(4)Damar lagi Damar lagi
Aku, mama, dan papa sedang duduk di meja makan. Kami menikmati sayur asem dan ikan tongkol pedas buatan tukang masak mama di rumah. Papa berulang kali mendesis, dahinya berkucur keringat, tapi tak mau melewatkan sedikit pun sambal di piringnya. Mama kelihatan telah menyudahi sesi makan dan merapikan piring untuk dibawa ke dapur. Sementara aku sama sekali tak menikmati makananku. Padahal ini masuk menu favorit mingguan keluarga. Aku masih sibuk memikirkan ekspresi menjengkelkan Damar tadi siang. Kesalnya lagi ketika aku cerita di grup klub jurnalistik mereka malah menertawakanku. Sialan!
"Kenapa, Cha kok makanannya sss enggak di makan? Sss," tanya papa.
Aku tersenyum. Enggak tega lihat papa kepedesan begitu. Belum lagi efek setelah makan pasti kamar mandi tidak akan ditinggalkan papa dalam waktu lama. "Pa, uda dong makan pedesnya kalau enggak kuat," saranku mengalihkan topik.
Papa menggeleng. "Ikan tongkolnya enak Cha sayang kalau enggak dihabisin," ungkapnya.
Ah, papa mesti begitu. Keras kepala kalau dikasih tahu.
Aku masih belum menghabiskan makanku bahkan setelah mama selesai mencuci piring dari dapur.
"Cha kok enggak dihabisin. Tumben, kamu bosen sama masakan mbak Rut?"
"Enggak kok. Aku masih suka tongkol pedas mbak Rut, " jawabku datar.
Mbak Rut atau Rutina adalah pembantu mama yang tadi aku bilang. Dia bukan mbok berumur melainkan seorang perempuan muda beranak tiga. Yup, umurnya masih dua puluh tiga tahun, memiliki anak tiga, suaminya meninggal setahun lalu.
Mama mengenal Mbak Rut lewat temannya yang pernah jadi majikan mbak Rut sebelum pindah ke luar kota. Kerja mbak Rut cekatan dan rapi, masakannya juga enak banget terutama tongkol pedas, menu kesukaan papa. Terus mbak Rut juga baik dan ramah, usinya cukup muda hingga membuat semua orang rumah nyaman berbincang apapun sama dia termasuk aku. Kadang aku menganggap mbak Rut sebagai temanku sendiri saat di rumah.
Setelah menyudahi acara makan malam keluarga kami, papa dan mama berkumpul di ruang keluarga. Papa menyetel film pada layar datar televisi. Sedangkan mama sedang menyiapkan minuman dan cemilan di meja. Biasanya aku hanya akan duduk menunggu di sofa sampai kedua orang tuaku bergabung menghimpitku. Lalu kami akan menonton film hingga tengah malam. Diselingi candaan atau perdebatan mengenai totonan kami. Itu adalah acara setiap malam minggu di keluargaku. Semacam Quality time kami. Namun, hari ini tampaknya aku enggak selera menonton film. Jadi kuputuskan langsung beringsut ke kamar tidur saja.
Sampai di kamar bukannya langsung ambruk di kasur aku malah mondar-mandir enggak jelas di dekat jendela. Sumpah deh! Perkara Damar belum kelar dari pikiran. Terutama mimik wajah ganteng tapi super ngeselin darinya pas minta rokok buat bayaran wawancara seliweran terus enggak mau pergi. Duh pengen aku lempar pakai sepatu pantofel berhak di rak depan.
Drtt.. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Layarnya memunculkan notifikasi whatsapp dari Mita. Setengah hati aku buka pesan itu. Enggak tertarik kalau bakal ngomongin kejadian tadi siang lagi. Pliss seseorang bantu aku melupakan wajah Damar dari ingatan!
"Cha bagaimana soal wawancara, uda beres? "
Mita memang tegas banget soal kerjaan jurnalistik. Kayaknya seluruh hidupnya memang harus tertata dengan baik dan dilakukan secara serius. Cuma Mita yang enggak ngirim stiker super ngeselin di grup chat saat aku cerita soal Damar. Dia justru berusaha menenangkan dengan bilang "sabar Cha cowok TTU emang gitu"
"Belum Mit. Maaf kayaknya aku enggak jadi wawancara Damar. Kita cari narsum lain aja, deh."
Uda dipastikan Damar bukan Antariksa. Serius enggak mungkin penulis Orion yang penuh rasa dan menyenangkan itu berwujud cowok ngeselin dan tengil begitu. Lagipula aku baru sadar kalau foto Antariksa di instagram itu cowok tinggi dan enggak ada postur anak SMA kayak Damar. Berarti Damar bukan Antariksa dan dia cuma plagiat! Uda tengil, ngeselin, plagiat pula. Setelah beres masalah artikel jurnalistik aku bakal menemui Damar dan minta tanggung jawab.
"Enggak bisa Cha!"
Balasan dari Mita buat aku mendelik.
"Kamu harus tetap wawancara Damar. Aku uda kirim rencana majalah akhir tahunan ke Bu Reska. Beliau setuju. Aku juga tulis Damar sebagai narsum untuk artikel."
Aku menepok jidat. Saking kerasnya sampai mulutku mengaduh sendiri. Gila! Secepat itu Mita kerja? Oke, dia emang super duper siswa cekatan tapi mbak Rut aja enggak sekilat itu ngerjain kerjaannya.
"Duh Mit apa enggak bisa diganti. Plisss aku enggak nyaman wawancara Damar. Kita ganti ke Bayu aja ketua Osis. Atau Rosman ketua Rohis. Gimana? Asl jgn dia :'("
Aku menggigiti kuku menunggu balasan Mita lagi. Cemas bercampur aduk dengan takut. Aku mengusulkan nama-nama yang sebenarnya akan terlalu biasa buat masuk majalah sekolah. Karena tolonglah siapa coba yang enggak kenal ketua Osis dan jajarannya. Aku aja enggak bakal berminat banget baca profil mereka. Lagian Bayu dan Rosman enggak kayak Damar. Maksudku dari segi tampangnya.
"Enggak bisa Cha. Kita uda sepakat, bu Reska setuju. Enggak ada waktu buat mundur."
Aku menurunkan bahu lemas. Mendadak kakiku enggak punya daya untuk menopang tubuh sendiri.
"Kamu pasti bisa. Cuma sehari aja wawancara dia Cha. Setelah itu urusan kalian selesai. Oke. Semangat Icha!! :)"
Aku membaca pesan Mita dengan mimik bibir moncong-moncong. Enak banget dia bilang semangat Icha! Hih! Coba dia sendiri yang berhadapan sama Damar. Tapi semua memang bukan kesalahan Mita. Aku yang salah dan ceroboh milih narasumber hanya karena Damar seorang penulis. Ralat seseorang yang ngaku-ngaku jadi penulis.
Send contact : Damar TTU
"Kali aja kamu butuh hubungi dia."
Oh, Mita ngirim nomer whatsapp Damar. Gercep-nya enggak tanggung-tanggung emang. Sampai kontak aja Mita uda siapkan. Kalau gini enggak ada kata mundur. Semangat Cha!
***
Hari ini aku bolak-balik dari kamar ke ruang tengah. Yang artinya aku harus bolak-balik juga naik turun tangga. Otakku rasanya enggak beres. Entah karena capek atau mimpi semalam. Aku rasanya pengen jedotin kepala ke tembok saking kesalnya. Bisa-bisanya Damar nyelip di antara tokoh-tokoh mimpiku. Seketika bunga tidurku jadi nightmare paling mengerikan. Imbasnya seharian ini aku cemas dan bingung tentang masalah wawancara yang mendadak muncul lagi di pikiran.
"Mbak Icha lagi ada masalah di sekolah?" tegur mbak Rut saat melihatku mau naik ke kamar lagi untuk yang kesekian kali.
Aku memandang ke arah ruang tamu. Papa dan mama sibuk pada bacaan masing-masing. Meski aku menjumpai mata papa mengintip dari balik bentangan koran di depan wajahnya.
"Mbak ikut aku ke kamar bentar, yuk, " kataku berbisik mengintruksikan mbak Rut agar tidak terdengar papa dan mama.
Sesampainya di dalam kamar aku sudah cerita ngalor-ngidul mengenai Damar. Dalam versi lengkap. Mbak Rut awalnya mendengarkan dengan tenang sampai cekikikan pas aku bilang Damar minta rokok.
"Ih, mbak kayak temen-temenku deh. Kesel," protesku.
Mbak Rut mengangkat kedua tangannya menutupi mulut. "Maaf mbak Icha abisnya temennya lucu."
Ya ampun lucu dari segi mananya sih? Kejadian itu ngeselin banget.
"Terus gimana mbak?" tanya mbak Rut melihatku sudah cemberut.
Aku menggeleng. "Aku bingung mbak. Masalahnya aku uda enggak bisa mundur kudu wawancara dia, tapi aku sebel."
Mbak Rut mengangguk. Sejurus kemudian dahinya berkerut. "Tapi mbak Icha serius mau belikan dia rokok biar mau wawancara."
Aku melongo lalu menepuk jidat. "Enggak lah mbak!"
Mbak Rut cekikikan lagi. "Lah nanti enggak jadi wawancara dong."
Entah kenapa aku enggak menganggap serius permintaan Damar yang satu itu. Dia cuma menggodaku saja, kan. Lagian siapa yang berani bawa rokok ke sekolah kalau tiap mau masuk gerbang sekolah kamu diperiksa ketat semacam di bandara. Bisa-bisa aku masuk BK karena ketahuan.
"Mbak Icha saya balik ke bawah boleh? Mau lanjutin kerjaan takut ditegur ibuk."
Mbak Rut memang pekerja keras. Kalau dia bisa semua pekerjaan rumah dikerjakan langsung. Dan sekali pun salah mama enggak pernah marah paling cuma menegur. Soalnya kerja mbak Rut pada dasarnya minim kesalahan.
Mbak Rut keluar kamar setelah aku memperbolehkan dia pergi. Sekarang setelah cerita ke mbak Rut aku jadi penasaran. Apa permintaan Damar soal rokok itu beneran atau lucu-lucu an untuk menggodaku ya? Aku mengambil poselku ketika ingat kalau Mita mengirim nomer wa Damar semalam.
Eh, tapi gengsi dong kalau aku ngechat dia duluan. Bisa-bisa Damar ge-er. Tapi lebih mustahil lagi kalau Damar yang chat dulu, tahu nomerku saja enggak.
Gimana ya? Cara chat dia. Apa aku sodorkan pertanyaan wawancara langsung. Atau minta kayak kemarin. Ah, enggak deh. Kok enggak malu ngulang kesalahan yang sama Cha! Tapi gimana dong aku kan butuh dia jadi narasumber masa aku ngechat "Siang Damar. Uda makan belum?" Uh, enggak banget!!!
"Damar ini aku Icha. Yang kemaren. Kali ini aku enggak nanya tapi minta tolong sama kamu. Pliss tolong jadi narsum ku. Oke? :)"
Aku membaca berkali-kali pesan yang barusan kukirim dengan mimik enggak percaya.
Icha!!! Malu-maluin! Kenapa pakai sok kenalin diri sih?! kayak dia bakal inget kamu aja?! Kenapa kelihatan memohon gitu?! Kenapa pakai emot senyum-senyum segala?! Nanti kalau dikira flirting gimana?!
Tapi enggak mungkin pesan itu ditarik. Soalnya tandanya uda centang biru dua. Enggak lama terlihat notifikasi Damar mengetik pesan. Seketika aku menutup mata dengan kedua tangan. Jantung rasanya uda enggak ngerti berdebar berapa kali dalam sedetik. Frustasi banget rasanya!
"Oh cewek perbankan kemarin ya? Kan aku bilang boleh tapi surya dulu."
"Eh sama teh botol hehe :))"
Gila! Aku spontan mengumpat setelah baca pesan Damar. Jadi soal rokok dan teh itu dia serius. Yang bener aja?! Eh tapi kok dia inget aku anak perbankan ya? Dia kok pakai hehe?! Pakai emot senyum begitu juga?! Kok lucu?!
"Ha? Soal rokok itu masih serius?"
Tak lama gambar di kontaknya berganti dari yang kosong jadi foto Damar sendiri. Dia pakai kaos putih, jaket denim, dan tersenyum lebar ke arah kamera. Terlihat bukan selfie.
"Ciyus lah. Kalau ada rokok aku mau."
Ciyus? Aku terpingkal-pingkal sampai sakit perut. Gaya chatnya jadul banget sih! Haha.
"Di sekolah enggak boleh bawa rokok. Ntr aku yg ketahuan di depan gerbang. Dasar kutu kupret!"
Aku melempar candaan bukan karena uda nyaman. Tapi biar rileks aja.
"Wawancara kan enggak kudu di sekolah, buntut kocheng! Sekarang juga bisa."
Hahaha buntut kocheng?! Bisa juga dia. Tunggu Damar ngajakin ketemuan nih ceritanya. Aku enggak salah baca. Dia enggak salah kirim. Kalian enggak salah kira, kan?
"Serius nih? Oke, di mana dan jam berapa?"
Aku menutup mata untuk kedua kalinya. Enggak berani lihat pesan balasan Damar. Sifat kelewat blak-blakan dan to the point ku ini pasti gara-gara Mita. Aku pasti cuma mau profesional dan segera nyelesaiin masalah artikel bukan karena ingin ketemu Damar.
"Cgv ya? Jam tiga?"
Ha? Apa aku enggak salah baca?! Damar ngajakin aku nonton?!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top