(6)Nggak kenal
Dunia ini memang punya skenario yang kadang-kadang enggak banget kalau dijadikan kenyataan. Pantasnya kejadian semacam ini cuma ada di cerita-cerita remaja. Terus terang aku suka baca novel dan berimajinasi suatu saat bisa punya kisah cinta kayak Dilan dan Milea. Tapi tolong dong Milea kan jadiannya sama Dilan si cowok ganteng, cool, dan keren bukan kutu kupret kayak Damar.
Kalian pernah enggak kalau lagi ada suatu masalah sama orang terus semesta kayak sengaja mempertemukan kalian terus menerus. Dengan keadaan yang terkesan dipaksakan.
Jujur saja aku sendiri bingung kenapa sejak masalah novel dan wawancara yang sampai sekarang belum selesai. Aku justru terus-terusan dipertemukan sama Damar. Tolonglah Ya Tuhan mahkluk jantan di muka bumi ini banyak. Jangan pertemukan kami terus.
Hari ini entah dapat angin dari mana pak Anton, guru ketertiban di sekolah mengubah tatanan barisan upacara. Biasanya anak perbankan, satu-satunya jurusan yang hanya memiliki satu kelas di tiap tingkatan digabungkan dengan jurusan perkantoran atau akuntansi. Tapi khusus hari ini kami malah baris bersama jajaran siswa dari "kandang binatang".
Bisa kalian bayangkan betapa mencoloknya perbedaan di antara kami saat berdiri sekerumun. Anak perbankan berpakaian rapi disetrika, dasi, topi, sabuk, sampai kaos kaki sekolah lengkap. Sementara anak TTU berdominasi cowok dengan seragam yang kayaknya belum dicuci dari minggu kemarin, dasi bekas kakak kelas, topi coret-coret, sabuk digunting-gunting, dan kaos kaki berat sebelah.
"Kok tumben ya kita bisa satu barisan sama anak TTU," komentar Jessica sambil menyenggol lenganku.
"Nggak tau," jawabku cuek.
Jessica pasti senang akhirnya kami bisa satu barisan dengan jurusan TTU. Kelihatan kok dari awal baris dia sudah senyum-senyum sendiri. Bahkan menyeretku sampai tepat berada di sisi cowok-cowok itu. Tentu saja Jessica kegirangan akan pengaturan ini karena dia bisa melihat kecengan barunya. Yup, si Elang, teman Damar yang ngetawain aku di hari pertama kami ketemu. Ternyata setelah sok modus berdalih tanya judul novel Damar, Jessica langsung melesatkan aksinya mendekati Elang.
"Kok jutek sih, Cha. Kamu masih pms apa?"
Haduh Jessica asal dia tahu aja. Mood swing karena pms kalah sama hancurnya mood ku gara-gara satu barisan sama Damar yang berdiri tepat di sebelahku. Dan dia dengan santainya diem-diem aja. Enggak ada rasa bersalah atau niat minta maaf gara-gara ninggalin aku di cgv kemarin. Bahkan seolah tidak mengenaliku sebagai Icha yang pernah mengajaknya wawancara dan dia ajak ke cgv.
"Cha, itu sebelah kamu Damar, kan, ya? Uda selesai belum kamu wawancara dia?"
Aduh Jessica bisa enggak sih enggak usa tanya begituan ketika orangnya jelas-jelas di sampingku dan pasti denger pertanyaan dia barusan.
"Ssttt," isyaratku pada Jessica. Dia malah balas cekikikan.
Selama upacara berlangsung kami, maksudku aku dan Damar saling diam. Cowok di sampingku ini sudah kayak manusia dipatung marmer yang enggak bisa bergerak sama sekali. Aku heran juga padahal anak TTU yang lain bisa ngobrol santai, kadang cengengesan godain anak jurusan lain. Tapi kok manusia yang satu ini diam di tempat saja. Dia justru mendengarkan dengan khidmat saat pembina upacara yang ternyata adalah pak Anton sendiri lagi pidato ngalor-ngidul tentang kemunduran ketertiban siswa selama satu tahun ini.
Dan dilihat-lihat lagi Damar juga mengenakan seragam dan atribut sekolah lengkap yang enggak neko-neko. Sekarang aku ngerti kenapa Damar justru enggak pernah kelihatan di sekolah dan jurusan. Itu semua karena penampilannya beda sendiri dari teman-teman sekelasnya. Oh, ya satu lagi kepribadiannya yang berubah-ubah juga aneh.
Ketika pemimpin upacara membubarkan barisan, kami siswa SMK Anugerah serempak melonggarkan otot tubuh masing-masing. Kebas juga loh harus berdiri selama satu jam di lapangan dan disengat terik matahari pagi.
Setelah menilik ternyata Damar masih berada di lapangan meski jarak kami sekarang jadi cukup jauh. Ia sedang ngobrol dengan teman sejurusannya. Aku berniat menghampirinya menanyakan soal wawancara yang kemarin tertunda. Tapi melihat dia sedang asik sendiri dan tingkahnya selama upacara yang kayak enggak kenal aku. Aku jadi keki. Gimana kalau nanti dia pura-pura enggak tahu aku ini siapa di depan teman-temannya? Kan, bikin malu.
"Cha balik kelas, yuk!" Dea menepuk bahuku. Baru sadar dia tadi baris paling depan makanya kami enggak ketemu.
"Cha mandangin apa sih? Ya ampun itu kan si Antariksa ya?"
Aku terkejut mendengar pernyataan sekaligus pertanyaan Dea barusan. "Apaan sih De? Bukan tau! Dia Damar bukan Antariksa."
Dea mengerutkan dahi. Ekspresinya bikin aku gatal pengen mutar bola mata."Katamu novel mereka sama? Berarti mereka orang yang sama dong."
Penjelasan Dea enggak masuk akal. Bukan berarti karena novelnya sama penulisnya juga sama. Lagian The Orion lebih bagus dari novel Damar.
"Damar itu...," aku mendekat ke telinga Dea yang tertutup kerudung, "plagiat saja!"
Kini giliran Dea yang memutar bola matanya. "Kamu enggak boleh Cha menuduh tanpa bukti begitu. Bisa jadi dia memang Antariksa. Sudah ah, kok jadi debat perkara dia di sini. Kamu mau balik kelas nggak? Tuh, Jessica sama Martha uda nungguin."
Jari telunjuk Dea mengarah pada dua cewek di bawah tangga dekat mushola. Keduanya memasang tampang tidak sabaran kepada kami.
Aku segera menyusul Dea yang berjalan lebih dahulu. Kini aku mulai berpikir bahwa masalah wawancara Damar dan penyelidikan masalah plagiat Antariksa harus dilanjutkan. Karena semua berhubungan. Dan aku keburu terlanjur basah masuk ke dalam kisah itu. Jadi harus diselesaikan.
***
Hari ini pelajaran pertama diisi dengan sejarah yang bikin sebagian dari kami menguap bergantian setiap semenit sekali. Kalau kata Jessica, Bu Hajar enggak pas kalau mengampu mata pelajaran sejarah. Pembawaan beliau yang kelewat tenang dan tidak ingin walau sebentar meninggalkan kursi justru bikin anak-anak makin enggak sabar nunggu jam usai. Seharusnya sejarah diajarkan dengan asik dan menyenangkan. Biar sepeliknya masa lalu kenangannya bisa dijadikan pelajaran menuntun ke arah masa depan yang lebih baik.
Aku jadi curiga argumen Jessica barusan berasal dari pidato bapaknya pas kampanye pemilihan anggota DPR.
Setelah mewanti-wanti diri sendiri untuk enggak ikut-ikutan merem pas pelajaran akhirnya aku kalah juga. Sudah dua kali aku dan Jessica saling negur karena kami ketiduran pas bu Hajar menjelaskan. Karena enggak tahan kami pun meminta ijin ke kamar mandi. Walau mendapat pelototan dari teman-teman lain karena menganggap kami hanya alasan ingin kabur saja hehe.
Toh, meski memang benar begitu enggak ada kok yang iseng negur. Soalnya nanti kejadian begini akan terulang lagi dengan siswa yang berbeda. Ini semacam rencana satu kelas yang terstruktur untuk pelajaran bu Hajar dan pelajaran membosankan lainnya. Kali ini giliran aku dan Jessica yang kabur. Minggu depan beda lagi.
Jam pertama semua kelas sedang ada pelajaran. Jarang ada siswa keluyuran di koridor seperti kami. Setelah membasuh wajah di kamar mandi bukannya langsung balik ke kelas kami justru meneruskan perjalanan sampai ke kelas-kelas jurusan lain. Kalau kata kami sekarang ini namanya studi tour melepas ngantuk hehe. Langkah Jessica menuntunku ke kelas jurusan kandang binatang. Seharusnya aku sudah menduga ini dari awal. Dia pasti sengaja ngajak ke sini. Kok aku bisa-bisanya enggak sadar.
"Jess, balik kelas aja, yuk!" ajakku. Serius deh aku lagi enggak mau ketemu Damar lagi.
"Ah, belum selesai jam pertama, Cha. Nanti kita ngantuk lagi."
Alasan aja nih cewek! "Uda deh kamu mau ngintipin Elang kan makanya ke sini. Uda balik aja, yuk."
Jessica cekikikan tapi tangannya justru terus menyeretku supaya berjalan lebih cepat."Tau aja kamu, Cha."
"Jess..." aku masih mengeluh sampai kami tiba di depan kelas jurusan TTU.
Mereka bukan belajar di kelas seperti yang kami duga. Anak TTU justru sedang praktik membongkar AC di depan kelas mereka. Terang saja posisi mereka yang memblokade jalan bikin aku dan Jessica kebingungan. Kami kan mau pura-pura lewat, kalau jalannya dibuntu kami mesti gimana. Alhasil aku dan Jessica cuma mematung dipandangi cowok-cowok TTU.
"Loh, kalian kok jam pelajaran malah keluar kelas. Mau ke mana?" seorang guru laki-laki menegur kami. Aku enggak kenal guru itu, sepertinya guru kejuruan.
Aku dan Jessica saling pandang. Beberapa cowok mulai menggodai kami.
"Sini lewat aja, mbak. Tapi lewat hati saya."
"Pak mintain nomer yang rambutnya panjang."
"Eh, Icha ya? Nyariin Damar lagi, ya?"
DUAR! Pertanyaan Elang langsung disambut gelak tawa teman-teman sekitarnya. Termasuk Damar yang kelihatan cengengesan sambil ngotak-atik badan AC. Kutu kupret! Tadi pas upacara aja diem-diem sekarang giliran dikecengin Elang malah peringisan.
"Benar mau cari Damar?" bapak yang entah siapa namanya ini justru menanggapi serius.
"Bener kok, Pak. Icha cari Damar untuk wawancara majalah akhir tahunan. Iya, kan, Cha?"
Jessica sialan! Kok aku yang jadi umpan, sih. Kan dia yang ngajak ke sini.
"Oh, begitu. Nanti saja pas jam istirahat. Sekarang kalian balik saja ke kelas."
"Sabar, kangennya ditahan ya, Cha. Damar lagi cari uang dulu."
Candaan Elang barusan bikin semua orang ketawa. Dikiranya aku ini bener-bener ngarep ketemu Damar apa? Ah, lagi-lagi. Damar melirik sekilas sambil senyum-senyum. Dasar kutu kupret bulu ketek!
Aku langsung menyeret Jessica dari tempat itu karena malu. Sepanjang jalan aku merutuki diri sendiri. Damar emang cowok aneh, enggak jelas, tengil.
"Maaf ya, Cha."
"Diem!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top