(12) Wawancara Kacau

Dalam empat hari berjalan, tidak ada satu hari pun aku lewati dengan tenang saja. Rasanya mustahil menulis "empat hari kemudian" dengan mudah setelah Damar dan aku menentukan jadwal wawancara kami. Setiap kali ada kesempatan aku sepintas melihat Damar menaruh pandangannya padaku.

Kami sebenarnya tak bicara soal wawancara atau novel belakangan ini. Tapi aku tak bisa berhenti memikirkanya. Ada banyak pertanyaan terus bermunculan dalam pikiranku. Namun, aku harus tetap menahan hingga dilanda mati rasa karena penasaran.

Tiba di hari jum'at pikiranku makin menjadi-jadi. Pertanyaan seputar teknik mengoper bola pada soal ujian olahraga yang tidak menarik perhatianku sama sekali, hingga aku lupa pada jawaban nomor berapa tadi aku tuliskan "tidak tahu, saya pusing."

Dasar Icha gila!

Guru yang menjaga ruang ujian sudah keluar membawa serta soal dan lembar jawaban. Anak-anak dengan antusias berhamburan keluar ruangan. 

Aku menunggu hingga cowok di sampingku pergi. Karena hanya baru setelah itu aku bisa mengajak ngobrol Damar sekaligus memastikan tentang wawancara kami.

Setelah cowok itu benar-benar pergi aku memberanikan diri membalikkan badan. 

Damar terlihat sedang bermain dengan hp yang ada di tangannya. Kerutan di dahinya mengisyaratkan bahwa "tidak sedang ingin diganggu". Dia sedang fokus. Tapi aku tak bisa menahan lebih lama lagi. Wawancara hari ini harus terjadi. Tidak boleh ada halangan lagi seperti sebelumnya.

Aku mengamati Damar. Merapalkan kalimat yang akan kukatakan dalam pikiran. Menunggu hingga dia sadar sudah dipelototi sedari tadi. Tapi kesalnya Damar tak juga mengenyahkan pandangan pada hp yang sedari tadi dipegang dengan posisi lanskap itu.

"Damar." 

Aku berusaha menjernihkan suaraku. Meski tahu hal itu selalu gagal tiap aku merasa grogi.

"Hmm." Damar bergumam. Matanya tak sedetik pun beralih padaku.

"Nanti kita jadi wawancara, kan?" tanyaku memelas. Untung dia tak melihat ekspresiku saat ini. Memalukan. Ya ampun.

"Iya," jawabnya.

Aku menghela napas lega. Meskipun Damar kembali bersikap meyebalkan, kali ini aku akan lebih sabar. Mungkin sejak awal harus begini cara menghadapinya. Lagipula sebentar lagi aku akan mewawancarai penulis novel kesukaanku, The Orion.

Kemungkinan Damar plagiat memang belum hilang seratus persen, tetapi semenjak dia mengatakan kalimat paling aneh untuk ukuran anak SMK kemarin. Rasanya aku bisa tahu dia adalah penulis kisah Orion yang sebenarnya. Kalau begitu kebenaran Damar plagiat versus Damar adalah Antariksa sekarang 50:50.

***

Selepas ujian terakhir kami selesai aku langsung menghadang Damar di kursinya. Takut kalau dia bakal mangkir dari janji wawancara. Aku nggak akan kasih kesempatan dia untuk kabur atau meninggalkanku lagi kali ini.

"Iya, iya santai, Cha. Aku bakal wawancara kok sama kamu. Jangan kayak orang mau nangkep maling gitu," ujarnya mengomentari aku yang berdiri merentangkan kedua tangan di depannya.

Aku langsung menurunkan kedua tanganku. Diam-diam menggigit bagian dalam pipiku.

Dasar, Icha! Kenapa kamu jadi kayak orang gila gara-gara masalah ini?!

Elang dan Jessica yang menunggu kami menertawakan aksi konyolku barusan.

Aku segera beranjak dari kursi dan menghampiri mereka. Kedua tanganku mengepal siap membungkap kedua mulut mereka kalau tak berhenti tertawa.

***

Setelah menunggu Damar dan Elang melaksanakan sholat jum'at di masjid sekolah, kami memutuskan singgah di salah satu restoran fast food paling terkenal di kalangan anak sekolahan.

Jessica dan Elang mengambil meja yang berbeda dari aku dan Damar dengan alasan tak mau mengganggu kami. Walau sejujurnya aku tahu itu cuma alasan saja, tapi aku setuju. Sebab mengintograsi Damar alih-alih mewawancarainya hanya berdua saja lebih nyaman bagiku.

Kami memilih duduk di area luar yang tidak terlalu ramai di jam makan siang. Angin segar yang berembus di sini juga barangkali bisa membawa rasa grogi yang dari tadi menghinggapiku.

Aku sudah menyiapkan beberapa pertanyaaan formal seputar Damar yang akan ditulis di artikel. Sisanya adalah pertanyaan yang bercokol di pikiranku semenjak empat hari kemarin. Dan rasanya aku ingin langsung menyemburkan semua itu padanya karena sudah meluap di otak.

"Damar." Aku menyela ketika dia sedang menggigit double cheese miliknya dengan gigitan sempurna ala food vloger.

"Bisa nggak kita makan dulu baru wawancara," ujarnya disela kunyahan.

Aku menghela napas dan ingin bilang "Nggak bisa! Enak Aja! Aku uda nahan sampe mati rasa dari kemarin" tapi aku memilih untuk diam saja, lalu mengangkat chicken muffinku dan mulai melahapnya.

Damar kelihatan menyeringai. 

Setelah burger dan cola bersih dari meja kami, aku mulai menyalakan perekam pada hpku.

Aku bilang pada Damar, "Aku akan merekam wawancara kita biar lebih gampang pas mau nulis artikel. Kamu nggak keberatan, kan?"

Kini wajah damar kelihatan tegang. Lucu sekali. Padahal ini cuma wawancara biasa saja. Tadinya aku pikir Damar akan bersikap sok dingin dan semacamnya.

"Ya, aku nggak masalah," suaranya terdengar gemetar. Aku nggak tahan dan langsung ketawa mendengarnya.

"Ngapain ketawa?" tanyanya sinis.

Aku menggeleng tak kalah sinis menatapnya. "Sok-sok an dingin. Padahal kamu grogi, kan. Dasar!"

***

Damar anak kedua dari dua bersaudara, memiliki ayah dan ibu yang menjalankan bisnis obat-obatan (maksudku di sini mereka memiliki semacam apotek).

Dia menyukai dunia penulisan sejak kelas 6 sd. Gemar membaca buku, kapan tepatnya dia lupa. Dia menyukai genre fantasi dan petualangan. Impiannya sewaktu kecil adalah menjadi penjelajah waktu dan berharap bisa berpetualang bersama kakaknya, mencari tahu apakah wolferin memang memilki strata dan klan seperti yang digambarkan buku cerita atau tidak? medengar hal ini, aku membayangkan betapa hangat hubungannya dan Ananta dulu. Bagaimana bisa hubungan itu berubah sekarang ini?

Semakin lama Damar berbicara semakin santai. Aku cukup terkejut mengingat betapa tegang wajahnya tadi. Setelah diperhatikan terdapat satu poin kemiripan dia dengan kakaknya, mereka berdua orang yang gampang menghadapi situasi. 

"Jadi kapan kamu mulai memikirkan ide membuat cerita Orion?"

Damar menunduk tiba-tiba. Entah mengapa dia terdengar mendesah.

Dia kemudian menghadapku kembali memberikan tatapan seolah aku baru saja bertanya pertanyaan paling tidak ingin dijawab seumur hidup. Tentu aku mengetahui ini. Karena tatapannya mirip milik Ananta ketika aku bertanya apakah hubungan kakak-adik itu baik-baik saja. Tapi apa coba hubungan novel dengan semua itu.

"Sekitar kelas 3 SMP," jawabnya.

Aku terperangah. "Wah, hebat. Terus kamu langsung menulisnya? Kamu menulis di buku atau media lain?" 

"Nggak, aku menulis di laptopku dan nggak pernah menunjukkannya pada siapa pun."

Aku menghela nafas. Jawaban Damar menamparku telak, anehnya aku berusaha mempercayai bahwa ada kemungkinan lain di balik itu.

Analisaku mulai bekerja. Antariksa mulai mempublis cerita Orion sekitar setahun yang lalu. Artinya saat Damar baru kelas satu SMK. Nah, ini bisa jadi benang merah yang runtut.

Damar bisa saja menulis dan mengendapkan karyanya sewaktu kelas 3 SMP kemudian mengunggahnya di wattpad sebagai Antariksa saat memasuki SMK. Benar bukan? ya ampun aku menemukan titik terang.

"Terus gimana ceritanya kamu sampai mengirimkan pada penerbit dan berhasil dibukukan. Apa ada cerita dibalik itu?"

"Nggak ada," ungkapnya.

Aku tertegun sebentar. Kemudian mulai memperjelas jawaban Damar tadi. "Maksudnya kamu langsung mengirim ke penerbit begitu saja?"

Damar menggeleng.

Aku makin mengerutkan kening. Apa-apaan sih dia?

Damar sepertinya mengetahui kebingunganku. Namun dia jusru tak mengatakan apa-apa. Kali ini dia benar-benar membuatku emosi. Aku sudah cukup mencurahkan stok kesabaranku demi menunggu hari ini tiba. Dia nggak bisa dan nggak boleh mengelak lagi seperti ini.

Aku mengambil hp yang kuletakkan di meja. Mengangkat layar kemudian kusodorkan di depan wajahnya.

"Lihat! Perekam ini masih nyala dari tadi, tapi aku akan mematikannya sekarang kalau kamu mau. Asalkan kamu harus jawab semua pertanyaanku dengan jujur," kataku berterus terang.

Mata Damar melirik ke layar hp dan aku bergantian. Guratan mirip pecahan bintang tercetak pada kulit di sekitar alisnya.

Dia menggelengkan kepala dengan cepat. Kemudian mendengkus menyebalkan.

"Aku rasa informasi yang kamu rekam dari tadi sudah cukup untuk menulis artikel di majalah sekolah. Kita akhiri saja wawancarannya."

Aku membeku di tempatku. Nada suaranya. Tingkahnya. Sekarang benar-benar membuat kepalaku panas.

"Belum. Ini nggak cukup. Kenapa sih kamu nggak tinggal jawab saja?" nadaku mulai meninggi.

Dua pemuda yang duduk lat satu meja dari kami mulai memerhatikan. Mereka berusaha menyembunyikan ketertarikan pada perdebatanku dan Damar.

Aku menghembuskan nafas ke atas. "Damar, ayo kita berterus terang."

Dia tampak kebingungan, tapi memutuskan tak bertanya apapun.

"Aku pernah membaca karya yang sangat mirip dengan novelmu. Judulnya adalah The Orion. Cerita itu ada di wattpad sekitar setahun yang lalu, penulisnya bernama Antariksa. Kalau memang The Little Orion Fall in You itu milikmu, apa benar kamu ini Antariksa?"

Darahku berdesir setelah selesai mengatakan semuanya. Damar belum memberikan jawaban apa-apa. Tapi wajahnya bahkan lebih tegang daripada pas kita mau wawancara tadi.

Ekspresinya begitu dingin. Aku bahkan tak sempat bertanya kenapa sampai dia mendadak mendorong kursinya ke belakang dengan keras. 

Aku terkejut. Mungkin begitu pula dengan Elang dan Jessica yang langsung menghampiri meja kami.

"Aku bukan Antariksa!" serunya.

Otakku biasanya lambat menerima informasi yang begitu tiba-tiba, tapi kali ini aku mendengar dan segera mengerti dengan jelas perkataan Damar.

Ada rasa kecewa terbesit di hatiku. Terdapat bisikan lembut mengatakan dan ingin meyakinkanku bahwa dia sedang berbohong. Namun ungkapan mata Damar mengartikan sebaliknya.

"Maaf, tapi aku harus balik duluan." Damar segera meyabet tas ransel miliknya yang masih teronggok di kursi, lalu buru-buru pergi.

Sementara Elang sedang menyusul Damar yang menuju parkiran. Jessica memberikan tatapan khawatirnya padaku.

Aku tahu dia ingin tahu apa yang tadi kami perdebatkan sampai Damar memutuskan pergi dan berteriak bukan Antariksa dengan keras. Tapi aku enggan menjelaskan apapun. Aku masih harus menjelaskan pada diriku sendiri soal kenapa hatiku tiba-tiba sakit mendengar jawabannya, mendadak kecewa dan bukannya lega.

Setidaknya sekarang aku tahu kebenaran bahwa Damar bukan Antariksa dan kemungkinan dia plagiat itu benar adanya. Ditambah lagi sedari tadi aku berbohong dan tak mematikan perekam di hp. Artinya semua pembicaraan kami yang menyangkut kesamaan novel dan cerita di wattpad terekam di sana.

Bahkan ketika bukti ada di genggaman tanganku, kenapa aku masih merasa sedih?

to be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top