(7)Pulang bareng

Barangkali keputusanku untuk meminta pergantian tugas wajar dianggap sebagai perbuatan tidak bertanggung jawab. Aku tidak bisa marah ketika Mita secara tegas menolak permintaanku barusan. Bisa dikatakan tugas wawancara adalah kewajibanku. Aku pun sudah menyetujuinya sejak awal. Bahkan usul menjadikan Damar sebagai narasumber juga berasal dariku sendiri. Namun, aku tidak pernah menyangka berurusan dengan Damar bikin nyaliku ciut. Mungkin karena dia anak TTU. Dan semenjak dulu aku selalu keder dengar jurusan mereka. Tapi itu kan bukan alasan.

"Maaf Cha. Aku enggak setuju kalau ada pergantian. Anak-anak lain sedang on proses sama tugas masing-masing. Mereka akan kesal kalau kamu minta wawancara dilimpahkan ke mereka." Mita tidak mengalihkan pandangan dari laptop di depannya. Jemarinya sibuk mengetik. Aku tahu dia sedang pura-pura untuk menghiraukanku saja.

Aku meremas tangan, gusar. Melihat ekspresi Mita dan cara berbicaranya yang dingin membuatku ingin menelan kembali perkataan tadi.

Mita sedang dalam mode ketua pada anak buah, bukan antar teman sekolah. Berusaha mengembalikan suara agar tenang justru mencekat tenggorokanku sendiri. Sehingga aku terbatuk karena saliva yang menyangkut. Mita memandangku sekilas. Terpaksa kulempar senyum polos padanya.

"Aku tahu, kok. Maaf tadi sempat berpikir bodoh. Aku akan selesaikan tugas ini, Mit." sekuat tenaga aku meninggikan suara. Toh, hasilnya kayak kodok kecepit.

Tak lama aku putuskan mengambil ransel yang kutinggal di bangku belakang. Memandang Mita fokus pada laptop sementara kami habis berdebat bikin aku enggak enak hati. Untungnya tadi sebelum membeberkan permintaanku pada anggota lain Mita bergegas mengajakku berbicara empat mata saja setelah ekskul selesai. Mungkin dia sudah merasa ada yang tidak beres.

Aku akan semakin nggak enak kalau sampai anak-anak tahu. Padahal aku termasuk anggota paling aktif di klub. Kalau hanya karena Damar aku mundur mau ditaruh mana harga diri seorang Icha.

Setelah berpamitan pulang aku segera pergi menuju gerbang sekolah. Seperti biasanya aku akan memesan ojek online dari aplikasi. Semenjak tragedi jatuh dari motor setahun yang lalu papa melarangku pergi ke sekolah sendiri. Sementara papa dan mama juga enggak bisa mengantar jemput setiap waktu. Mama mengusulkan mempekerjakan sopir pribadi untukku. Tapi aku menolak. Tolong dong kalau sopir mobil mending, lah ini motor.

Sudah beberapa kali aku mencoba untuk memesan memesan ojek online, tapi tak satu pun pengendara nyantol ke aplikasi. Mendadak aku dapat notifikasi pesan dari provider, ternyata kuota internetku habis. Pantas saja!

Sekarang bagaimana caranya aku bisa pulang? Ojek konvensional tidak parkir di sekitar sini. Taksi pun agaknya sama. Entah apa yang salah dengan letak SMK Anugerah. Kenapa kendaraan umum enggak mau cari duit di sini, sih.

Di dalam pikiranku sekarang cuma ada satu nama yang muncul yaitu, Jessica. Dia pasti masih latihan paskibra di lapangan. Rumah kami sebenarnya tak searah, tapi Jessica selalu diantar jemput menggunakan mobil pribadi. Dia juga tidak akan keberatan untuk kutebengi pulang ke rumah.

Jujur kalau harus kembali masuk ke lingkungan sekolah akan melelahkan. Tapi menunggu di depan gerbang dan dilihatin banyak orang juga bikin nggak nyaman. Jadi, aku berusaha untuk menyeret kakiku kembali ke lapangan.

Aku melihat siswa lain sedang keluar menuju gerbang dengan kendaraan pribadi mereka. Andai saja aku boleh bawa motor lagi pasti aku nggak perlu repot begini.

Ketika aku sedang berjalan tiba-tiba aku melihat Damar muncul. Dia sedang mengendarai vespa bewarna kuning terang miliknya. Aku enggak nyangka ternyata Damar penyuka gaya vintage.

Seperti disengaja oleh alam semesta entah bagaimana mata kami bertemu. Aku tidak ada pikiran bahwa dia akan menyapaku. Jadi aku cuek saja dan langsung buang muka.

"Cha!"

Seketika aku berhenti. Memastikan telingaku sedang tidak bermasalah. Namaku disebut oleh seorang cowok yang kemarin bersikap sok nggak kenal sama aku? Apa salah makan dia?

Aku berbalik menemukan Damar menghentikan motornya, lalu turun dari sana. Helm kura-kuranya tidak dilepas. Melihat dari arah langkahnya sepertinya dia menuju ke arahku. Saat sudah di depanku dia melepas helm kura-kuranya.

"Mau ke mana?"

"Ha?" aku celingak-celinguk. Benar dia ngajak ngomong aku?

"Ha, ha! Kamu mau ke mana? Ada yang ketinggalan?"

He? Nggak cuma salah makan kayaknya ini orang salah minum obat juga.

"Kamu nanya aku?" telunjukku mengarah ke wajahku sendiri.

Dia mendengkus. Tangannya mengibas rambutnya yang basah. Srrttt. Tak ayal semprotan keringatnya langsung mengenai wajahku.

"Woy! Liat-liat dong kena muka orang nih!" protesku menutupi wajah. Tapi dicium-cium bau keringat Damar segar juga. Eh ya ampun keringatnya!!! Kutu kupret!

Dia nyengir. "Maaf-maaf nggak sengaja," satu alisnya terangkat, "Iya nanya kamu, nih. Tanya mulu!"

"Mau ke lapangan. Ngajak Jessica pulang bareng. Aku kehabisan kuota nggak bisa pesan ojek online."

"Oh."

Eh ya ampun apa nggak salah ngomong aku barusan. Emang nggak salah. Cuma ngapain aku cerita lengkap begitu. Seolah ngode Damar kalo aku nggak ada yang nganter jadi tolong dong vespa kamu kan masih kosong tuh belakangnya.

Ya, ampun Cha mulut kamu perlu dikontrol nih kalau dekat Damar!

"Rumah kamu di mana sih? Mau bareng aku?"

Ha? Untung kali ini aku kagetnya nggak bersuara. Tapi mulutku sekarang menganga sih. Kok dia tiba-tiba jadi begini, sih. Damar kesambet apa barusan. Aku menengok ke arah motornya yang parkir sembarangan di dekat pintu gerbang.

Damar mengikuti arah pandanganku. "Itu kalau kamu mau naik motor vespa begitu," ucapnya sambil menunjuk belakang.

Damar salah mengartikan pertimbanganku barusan. Bukan masalah motornya. Cuma kelakuan dia ini loh. Kemarin sok nggak kenal. Lalu ketawa-ketiwi pas diceng-cengin. Sekarang malah ngajak pulang bareng. Dia punya double kepribadian, ya? Tuh kan semenjak dekat Damar aku jadi suka suudzon sama orang juga.

"Bukan begitu, kok. Motornya nggak masalah."

"Ya uda kalo gitu ayok!"

Dia dengan enteng mengangkat kedua kakinya kembali ke motor.

Dan aku masih enggak paham dengan ajakannya, meski akhirnya ikut mengekor juga.

Kalau dipikir-pikir ya, uda deh mending bareng Damar daripada nungguin Jessica latihan paskibra.

Saat aku sudah sampai di dekat motor, Damar langsung menarik standar vespa degan kakinya. Aku berpikir kegiatan itu kelihatan berat. Namun, Damar malah entang saja bahkan sudah naik dan duduk antengdi atas motor.

"Ayo naik," ajaknya sambil menggunakan helm-nya lagi.

Hmmm,, sebentar. Aku lagi ngira-ngira. Naik motor vespa ini gimana caranya? Apa aku duduk nyamping gitu? Tapi kok kelihatan susah apalagi bodi belakangnya gede begitu. Tapi kalau duduk biasa ini rokku bisa-bisa jadi gulungan tikar. Dan lagi-lagi karena bodi belakangnya. Jadi aku mesti gimana, nih.

Damar menepuk dudukan belakang motornya. "Malah ngelamun. Ayok!"

Duh dia bisa diem nggak sih aku masih mikir, nih.

"Cha!"

"Ini gimana naiknya?" tanyaku kesal. Kenapa sih cowok enggak ngerti banget cewek punya masalah sama cara naik motor kalau kendaraan mereka unik-unik.

Ku kira Damar akan ngomel atau ngedumel, lalu ninggalin aku karena aksi protesku barusan. Eh, dia malah balik turun lagi.

Damar menurunkan jagang tengah motornya. Mengangkat vespa itu dengan mudah, meski tetap di mataku masih kelihatan melelahkan. Lalu, dia turunkan tempat pijakan kaki yang ternyata ngumpet di bawah body motor.

"Aku pegangin ayo naik." Tangannya terulur padaku.

"Ha?"

"Ha mulu, bau tahu! Cepet naik!" katanya dengan nada mulai kesal.

Aku memegang tangannya. Dan tetap tidak tahu harus duduk model gimana. Untungnya kejadian aneh kami ini tidak dilihat anak lain. Sebab sekolah uda sepi. Kecuali satpam di pos jaga. Dan orang-orang berlalu lalang yang enggak sengaja menempatkan pandangan pada kami daripada jalan di depan mereka.

"Duduknya nyamping aja," perintah Damar seolah mengetahui kebingunganku.

Aku akhirnya menurut, memegang kedua tangannya erat lalu endekat pada bodi belakang motor. Menaruh satu kaki pada pijakan, hup! sekali loncatan dan gagal. Huft susah juga ternyata. Aku melompat kembali dan.. hampir saja motor Damar terjungkal kalau dia nggak sigap memegangi. Aku langsung berteriak histeris di telinganya.

"Ahhhh!"

"Pelan-pelan dong! Njungkel baru tahu rasa kamu."

Setelah memastikan aku sudah menaiki motor dengan aman Damar lantas kembali naik di jok bagian depan. Kali ini dia melepas penopang motor hanya modal kekuatan tangan. Aku langsung menahan napas. Berharap dapat menurunkan sedikit beban tubuhku di motornya. Damar tampak kesulitan. Aku memegang dudukan motornya erat. Akhirnya standar berhasil dilepas tanpa oleng. Tak lama mesin motor menyala. Kami pun melaju perlahan. Kulihat satpam di pos cekikikan sendiri saat kami melintas. Ih malunya!

Sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara. Lebih tepatnya tidak bicara sama sekali. Aku menegang di belakang. Bagaimana tidak ini adalah kali pertama aku berboncengan dengan seorang cowok.

Aroma Damar tercium kuat setiap kali angin menerpa kami. Untung wanginya citrus. Menghirup aroma Damar samar-samar membuat bulu sekitar tengkukku mengembang. Meski begitu kegiatan ini tak kuhentikan. Enak juga, hehe.

Di perjalanan hidungku secara tidak sengaja bersentuhan dengan punggung Damar ketika dia mengerem. Pipiku seketika memanas merasakan seragam Damar yang lembab. Jantungku mendadak seperti disetrum dengan listrik aliran besar.

"Ada polisi tidur," terangnya. Mungkin dia mengira aku akan mencurigainya sengaja ngerem mendadak.

"Eh, iya nggak apa."

Ya, ampun apa Damar barusan merasakan hidungku menyentuh punggungnya? Apa dia barusan merasa seperti disengat listrik beribu watt juga? Apa jantung Damar juga berdetak kencang? Apa Damar bisa mendengar debaran jantungku sekarang?

Damar mengendarai motornya dengan kecepatan kencang. Untung jalan yang kami lewati sepi. Jadi, kami bisa menikmati perjalanan tanpa salip-menyalip atau khawatir menabrak pengemudi lain. Aku cukup trauma dengan adegan mencium aspal.

Dibantu seperti ini membuatku kembali penasaran dengan perubahan sikap Damar. Baru kemarin loh di lapangan upacara dia sok nggak kenal. Kami bahkan tidak saling berkirim pesan setelah kejadian di depan kelasnya. Kok sekarang dia langsung berubah begini sih.

Karena dihantui rasa penasaran yang mengusik aku pun coba memberanikan diri bertanya padanya. Lagipula canggung juga diam-diaman gini. Kok berasa kayak naik ojek.

"Damar."

"Hmm." Dia bergumam.

"Kamu kenapa tiba-tiba ngajak pulang bareng?"

Lama, Damar hanya diam tak menanggapi.

Tiba-tiba kepalanya menengok ke belakang. Senyumnya mengembang. Mata kami yang berjarak sejengkal tangan saling bertemu. Untuk sesaat aku merasa disengat listrik lagi.

"Nggak apa-apa. Cuma kepengen," katanya lalu kembali fokus ke jalan.

Ha? Cuma kepengen?

"Serius?"

"Kenapa kaget begitu, sih. Serius, kok."

Dia ini bener-bener punya kepribadian ganda ya? Tunggu-tunggu apa aku nggak salah berpikir kalau dia sebenarnya tertarik padaku. Oh, nggak mungkin Icha!

"Cha," ucapnya mengejutkanku.

"Kenapa?"

"Kamu mau wawancara aku soal apa sih?"

Hello Icha, misi kamu kenal Damar adalah wawancara sekolah dan Antariksa. Bukan debaran jantung, sengatan listrik, dan pikiran-pikiran aneh kamu barusan. Kok malah dia yang ingetin aku. Benar kata Damar, seharusnya ini jadi jalanku buat ajakin dia wawancara.

"Soal karya novel kamu," ungkapku.

"Kalo gitu kamu salah orang buat wawancara." Aku baru akan menyela sebelum ia menarik napas lalu melanjutkan perkataanya,"itu bukan karyaku."

"Awas!!!"

Aku masih tak dapat memproses informasi yang kuperoleh barusan sampai Damar tiba-tiba mengerem motornya dengan kuat. Tubuhku terayun ke depan. Aku memelotot. Tanganku reflek menjambak seragam Damar. Motornya berkelok-kelok beberapa kali sebelum berhenti dan ambruk ke samping.

Bruk!

Gara-gara menarik seragam Damar terlalu kencang dia jadi oleng hingga jatuh sekalian. Aku terpental ke aspal. Damar ambruk di depanku. Posisiku yang duduk meyamping membuat kepalaku yang tanpa pelindung hampir terbentur aspal. Beruntung refleksku masih bagus karena kedua tanganku sigap menahan.

Jantungku berdebar kencang. Sekelibat bayangan beberapa tahun lalu saat aku mengalami kecelakaan kembali terlintas di pikiran. Ya Tuhan! Kami baru saja menabrak sesuatu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top