Who Are You?
"Dasar anak aneh."
Batu-batu kecil mulai dilemparkan ke tubuh anak kecil yang meringkuk di dekat pohon rindang. Cemoohan demi cemoohan terus dilontarkan padanya. Dia terus meringkuk dan menahan segala rasa sakit. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Bocah malang itu... sangat kasihan.
Luka fisik yang diterimanya sangatlah parah. Terseok-seok dia kembali ke dalam rumah. Sang Mama terkejut melihat putranya yang kembali dengan keadaan sangat menyedihkan. Wajahnya lebam, tangan dan tubuhnya penuh luka gores.
Aku hanya mengikutinya dalam diam. Tak dapat berkata. Tak dapat menolong. Hanya melihat dan merasakannya. Karena, dia adalah diriku di masa muda.
***
"Josh! Bangun!" Mama meneriakiku dari balik kamar. Aku menggeliat di kasur, rasa kantuk masih memenuhi diriku.
Tanganku mencari jam di rak dekat kasurku. Kuambil jam wekerku, benar saja. Sekarang sudah pukul sepuluh. Aku yakin kemarin tidur pukul tujuh. Kenapa tubuhku terasa pegal?
"Iya, Ma. Josh sudah bangun," jawabku saat kusadari mama masih berteriak-teriak di depan kamarku.
Aku segera mandi dan membawa tasku untuk ke kampus. Aku sudah melewatkan jam Mr. Grier hampir satu jam. Mungkin lebih baik aku membolos sekali.
Bau telur goreng berbaur dengan roti bakar, menyeruak hidungku saat melewati ruang makan. Kedua orang tuaku memandangku dengan sedikit menghina. Mereka akan mulai mengejekku, aku yakin itu.
Aku mengambil potongan roti bakar dengan isi telur, khas buatan mama. Aku menyantapnya tanpa memedulikan kedua orang tuaku yang mulai mengomel.
"Mama, Papa, sudah selesaikah kalian mengomeliku? Ayolah, aku sudah dewasa. Aku hanya terlalu lelah saja tadi malam. Aku janji tak akan mengulanginya. Dan aku pamit kuliah dulu, oke?"
Mereka tertawa melihat aksi protesku. Aku mengecup pipi mama dan memberikan tosku pada papa. Kuambil kunci mobil yang tergantung di dinding.
Perjalanan menuju kampus kulakukan dengan santai. Toh, aku memang berniat membolos jam kuliah. Kukira kampus akan sangat sepi, mengingat banyaknya kelas saat pukul sebelas. Dugaanku salah. Kampus sangatlah ramai, bahkan ada beberapa mobil polisi yang terparkir sembarangan.
Apa yang terjadi?
Aku segera mencari orang yang kukenal. Itu... Nana.
"Nana," panggilku. Nana menaikkan ujung alisnya dengan tatapan juteknya. "Kenapa? Kok ramai sekali?" tanyaku.
"Mr. Lautner, apa kau tidak tahu sesuatu? Apakah keterlambatanmu ke sini tidak kau barengi dengan menonton berita terlebih dahulu? Kau bahkan tidak tahu jika kampusmu menjadi sangat terkenal hanya dalam satu malam."
Aku tidak mengerti arah pembicaraan Nana. Apa sih maksudnya? Dia sangatlah suka basa-basi dan memutar pembicaraan.
"Yah, Nona James. Aku ketinggalan berita, aku tidak memiliki tv di rumah. Jadi... bisa kau langsung ke poinnya?"
Nana memutar bola mata. "Kau tahu Alvin Jeco? Dia ditemukan meninggal di lab kimia milik Mr. Grier tadi pagi. Dan satu kampus mendadak heboh, tak hanya kampus, tapi juga para wartawan yang penasaran."
"Serius?!" ucapku setengah berteriak. Beberapa orang melirikku tak senang. "Lalu kenapa dia bisa meninggal?"
Nana mengedikkan bahu. "Mana aku tahu. Makanya polisi ke sini, mereka masih menyelidiki. Kudengar, kemungkinan kematiannya sekitar pukul sebelas sampai pukul dua dini hari," bisik Nana.
Aku bingung harus senang atau bersedih. Pasalnya, Alvin sangatlah membenciku sejak kecil. Mentang-mentang dia memiliki badan yang besar, dia selalu saja membullyku bersama gerombolannya. Jika mengingatnya, aku sangat kesal.
"Oh ya, kau dicari Mr. Grier tadi. Kau disuruh ke ruangannya. Dia mau membicarakan sesuatu denganmu. Kurasa tentang proyek yang kau diskusikan dengannya beberapa waktu yang lalu." Nana meletakkan telunjuknya di dagu. "Proyek kelahiran baru? Ya, kurasa dia mengatakan itu."
Aku mengelus puncak kepala Nana, tanda berterimakasih dan meninggalkannya untuk menemui Mr. Grier. Entah kenapa, aku sudah sangat penasaran dengan hasilnya.
***
"Kau sudah datang, Josh." Mr. Grier tetap fokus dengan benda di hadapannya seolah berita kematian Alvin tidak membuatnya takut atau semacamnya.
Mr. Grier tidak menoleh padaku, membuatku harus menghampirinya. Dia sangatlah sombong.
"Iya. Aku sudah datang. Jadi... kenapa kau memanggilku? Apa ada hubungannya dengan penelitian yang kulakukan? Bagaimana perkembangan penelitianku? Apakah sudah pantas dikatakan sebagai kelahiran baru?"
Mr. Grier melirik padaku. Wajahnya menyiratkan berbagai tanda tanya di kepalaku. "Benar."
Dia mengambil sesuatu di lemarinya. Beberapa tabung gas dengan cairan di dalamnya.
"Setelah kuteliti. Kau sungguh pintar. Bagaimana bisa kau membuat campuran kimia semacam ini? Efek dari ciptaanmu sangat dahsyat."
Aku berjalan ke dekatnya. Memasang senyum yang sering dikatakan seringai oleh beberapa orang.
"Tentu saja. Hal seperiti ini, bukan hal sulit bagiku. Aku sudah belajar lama untuk ini." Aku menepuk tabung gas pelan.
"Namun, kelahiran seperti apa yang ingin kauciptakan? Sejak kau menemuiku untuk penelitianmu ini, kau selalu mengatakan tentang kelahiran baru. Aku sedikit penasaran dibuatnya. Berbagilah denganku," tanya Mr. Grier berusaha menyelidikiku. "Mengingat efek dari penelitianmu ini cukup dahsyat untuk dilakukan sebuah percobaan pada makhluk hidup."
Sejak awal aku memang tidak membeberkan seluruh maksud dari penelitian ini. Pantas saja jika Mr. Grier semakin penasaran dibuatnya.
"Hanya sedikit penasaran kan? Jika begitu, aku tak perlu memberitahukannya."
Aku meninggalkannya yang masih terbengong.
***
"Berita selanjutnya, kampus X dihebohkan dengan ditemukannya mayat seorang pelajar dari fakultas teknik. Hasil otopsi menunjukkan, kematiannya disebabkan oleh senyawa aneh. Polisi masih menyelidiki kasus ini sebagai pembunuhan atau bunuh diri. Para dokter dikerahkan untuk mencari tahu campuran kimia apa yang ada di tubuh pelajar tersebut."
Mama bergidik melihat tayangan berita di televisi tentang kematian Alvin yang membuat kampusku cukup terkenal di pencarian internet dan menjadi pembicaraan heboh di lingkunganku.
"Kau harus berhati-hati, Josh. Dia meninggal di lab kimia padahal dia anak teknik. Kau biasa keluar masuk lab kimia itu kan?" Mama mulai memperingatiku kembali. Sudah seharian penuh mama terus memberiku berbagai macam peringatan untuk berjaga-jaga.
"Iya, Ma. Lagipula, anak teknik dan anak farmasi itu berbeda. Anak teknik mungkin punya otot kuat tapi mereka tidaklah sepintar anak farmasi yang bisa meracik racun."
"Jangan mengatakan hal yang menakutkan, Josh. Kau seperti psikopat saja."
Aku tertawa pelan lalu memeluk mamaku. "Haha, kau terlalu serius, Ma. Aku tidur dulu. Sudah sangat mengantuk nih." Mama mengecup keningku, seperti anak SD saja.
***
"Hari ini, kembali ditemukan seorang mayat dari kampus X. Sudah seminggu sejak peristiwa mengenaskan menimpa kampus ini. Tujuh korban berjatuhan dan ditemukan dengan kesamaan, yaitu senyum di wajah dan senyawa aneh di dalam tubuh mereka yang diduga sebagai penyebab kematian korban. Hasil otopsi masih belum dapat disimpulkan sampai saat ini. Polisi menetapkan kasus ini sebagai pembunuhan. Para pelajar kampus X diharapkan untuk selalu waspada."
Lagi-lagi, berita yang sama setiap hari. Sudah seminggu sejak kematian Alvin. Keadaan kampus bukan membaik, tapi bertambah parah.
Sesuatu yang ganjil sedikit menggangguku. Korbannya selalu ditemukan dengan keadaan tersenyum. Bahkan, para korbannya...
"Kau sedang apa, Josh?" Aku sedikit terkejut dengan panggilan Nana. Lamunanku dikejutkan dengan cara tak menyenangkan.
"Ada apa, Na?"
"Kau dipanggil Mr. Grier sedari tadi. Kau hanya diam dan tak fokus."
Apa?! Aku mengalihkan pandang ke depan. Mr. Grier menatapku marah.
"Aku tahu kau murid pintar, Josh. Tapi bisakah kau tetap mendengarkanku mengajar? Apakah penelitianmu sudah membuatmu berbangga diri?" bentak Mr. Grier di depan ruangan. Ini sangatlah memalukan. "Kau bahkan menggunakam headset di saat dosenmu mengajar. Apakah pelajaranku sangat membuatmu bosan?"
Aku hanya diam tak berminat membantahnya, aku tak ingin dia memberiku hukuman.
Dia sangatlah menyebalkan. Seluruh orang memandangku sebagai pusat gangguan kelas.
Aku berusaha mengikuti jam Mr. Grier dengan konsentrasi penuh, meski aku masih sangat terganggu dengan sesuatu. Aku sangat penasaran, dan aku harus segera menanyakan ini pada dosen menyebalkan ini.
Akhir-akhir ini, tubuhku sering sakit. Mungkin aku harus mengubah posisi tidurku.
***
"Ada apa Mr. Lautner? Tampaknya kau sama sekali tidak bisa tenang selama jamku tadi."
Mr. Grier mengatakan hal itu tanpa memandangku yang baru saja masuk ke ruangannya. Kurasa, dia memang sudah menebak kedatanganku. Apakah benar dugaanku ini?
"Aku sangat terganggu akan sesuatu, Mr. Grier," ujarku setengah berbisik.
Mr. Grier melirikku sejenak, lalu kembali sibuk dengan kegiatannya meracik obat. "Kau penasaran apa?" tanyanya tak peduli.
"Kau kan pelaku semua ini?" tebakku. "Mengakulah. Kau menggunakan ciptaanku untuk membunuh mereka kan? Aku tahu dengan jelas efek obat ini."
Mr. Grier melotot ke arahku. Wajahnya sangat murka. "KAU MENGATAKAN APA?! KAU INGIN CUCI TANGAN DARI PERBUATANMU!"
Aku nyaris terjengkang ke belakang. Teriakan Mr. Grier membuatku sangat terkejut. Bagaimana bisa dia langsung meneriakiku seperti itu? Bahkan menuduhku cuci tangan.
Aku belum pernah menguji obat itu pada objek manusia. Mana mungkin itu perbuatanku.
"Kau sungguh keterlaluan. Kau yang melakukan Tuan Grier. Kau malah menuduhku." Aku menaikkan suaraku satu oktaf lebih tinggi.
"Kau pikir aku tidak tahu? Aku melihatmu malam-malam ke sini. Kau yang membunuh mereka. Kau masih masih tidak mau mengaku? Tenang saja, aku sudah menelpon polisi. Mengakulah di penjara." Apa?! Dia melaporkanku pada polisi? Dia sudah gila. "Racikanmu ini... akan jadi bukti yang akan kuserahkan pada polisi. Kita lihat. Apakah benar kau atau bukan?"
"Kau sangat gila!"
Brak!
Kami berdua menoleh pada pintu yang didobrak. Dua orang berpakaian seperti polisi dan seorang yang berjaket hitam, mereka masuk ke ruangan ini.
Apakah Mr. Grier benar-benar melakukan ini? Dia berniat menuduhku? Dia gila.
Mr. Grier menunjukku. "Dia pelakunya. Tadi aku menelpon polisi agar menangkap pelaku semua ini. Ini barang bukti untuk penyelidikan kalian."
Tanpa berkata-kata lagi, orang berjaket hitam --yang kuyakini sebagai kepala penyelidikan-- memerintahkan kedua orang di belakangnya untuk menggeretku ke kantor polisi.
Aku berusaha menjelaskan. Namun, seakan mereka tak mendengarku. Mereka terus menarik dan memborgol tanganku. Membawaku masuk ke dalam mobil.
Bukan aku. Si Tua Bangka itulah pelakunya.
Selama di ruang penyelidikan, si Jaket Hitam itu beberapa kali menggebrak meja saat kubilang tidak tahu apa-apa.
"Berhentilah berbohong. Penyelidikan telah menemukan sidik jarimu pada botol yang tertinggal di TKP. Bahkan dosenmu mengatakan jika kau melakukan penelitian ini. Mau menamai penelitianmu, kelahiran baru. Setelah diselidiki, para korban juga mengenalmu atau bisa dikatakan kau dibully mereka. Jelas sudah motifmu."
"Bukan aku. Percayalah padaku. Mr. Grier telah memanfaatkanku."
"Cctv menunjukkan kau berada di kampus saat tengah malam. Butuh bukti apa lagi?"
Kebohongan macam apa ini? Polisi ini sungguh menipu.
Si Jaket Hitam menoleh ke belakangnya, menatap cermin dan mengangkat dagu. Setelah itu, yang kulihat ada dua orang masuk ke ruangan ini. Mereka membawa tongkat besi. Awalnya, aku tidak paham. Namun, aku segera sadar.
Mereka akan memukuliku, seperti anak-anak itu. Seperti Alvin dan yang lain. Jangan, aku mohon.
Bayangan saat Alvin dan teman-temannya datang memukuliku, menpermalukanku, dan hal menakutkan lainnya, terus bermunculan di kepalaku.
Aku sangat pusing. Traumaku belum sembuh.
Tubuhku terhempas dari kursi saat salah satu dari mereka mengayunkan tongkat memukul bahuku. Beberapa pukulan mulai menghantam tubuhku. Mereka tak memedulikanku yang meminta ampun.
Mereka tertawa. Apakah sangat bahagia saat aku kesakitan?
Puas menyiksaku hingga babak belur, mereka menggeretku ke sel dan melemparkanku seenaknya. Lukaku bergesekan dengan lantai yang dingin membuatku meringis kesakitan.
Kepalaku sangat sakit, tak hanya pusing biasa. Rasanya, seperti akan pecah. Kenapa denganku? Apakah polisi tadi membuatku sangat kesakitan begini? Ya Tuhan, tolong aku.
***
Di mana ini? Kenapa aku seperti tidur di atas air? Bukan, bukan air. Badanku tergeletak di atas aspal basah.
Apakah polisi tadi melakukan hal menakutkan lagi padaku?
Aku mencoba membuka mata meski sedikit terasa perih karena lebam di mata kiriku.
Gelap. Dan... ini bukan di sel penjara. Lalu ini di mana? Bau tak sedap mengusik penciumanku. Bau tak asing, bau sampah. Aku berusaha bangkit dan mencari tahu.
Aku memegang dinding dekatku dan menyeret kakiku untuk berjalan. Tempat ini tidak asing.
Tempat pembuangan sampah belakang kampus. Kok aku di sini?
Aku merogoh kantong, mencari ponselku. Kertas? Ada kertas di kantongku, tapi aku tidak merasa pernah meletakkan kertas di sini.
Hai, Josh.
Mungkin kau sudah terbangun dengan perasaan penasaran. Perkenalkan aku Mario Duke. Kau mungkin penasaran kenapa kau bisa di tempat pembuangan sampah dan siapa Mario Duke ini. Perlu kau ketahui, aku sudah ada di tubuhmu sejak kau berumur lima belas tahun. Saat kai dibully dengan kejam dan tanpa perasaan. Aku terlahir dari rasa bencimu pada ketidakadilan dunia ini. Aku diciptakan untuk menolongmu, dan membalaskan dendammu.
Benar. Aku yang membunuh mereka semua. Tentu saja dengan benda ciptaanmu. Jangan marah. Kau harus bahagia. Kau menciptakannya juga dengan tujuan yang sama denganku 'kan? Kau ingin membuat mereka tersenyum dan melupakan tindakan jahat mereka padamu.
Mungkin aku tercipta dari keinginanmu untuk lahir menjadi baru. Who knows?
Aku baru saja membunuh para polisi dan membebaskanmu dari penjara. Mungkin setelah ini hidupmu akan sedikit berubah. Tenang saja, aku akan selalu menolongmu. Oh ya, si Grier Tua itu adalah pengkhianat. Dia tahu tentangku dan dia malah menjebloskan kita ke penjara. Dia mengatakan akan merahasiakan, dasar. Kau harus membunuhnya, oke?
Mungkin kau tidak mempercayaiku. Pergilah ke bengkel Johnson di dekat kampusmu. Tanyalah apakah dia mengenalmu. Dan kau akan terkejut dengan reaksinya. See you.
Surat macam apa ini? Aku mengidap kepribadian ganda? Tidak mungkin. Hal ini tidak masuk akal. Apakah ada hal setidak masuk akal ini?
Samar-samar, aku menyadari ada beberapa hal aneh saat aku SMA. Jonathan yang ditemukan gantung diri, Marsha yang pindah sekolah. Juga beberapa hal janggal lainnya.
Ini tidak mungkin kan?
Apakah ini benar perbuatannya? Apakah Mario itu nyata?
Ini sangat menakutkan. Bagaimana mungkin aku memiliki hidup sekacau ini? Harus bagaimana aku sekarang?
Namun... jika dia memang nyata. Mungkin dia adalah perantaraku untuk merealisasikan ciptaanku. Mengukir senyum di wajah mereka, dan menggerogoti organ mereka secara perlahan.
Tapi apakah dia benar nyata? Atau ada seseorang yang menipuku? Bagaimana caraku untuk membuktikkan ini?
Kepribadian ganda? Konyol. Apakah penyakit itu benar-benar nyata?
Aku harus memastikan ini. Aku harus segera ke bengkel itu besok pagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top