(2)Penulis Baru
Jessica buru-buru mengambil buku akuntansi yang baru aku keluarkan dari tas. Padahal pelajaran pertama akan dimulai kurang lebih lima belas menit lagi, tapi cewek yang pernah ikut andil menjadi pembawa baki bendera pas peringatan kemerdekaan se-provinsi itu malah belum membuat pekerjaan rumahnya sama sekali. Perlu diketahui tugas akuntansi itu beda sama tugas lain yang bisa tinggal disalin saja. Kamu perlu bikin tabel-tabel dari tiap pos jurnal yang banyak banget dulu. Terus enggak boleh salah tulis tanggal transaksi. Apalagi sampai salah letakin kas dari debit ke kredit. Pokoknya ribet!
"Duh, Cha kamu bantuin aku dong dektein itu transaksi masuk mana aja!"
Aku mendengkus malas. Habisnya aku juga mengerjakan tugas itu semalam suntuk. Mau pinjamin buat disalin aja uda syukur.
"Kamu sih Jes, uda tahu jam pertama ada tugas masih aja enggak ngerjain. Sekarang giliran gini bingung," sahut Dea.
Dea Armita Tristanti adalah teman kami yang duduk di barisan depan dari kolom bangku kami. Cewek berjilbab, manis, dan punya tone kulit sawo matang. Dia paling hafal huruf aksara jawa di antara teman-temanku yang lain. Makanya Dea selalu jadi semacam buku pepak tiap ada ulangan bahasa jawa. Oh, iya Dea juga bendahara paling garang selama dua semester. Enggak ada yang berani nunggak uang kas lebih dari dua minggu. Itu sebabnya kelas kami jadi paling kaya satu jurusan.
Marta yang duduk di samping Dea cuma memberi komentar dengan geleng-geleng. Rambutnya yang keriting dikuncir kuda sampai bergoyang-goyang. Aku jadi enggak tahan ingin ketawa melihatnya.
Semenit sebelum jam berdering Pak Agung sudah masuk kelas dan menyapa kami semua. Sementara Jessica masih sibuk dengan urusan menyalin tugas yang belum kelar. Pak Agung mulai memimpin doa. Semua siswa menundukkan kepala dan melantunkan doa sebelum belajar bersama-sama. Setelah mengucapkan kata "Amin" pak Agung berdeham. Matanya melotot ke arah Jessica. Kumisnya yang tebal sampai naik-turun karena hembusan napas dari hidungnya yang kembang-kempis.
"Jessica Arelleta! Nyalin tugas lagi?!"
Aku menyenggol lengan Jessica. Wajahnya panic seketika. Sampai-sampai bolpoin di tangannya jatuh di meja.
"Hehehe iya, Pak," ucapnya cengengesan.
Anak-anak lainnya langsung menghadap ke arah deretan bangku kami. Tak ayal gelak tawa pun terdengar keras dari mereka. Aku, Dea, Marta, dan Frey hanya geleng-geleng malu. Bisa-bisanya kami punya teman begitu.
***
Kami berlima sedang duduk di kursi panjang kantin saat jam istirahat sembari menunggu makanan kami diantar. Teman-temanku sedang asik ngobrol sedangkan aku masih cemberut karena insiden di kelas tadi. Akibat ketahuan menyalin tugas lagi Jessica diberi tambahan mengerjakan satu buku bukti transaksi. Dan aku yang digadang oleh pak Agung telah membantu Jessica kudu menerima getah yang sama. Thanks Jess, i wanna u go hell.
"Cha jangan marah dong." Jessica memegang lenganku dan menggoyangkannya pelan.
"Lepasin!" bentakku.
Aku masih cemberut. Sebenarnya aku enggak marah-marah amat padanya. Tapi kesel. Okeh, marah sedikit juga. Abisnya satu buku transaksi itu memakan waktu seharian. Aku kan belum ngerjain tugas artikel klub jurnalistik juga.
"Aku bayarin bakso sama es jeruk kamu, deh. Sebagai penebusan rasa bersalah ya," tawar Jessica bermanis-manis. Kalau bayarin sekadar sepuluh ribu aja mah bukan masalah bagi Jessica si anak anggota DPR.
"Jess punya kita juga dong." Frey tiba-tiba menyahut disusul anggukan dari Dea dan Marta.
Jessica membalas dengan menjulurkan lidah pada mereka.
"Cha, jangan marah lagi ya," katanya sekali lagi merayuku.
Mendengar nada manja dari Jessica lama-lama aku enggak tega juga. Apalagi setelah lihat muka memelasnya itu.
Jessica adalah orang pertama yang aku kenal di sekolah ini. Kami bertemu di meja pendaftaran. Kalian tahu lucunya dia memutuskan masuk jurusan perbankan pada hari itu juga karena aku memilih jurusan yang sama. Katanya dia ingin masuk SMA favorit, tapi gagal.
Kalian tentu tahu 'kan faktor penyebabnya?
Jadilah sejak hari itu kami berteman dekat. Lalu mulai kenal Dea, Marta, dan Frey karena duduk satu deret di kelas. Kami berlima jadi semakin dekat semenjak pergantian semester tak memilih berganti posisi tempat duduk.
Aku mengangguk memaafkannya. Jessica pun tersenyum riang. Kini aku ikut bergurau membicarakan sosok teman sekelas kami bersama keempat temanku. Biasa, ghibah berkelompok.
Suasana kantin di sekolahku sama seperti pada sekolah lainnya. Selalu ramai di jam istirahat. Aku tak perlu menggambarkan detailnya. Intinya berisik, penuh siswa, dan aroma makanan menyeruak ke mana-mana.
Saat kami sedang menyantap makanan masing-masing tiba-tiba saja kantin dibuat gaduh. Ada segerombolan cewek kelas sepuluh mengerubungi satu meja hingga cowok-cowok yang duduk di sana mencak-mencak. Kenapa aku tahu kalau mereka anak kelas sepuluh? karena warna badge di bahu mereka terpampang jelas, warna biru terang.
Aku dan keempat temanku mengamati. Lagian jarak meja kami dengan tempat kejadian perkara cukup jauh. Jadi kami tidak bisa mendengarkan perdebatan mereka. Sayangnya teriakan satu orang cowok berhasil mengganggu kegiatan makan kami semua.
"Siapa sih?" tanyaku penasaran.
"Itu Elang bukan, sih?" jawab Frey. Dahinya berkerut.
"Elang anak TTU?" timpal Dea.
Jessica tiba-tiba menyerobot sebelum Frey akan menjawab lagi. "Ya, ampun! Elang yang ganteng itu, kan?! Mantannya Ucil."
Aku melihat Frey sudah memutar bola mata menanggapi ttingkah over Jessica. Aku terkikik dalam hati.
Kemudian timbul pertanyaan dibenakku. Anak TTU? Pantas saja, di mana ada keributan di situ pasti ada anak TTU. Tapi persoalan apa yang mengaitkan cowok TTU dengan adik kelas.
"Kenapa sih mereka?" Jessica nampak semakin penasaran, "aku ke sana deh mau lihat."
Aku langsung menarik tangan Jessica begitu dia mau bangun dari tempat duduk. Gila aja ngapain lihat orang berantem. Tapi bukan Jessica kalau kemauannya enggak terjadi. Dia langsung melepas tanganku sambil melotot ke arahku. "Bentar Cha, aku penasaran."
Selepas perginya Jessica aku cuma bisa menurunkan bahu lemas. Enggak ngerti deh dia mau bikin ulah apalagi. Kenapa sih ikut campur urusan orang lain. Dea dan Frey mendukung karena ikut terseret rasa penasaran. Sedangkan sama sepertiku Marta cuek saja, justru sibuk menyedot es tehnya.
Tak lama setelah keributan itu berakhir dan kedua kubuh bubar, Jessica kembali. Dea dan Frey menepuk meja menyuruhnya segera ke tempat kami makan. Mata mereka berbinar tidak sabar mendengarkan gosip yang akan dibawa Jessica. Namun, saat kembali duduk Jessica justru nampak biasa saja.
"Apa masalahnya?" Frey bertanya antusias.
Jessica cuma mengangkat bahu. "Bukan soal Elang, aku kecewa." Kami berempat ber hah heh serempak. Kenapa Jessica kecewa kalau masalahnya bukan soal Elang?
"Katanya ada anak TTU baru nerbitin novel gitu. Cewek-cewek yang ngerubutin mereka pengen minta tanda tangan, tapi si penulis bodoamat. Elang sebagai teman yang baik kesel karena privasi temannya terganggu. Begitu, deh."
Dea dan Frey mengangguk-angguk. Lalu bersikap seakan tidak tertarik lagi dengan persoalan itu. Sementara aku kebalikannya. Aku jadi penasaran. Sebagai seseorang yang hobi baca novel tentu aja hatiku bertanya-tanya. Siapa cowok TTU yang berhasil nerbitin novel itu? Seorang penulis cowok itu keren banget woy!
***
Sepulang sekolah aku mengajak Jessica ke Gramedia. Semenjak mengetahui informasi ada anak TTU jadi seorang penulis jiwa jurnalisku meronta-ronta. Mangsa bagus untuk dijadikan bahan artikel terbaru di majalah akhir tahunan sekolah. Kapan lagi seorang siswa jurusan kandang binatang masuk majalah ya 'kan... Ups!! Hehe
Mita pun setuju saat aku mengusulkan Damar sebagai narasumberku. Iyap, penulis itu namanya Damarlangit. Aku enggak pernah mengenalnya. Dengar-dengar anaknya cukup tenang alias enggak sering buat masalah. Enggak apa, deh terlibat sama anak TTU. Lagipula sejak mengetahui Damar menerbitkan novel ada secercah cahaya yang merubah pemikiranku tentang jurusan mereka. Ya, setidaknya seuprit.
Saat kami tiba di Gramedia aku langsung menuju rak buku top 10 rank in here. Wah, banyak karya wattpad terkenal yang nangkring di sana. Aku jadi tergiur pingin beli semuanya kalau enggak ingat uang jajanku enggak bakal cukup memuaskan hasrat itu. Tapi buku dengan nama Damar ternyata tak ada. Aku kayaknya terlalu berlebihan berharap novelnya langsung jadi salah satu yang paling laris.
"Kamu yakin Jess bilang novelnya lagi booming?"
Jessica angkat bahu. "Itu, kan kata anak-anak."
"Kamu bilang tadi judulnya apa?"
Jessica mengambil ponsel dari sakunya. "Little Orion Fall in You, kata Elang itu judulnya."
Nah, satu fakta yang bikin aku ingin mewawancarai Damar adalah karena judul novel yang dia tulis hampir mirip dengan karya milik Antariksa, The Orion. Aku enggak menganggap dan berharap mereka orang yang sama. Cuma tiba-tiba aku tertarik saja. Siapa tahu Orion yang ini sama bagusnya dengan milik Antariksa sehingga aku bisa move on dari Finn Wolfhard.
Selama beberapa menit aku masih berputar-putar di beberapa rak buku. Sementara Jessica lebih memilih duduk di sofa yang disediakan toko sambil bermain ponsel.
Mata dan mulutku seakan kompak terbuka lebar saat aku akhirnya berhasil menemukan Little Orion Fall in You yang dimaksud Jessica. Novel itu masih terbungkus plastik dengan rapi. Berjajar ke belakang. Sampulnya bergambar rasi bintang orion dengan tekstur timbul. Dan, yup nama DamarLangit tercetak berada tepat di bawah judul. Aku mengambilnya satu. Namun, tak menemukan sampel buku yang biasanya tersedia.
"Pilihan bagus!" seru seseorang di sebelahku.
Aku kontan menoleh padanya. Dilihat dari penampilan kayaknya sih bukan anak SMA sepertiku.
Cowok itu memakai kemeja bewarna biru laut dengan lengan ditekuk sampai siku. Wajahnya cukup tampan dengan tulang-tulang yang menonjol. Matanya bewarna kecokelatan yang aku yakini seratus persen berasal dari kontak lensa.
"Eh, maaf. Itu novel pilihanmu bagus." Cowok itu jadi kikuk karena kupandangi. Bibirnya sampai berkedut ketika mengucapkan kalimat barusan. Ya ampun indah sekali.
"Ehem." Aku berdeham menyadarkan diri sendiri. Bisa gawat lama-lama memandang cowok di sampingku. "Loh? Kamu eh anda sudah pernah baca novel ini?"
Dia tersenyum. "Sudah, bagus sekali. Kamu harus baca. Rekomendasi banget apalagi buat anak sekolah seperti kamu."
Aku terdiam sejenak. Entah mengapa mendadak jantungku berdebar-debar. Ya, ampun! Icha sadar! Cowok di depanmu cuma lagi rekomendasiin novel. Bukan ngajak kamu kencan.
"Oh, oke makasih rekomendasinya, kak."
Tak berapa lama cowok itu pun berlalu pergi. Aku masih membeku di tempat menganggumi Ciptaan Tuhan barusan. Dan baru sadar sedetik kemudian kalau aku lupa tidak menyakan namanya. Ah, dasar Icha bego banget sih!
Tapi berkat cowok tadi aku jadi makin nggak sabar ingin baca novel milik anak TTU ini. Sebagus apa coba sampai ada cowok ganteng yang nggak aku kenal saja merekomendasikannya.
***
Malam harinya aku masih sibuk berkutik dengan buku bukti transaksi hukuman pak Agung. Novel Damar tergeletak di samping belum ku jamah sejak tadi sore. Inginnya aku baca malam ini juga. Tapi badanku rasanya pegal-pegal, enggak kuat kalo disuruh begadang lagi. Jadi keputuskan membacanya besok di sekolah. Yang aneh aku menemukan kejanggalan dalam novel milik Damar.
Kalian pasti tahu di novel ada yang namanya blurb. Atau isi cerita yang biasanya ada di belakang buku. Aku menemukan kesamaan cerita antara buku Damar dan Antariksa. Serius benar-benar mirip.
Aku enggak yakin apakah asumsiku benar. Ada dua kemungkinan yang aku pikirkan. Satu Damar adalah Antariksa. Dua, Damar mencuri karya Antariksa. Untuk membuktikannya aku perlu istirahat agar besok pagi segera menemukan jawaban. Tapi menurut kalian kemungkinan mana yang benar?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top