis di awal sementara pertengahan ke akhir semua kata manis berubah menjadi pahit. Dan akan berakhir tragis. Garda tidak mau berurusan dengan cinta. Sejak rumahtangga kedua orangtuanya berakhir sejak itu pula Garda menghapus rasa cinta yang ada di hatinya.
Ia memang welcome pada semua wanita yang datang mendekat. Tetapi untuk menjalin hubungan lebih Garda tak bisa menjanjikan. Ia masih trauma. Butuh seseorang untuk menumbuhkan rasa percaya pada dirinya. Tidak sekarang, mungkin nanti. Saat ini Garda sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa-siapa. Ia masih terlalu muda untuk mendengarkan tangisan seorang bayi di dalam rumahnya.
Garda membatasi diri. Sebisa mungkin ia meminimalisir berkomunikasi dengan wanita. Tapi sebentar lagi tembok kokohnya akan segera musnah. Kehadiran Gia bisa jadi penyebabnya. Sejak awal gadis itu sudah berhasil mengetarkan hati Garda. Ia tidak tahu apa. Tapi saat berdekatan dengan Gia. Menatap wajahnya. Ada yang berbeda. Garda tak mau mengakui ini sebenarnya. Tapi bisa dibilang benih-benih cinta mulai tumbuh dalam dirinya.
Ini konyol. Baru selamam Garda bertemu Gia. Mereka belum berbicara berdua. Tetapi entah kenapa Garda merasakan ada yang berbeda. Debaran aneh yang datang tiba-tiba. Sebisa mungkin ia menahannya. Garda tak mau gagal. Ia juga tak mau mengambil resiko. Untuk itu Garda harus bisa jaga jarak. Ia harus bisa menahan diri untuk tak jatuh hati.
"Selamat siang, Bang!" sapaan itu mengintrupsi telinga Garda.
Doni—kang cuci merangkap kasir caffe 3G- menyambut kehadiran Garda. Yang disapa membalasnya dengan anggukan kepala serta senyuman ramah. "Ibu udah datang, Don?" tanyanya.
"Sudah, Bang. Sepuluh menit yang lalu." jawabnya.
Garda kembali menganggukan kepala. Ia melihat ke sekitar. Pengunjung caffe siang ini cukup ramai. Tadi di bagian luar ruangan juga penuh anak berseragam putih abu-abu. "Kalau Giri belum ke sini?" tanya Garda.
Doni menggelengkan kepala. "Dari tadi cuman ada saya sama Bang Antoni aja." jawabnya.
"Pasti repot ya lo berdua." berjeda. "Bentar lagi gue hubungin Giri deh biar ada yang bantu. Btw gue nemuin Ibu dulu ya." sambungnya berpamitan.
Doni memberi hormat pada Garda sebagai kata ganti siap. Kemudian cowok itu pergi menuju tempat selanjutnya. Caffe milik Garda ini sederhana saja bangunannya. Tidak memiliki tingkat hanya bangunannya memanjang. Ada space outdoor depan dan belakang. outdoor depan langsung menghadap ke jalanan. Sementara outdoor belakang lebih didekor menyerupai taman. Ada beberapa titik spot foto di sini dan kebanyakan tertelak di outdoor bagian belakang.
Sedikit cerita mengenai terbangunnya caffe ini. Tidak mudah bagi Garda membangun tempat yang sedang dipijaknya kini. Ada pro kontra. Kedua orangtuanya tak memberi izin pada Garda untuk membangun caffe 3G. Banyak alasan. Mulai dari bukan passionnya lah, Ayah Garda sudah mempunyai plan untuk pekerjaannya di masa depan lah, dan bla-bla-bla. Intinya kedua orangtua Garda kontra sekali dengan keputusannya kali ini.
Garda tidak menyerah. Ia bilang akan tetap melanjutkan pembangunan caffe miliknya. Hingga caffe sudah jadi dan dibuka.
Jujur, Garda tak menyangka bisa ada dititik ini. Ia bersyukur sekali punya teman-teman penganti keluarga kandungnya. Ganesh dan Giri. Dua manusia itu yang meyakinkan dan memberinya semangat. Hingga akhirnya Garda bisa membuktikan pada Ayah dan Ibunya kalau ia bisa. Satu pembuktian yang sempurna.
"Sudah lama, Bu?" suara Garda membuat Vio-nama ibunya- sedikit terkejut.
Wanita yang tadinya asik melihat-lihat foto di ruangan ini pun mengalihkan pandangan. Vio tersenyum sembari berjalan menuju keberadaan sang putra. Setelah di dekatnya ia memeluk dan mencium kedua pipi serta kening Garda. "Kemarin kamu belum setinggi ini perasaan."
Garda tak pernah tertarik meladeni ucapan Vio kalau tidak penting-penting amat. Baginya percuma menjawab pertanyaan sang Ibu. Kalimat yang dilontarkan wanita itu tidak masuk diakalnya. Belum setinggi ini, katanya? Hah! Ingin rasanya Garda tertawa di hadapan Vio. Wanita itu tidak ada di masa remaja Garda. Ketemu pun di hari minggu saat mereka ke Gereja. Btw mereka satu Gereja. Garda, Ayah, dan Ibunya. Alhasil setiap minggu mereka menyempatkan waktu Gereja bersama.
"Ibu berlebihan." ucapnya mengibaskan tangan.
"Ibu udah makan siang?" sambungnya bertanya.
Garda membawa Vio duduk di sofa. Sekarang mereka duduk berdampingan. "Nanti saja." jawabnya menatap wajah sang Putra.
Banyak momen yang Vio lewatkan. Terkadang ia menyesal saat melihat Garda di masa sekarang. Cowok itu terlalu banyak mengambil keputusan tanpa sepengetahuannya. Garda besar sendirian. Tanpa bimbingan darinya ataupun sang mantan suami.
"Aku suruh Bang Anto bikinin nasi goreng kambing kesukaan Ibu ya?" tawar Ganesh.
Vio tersenyum getir. Garda masih ingat menu makanan kesukaannya sedangkan ia? Vio tidak tahu apa makanan dan minuman kesukaan sang putra. "Nanti dulu, Ga. Ibu mau jemput Natali dulu."
jawabnya hati-hati.
Ah, iya, Natali adalah adik tiri Garda. Gadis berusia enam belas tahun itu anak dari suami kedua Vio. Natali baik dan manja. Ia sering ikut saat Vio bertemu Garda. Natali juga sering meminta ditemani Garda ke mall. Ya, bisa dibilang keduanya cukup dekat sebagai saudara tiri.
"Ga, besok sabtu kamu datang ke rumah ya? Ada acara. Ibu harap kamu mau datang." ucap Vio.
"Diusahakan ya, Bu." jawabnya.
Vio meraih tangan Garda. Mengelus punggung tangannya penuh cinta. "Ibu mohon..." ucapnya lirih.
Setiap Vio meminta, Garda tak pernah mengiyakannya. Garda hanya bilang akan diusahakan. Jawaban itu terdengar menyenangkan awalnya. Vio sering menaruh ekspektasi tinggi pada jawaban anaknya. Lalu tebak apa yang terjadi. Harapan tak pernah sejalan dengan kenyataan. Garda menjawab akan mengusahakan, tapi ia tak pernah datang.
Ibu tahu kalau setiap malam minggu caffe ini butuh perhatian ekstra. Tapi Ibu mohon, Ga. Sekali saja."
Dan sudahlah mungkin kali ini ia digariskan untuk datang. Garda juga sudah lelah menjawab permintaan Vio yang satu ini. Mungkin kali ini ia akan mengiyakan. "Iya, Garda akan datang."
Vio tersenyum senang. Ia memeluk tubuh sang putra erat. "Terimakasih dan jangan lupa bawa pasangan sendiri kalau nggak mau Ibu jodohin dengan Melasti." ucapnya membuat Garda terdiam.
Pasangan, apa? Dijodohkan, katanya?
🖤🖤🖤
"Kita sebenarnya mau ke mana sih, Ri?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Gia.
Setengah jam yang lalu Giri mendapat pesan perintah dari Garda yang memintanya datang ke caffe. Giri si anak penurut mengiyakan permintaan Garda. Untuk itu sekarang ia dan Gia sedang on the way menuju caffe. Soal itu Gia belum tahu. Yang ia tahu adalah setelah bangun, Giri langsung menyuruhnya untuk mandi dan bersiap-siap. Bermenit-menit waktu yang Gia habiskan untuk membersihkan badan dan berdandan. Dan setelah menyelesaikan semuanya barulah Giri mengajaknya pergi dari rumah tanpa memberitahu ke mana mereka akan pergi.
"Ke situ." jawab Giri menghentikan motor di halaman parkir caffe.
Gia menganggukan kepala. 3G Caffe. Ia tahu tempat ngopi itu. Dipikirian Gia, Giri mau mengajaknya nongki. Karena itu ia turun dari motor dengan semangat. Gia merindukan menyesap es kopi Charcoal yang terkenal di caffe itu. Dengan senang hati ia menerima gandengan tangan Giri.
"Sore, Bang Giri!" sapa Doni ceria.
"Sore juga, Doni!" jawab Giri tak kalah semangat. "
"Garda di mana?" sambungnya bertanya.
"Di ruangannya. Barusan aja Ibu pulang." jawab Doni.
"Garda ada di sini juga, Ri?" sahut Gia bertanya.
Giri menganggukan kepala. "Ada." ucapnya menjawab pertanyaan Gia. "Yaudah gue samper Garda dulu ya, Don." pamit Giri pada Doni.
Giri kembali mengandeng tangan Gia. Keduanya berjalan beriringan menuju ruangan Garda. Tak membutuhkan waktu lama untuk Gia dan Giri sampai dan membuka ruang kerja Garda. "Ngapain lo cari gue? Kangen?" tanya Giri membuyarkan lamunan Garda.
Begitu mendengar suara itu, Garda langsung menoleh ke sumber suara. Perhatiannya terpusat pada cewek yang ada di sebelah Giri. Manik Garda memicing. Tububnya menegap. Ia langsung meraih kerah baju Giri untuk ditariknya. "Anjir, anjir, anjirrr!" kata Giri sembari mengikuti langkah kaki Garda yang menarik bajunya.
"Bangsat kenapa Gia ada di sini? Pake segala lo pegang-pegang tangannya lagi! Curi start lo ya!" bisik Garda membelakangi Gia.
Giri diam. Yaealah si Garda belum tahu saja kalau pagi tadi Giri mengajak Gia tidur bersama. Haha! Tolong jangan ada yang membocorkan dokumen rahasia Giri. "Dia terima kontraknya." ucap Giri memberitahu. Itu hanya untuk mengalihkan topik saja.
Pegangan tangan Garda mengendur. Bahkan terlepas sempurna di detik selanjutnya. "Serius?" tanya Garda membalikan badan menatap Gia.
Yang ditanya menaikkan satu alisnya. "Serius apa?"
Garda berjalan meninggalkan Giri. Ia berhadapan dengan Gia sekarang. "Lo nerima kontrak kami?"
Walau ragu, Gia menganggukan kepala. "Iya." bersamaan dengan jawaban itu Garda langsung memeluk Gia.
Karena Giri tak suka melihat kemesraan Garda dan Gia, ia langsung berlari untuk bergabung. "Biar makin anget." berjeda. "Uuuuu tayang kalian berdua sama Mas Ganesh juga." ucap Giri memererat pelukan.
Kalau seperti ini mereka terlihat seperti keluarga bahagia. Sayangnya kurang kehadiran Ganesh. Kalau saja cowok itu ada. Mungkin kebahagiaan mereka akan terasa sempurna.
🖤🖤🖤
Pukul tujuh malam. Garda, Gia, dan Giri naik ke mobil. Tadinya Gia ingin mengendarai sepeda motornya. Tapi dua pria yang sedang bersamanya melarang Gia. Garda dan Giri memberi usulan bagaimana kalau sepeda motor Gia ditinggal saja di caffe. Tentu saja langsung ditolak mentah-mentah olehnya. Tapi setelah diberitahu ini-itu dan dijanjikan kalau besok pagi sepedanya akan ada di rumah Garda, Gia pun setuju. Permasalahan selesai.
Saat ini ketiga manusia berumur rata-rata dua puluhan itu sedang on the way menuju kampus untuk menjemput Ganesh. Iya. Salah satu member Triple G itu baru saja menyelesaikan kelasnya. Sebenarnya sudah daritadi sore sih. Tapi berhubung ada tugas yang harus diselesaikan berkelompok dan rata-rata anggota kelomopoknya berisi orang berprinsip 'selama bisa mengerjakan sekarang kenapa tidak'.
Ganesh tak bisa berkutik. Padahal tugas itu bisa dikumpulkan dua minggu lagi. Namun, apa boleh buat, mau tidak mau ia harus ikut berpartisipasi mengerjakan tugas demi dua angka yang akan ditulis di selembar kertas nilai.
Selama di perjalanan menuju kampus, Gia hanya bisa diam. Ia menetralisir debaran jantungnya. Gia takut. Ia tidak siap jika harus bertemu dengan Ganesh. Gia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi cowok itu. Terkejut sudah pasti. Dan bukan hanya terkejut saja, tapi mungkin Ganesh juga akan kecewa.
"Diem-diem gitu si Ganesh pinter ngerayu juga ya. Hebat banget dia bisa bujuk Gia supaya terima tawaran kerja sama ini." meskipun samar, Gia masih bisa mendengar suara itu.
"Iya. Sebagai hadiahnya kita kasih Ganesh kesempatan pertama yang masukin ke lubang Gia ya." itu usulan Garda.
Tubuh Gia menegang.
Meskipun tak rela, tapi Giri tetap menganggukan kepala. "Iya deh nggak papa. Ngalah ama yang lebih tua." ucap Giri paksa.
Lagipula Giri juga sudah menang banyak. Seharian tadi tanpa sepengetahuan Ganesh dan Garda, ia sudah berpelukan dengan Gia. Giri puas menciumi leher cewek itu. Meskipun ia mau lebih dari itu. Giri menahan hasratnya. Ia masih ingat Ganesh-Garda. Ia masih menjunjung tinggi nilai kebersamaan.
Gia mencoba mendengar pembicaraan Garda dan Giri. Tapi nihil. Mereka sudah beralih topik. Untuk kali ini Gia tak mau menguping. Ia kembali melamun. Memikirkan ekspresi apa yang nantinya Ganesh tunjukan. Saking enaknya melamun, Gia tak sadar jika mereka sudah sampai di area fakultas Ganesh. Gadis itu masih belum sadar bahkan ketika yang dijemput sudah duduk di sampingnya.
Ganesh terkejut. Ia menatap Gia dalam diam.
"Kenapa dia di sini?" pertanyaanya berhasil membuat Gia tersadar dari lamunan.
Giri menolehkan kepala ke jok belakang."Berkat lo Bro, Gia mau nerima tawaran kita!" jawabnya menyungingkan senyum selebar-lebarnya.
"Ha?" respon Ganesh menolehkan kepala menatap Gia.
Yang ditatap hanya bisa diam. Gia tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. "Nesh, nanti malam kita jadi party besar! Kita akan naena-" bla-bla-bla. Garda masih berbicara.
Ganesh tak mau mendengarnya. Ia fokus menatap Gia. Yang ditatap membalas tatapannya. Ganesh menggeleng-gelengkan kepala. Maniknya berkaca. "Kamu bercanda 'kan, Gi?" tanyanya lirih.
Tbc.
Last repost. Next tunggu infonyeahh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top