ᴘᴜᴅɪɴɢ
Momentum tidak pernah berulang, ia hanya akan terus berkenang, larut dalam bayang.
Kala menoleh, iris indah hanya menangkap pemandangan kosong dengan otak mereka ulang. Hati rindu meninggalkan senyuman lebar menertawakan angan-angan di benak. Jemari memberi dorongan hingga menghasilkan gaya gesek pada ujung arang di atas lembaran plano. Warna abu menimpa putih memunculkan sketsa abstrak unik yang hanya dipahami sang pelaku. Monoton tidak kaya akan warna, akan tetapi memicu euforia akan kepuasan karya.
Jikalau momentum bisa berulang, manusia tenggelam di nostalgia, lupa akan realitas.
Aroma gula berwarna cokelat bening berpadu manisan berwarna kuning memasuki indra penciuman. Wangi, sampai-sampai lidah mampu mencicipi rasa melalui aroma dan pandangan. Tekstur lembut memantul ketika bersentuhan dengan sendok menjadi ciri khas. Tangan meraih mengukir berhati-hati seolah beroperasi di ruang peluang hidup dan mati. Lidah mengecap rasa, manis menguasai rongga mulut, tetapi tidak secara berlebihan sehingga meninggalkan rasa enggan. Rasa yang begitu cocok di lidah, benar-benar memancing kesenangan sang empunya.
Lagi-lagi, gadis dengan mahkota hitam bercepol dua berdarah keturunan Cina itu melepas bunga imajiner di sekitar. Dia bahkan sudah tidak lagi berfokus pada pembicaraan sekeliling di tengah perkumpulan makan malam study tour mereka. Puding, manisan warna kuning dengan karamel itu menyita atensi. Persetan dengan sulap dari manusia di sampingnya, serta debatan bersama teman masa kecil. Dia tidak akan peduli selain menikmati ini. Hidup harus dijalani dengan santai sebelum santai itu dilarang, kan?
"Chie-san sangat menyukai puding, ya? Kau selalu menolak makanan manis, tetapi tidak pernah menolak puding." Analisis yang baik, pemikiran yang kritis berhasil memancing perhatian orang sekeliling tertuju pada yang ditanya.
Subarashi Chie, selaku penikmat puding dengan darah Cina mengalir dalam pembuluh darah itu menaikan sebelah alis sejenak. Ini pertama kali ditanyakan oleh orang kepadanya, hal itu menjadi alasan mengapa dia tidak dapat langsung menjawab. Puding kembali menyita atensi, kedua alis berkedut mencoba mencari jawaban yang tepat. Sekian lama berpikir, dia melempar cengiran halus, "Karena melibatkan beberapa momentum, mungkin?"
Tiada keraguan dalam keraguan. Jelas nada bertanya itu tertutup oleh ekspresi. Di balik kalimat tanya, menyembunyikan misteri yang hanya diketahui oleh orang bersangkutan.
"Ah, begitu ya! Apakah menjadi favorit?" tanya gadis dengan nama Nakamori Aoko sejak lahir itu.
Belum sempat Chie menjawab, ucapannya dipotong oleh lelaki berisik di sampingnya, Kuroba Kaito. "Haha, Bodoh! Tentu saja dia suka, makanya dia selalu mengambil manisan puding, kan?" ucap sang lelaki, benar-benar pintar memancing keributan, terutama pada teman masa kecilnya itu. Kaito melepas tawa puas, deretan gigit diperlihatkan menunjukkan seberapa ceria sosok itu.
Yang bersangkutan hanya mengalami lelah mental tiba-tiba karena keduanya kembali berdebat. Sesekali, dia membalas ucapan teman sekelas lainnya yang membahas soal makanan. Tangan tak berhenti bergerak, menyantap puding di sela kesibukan berbicara juga tidak menjadi masalah. Lantas, suara benturan sendok samar terdengar membuat sang gadis menaruh atensi pada piring, telah kosong. Ternyata rasa nikmat puding sudah tidak dapat memanjakan lidah.
"Nih, aku tidak mau makan puding. Aku ingin pesan es krim saja!" Suara tak asing menyapa gendang telinga, tepat di samping, masih orang yang senang memancing keributan, Kaito. Sang lelaki mendorong piring kecil berisi manisan yang baru saja disantap habis oleh Chie. Lantas, dia melempar cengiran halus dan memanggil pelayan guna memesan es krim kesukaannya.
Chie mengerjapkan mata beberapa kali, mendengar teman sekelas yang tampak mengejek Kaito karena sudah mubazir dalam memesan. Apalagi, Nakamori Aoko selaku teman masa kecil sang lelaki menceramahi dengan panjang lebar, tidak acuh. Teman gadis lain tampak menaruh atensi pada puding yang didapati oleh Chie, sedikit berbisik-bisik mengenai pendapat akan pandangan sang adam pada dirinya.
"Kuroba-san sepertinya menyukaimu?" tanya salah seorang gadis pada Chie guna memastikan perasaan tak pasti itu. Kentara menaruh rasa penasaran akan kisah asmara milik sang gadis.
Yang ditanya tidak langsung menjawab, memakan puding berwarna kuning itu. Rasa manis menguasai lidah sang pencicip rasa. Kelopak mata menutup indahnya bola mata biru sejenak sebelum menaruh atensi kembali pada sekumpulan orang kepo.
"Siapa yang tahu?"
Dua insan itu tahu, puding yang lebih secara sengaja dipesan guna diberikan pada sosok gadis bermahkota hitam dengan iris biru itu.
---
Puding - whivalen
Chara:
Kuroba Kaito/Kaito Kid; Detective Conan/Magic Kaito © Gosho Aoyama
Genre:
Angst, Romance, Hurt/comfort
Word: 2,7k+
---
Mereka saling menyimpan perasaan, mereka saling menyembunyikan rahasia.
Di bawah bentang cakrawala terang berdamping pada pusat mentari hanyalah status siswa. Sebaliknya, kala cakrawala berpindah gelap dengan rembulan memayungi sebagian bumi, salah satu menjadi seorang pencuri permata dengan sulap, satunya menjadi seorang informan bergerak dalam gelap. Seorang Subarashi Chie dikenal sebagai detektif wanita muda yang cukup dikenal di Tokyo setelah Kudou Shinichi, di satu sisi asal keluarga bergerak dalam gelap seperti informan, membuat dirinya tertarik untuk melakukan pekerjaan berbahaya walau kedua orang tua melarang. Sebab, menunduk bukanlah tipe sang gadis, melakukan hal ini juga, menarik hubungan antara diri dengan sang pencuri, Kaito Kid.
Dari tidak terbiasa melihat pembunuhan, pengejaran polisi, dan nyawa terancam sampai terbiasa, mereka mengetahui secara keseluruhan tidak ada satu titik penyesalan. Jarangnya pertemuan tak menutup kenyataan saling bergantung satu sama lain dalam tiap pekerjaan. Kepercayaan tumbuh hingga memunculkan benih cinta yang tidak seharusnya ada di antara mereka. Dengan keyakinan, keduanya mengetahui, mereka tidak akan mati dengan mudah. Mereka terlalu muda untuk bertemu ajal.
Di bawah rembulan terang mereka saling melindungi.
Punggung dengan punggung bertemu, saling melempar pandang dari titik buta. Kepercayaan ditaruh, melepas seringai halus. Tubuh Chie memutar dengan gesit kala Kaito menaikan kain putih guna menghalangi pandangan lawan. Setelah sang gadis menunjukkan diri membuat lawan terkejut dan menyerang, sang lelaki memutar ke arah berlawanan dan menggunakan pistol kartu menembak untuk menjatuhkan pistol asli milik musuh. Kombinasi yang kuat adalah kombinasi dengan kemampuan kuat serta memiliki hati jalinan batin.
Suara tembakan setelah pelatuk ditekan terus terdengar seolah pelaku melakukan bidikan sembarangan. Tidak ada satu tembakan itu berhasil menjatuhkan Chie, bibir sang gadis melepas kekehan geli. Kala pistol lawan jatuh, dia mengayunkan kaki ke arah pinggang lawan, memberi dorongan hingga bertabrakan pada rekan musuh. Lantas, tubuh kembali bergerak gesit melakukan salto ke arah belakang dan kembali menyerang dengan tangan kosong. Rasa percaya diri mendominasi sehingga Chie sama sekali tidak merasakan bahwa dia akan kalah di sini.
Kuat memang kuat, tetapi jika harus melakukan pertarungan dengan jumlah yang terus bertambah pasti akan melelahkan. Sang gadis berdiri di atas pembatas balkon, menaruh pandang pada Kaito yang tengah melakukan pergerakan mulus untuk mempertahankan keseimbangan. Jika saja dia bisa mengabadikan, dia mungkin akan abadikan seberapa keren sang lelaki ketika bertarung. Tangan menggenggam sebuah pistol dan satu tangan bebas mengepal kemudian mengeluarkan bola berwarna merah maroon.
"Yare yare ... sepertinya aku ingin menyapa bos kalian," ucap Chie dengan tawa tertahan pada leher. Usai berucap, mata menangkap lawan hendak menekan pelatuk kembali, di saat yang bersamaan dia membuang bola ke permukaan lantai untuk menghasilkan asap menghalangi pandang musuh. Tubuh sang gadis dijatuhkan ke belakang, tangan diarahkan ke atas dan menekan pelatuk, menargetkan sosok yang dikenal musuh utama di atas sana.
Dor!
Nyaring di atas udara, kabut asap buatan sungguh membantu sang pelaku menghilang dari pandangan. Berkat peluru meluncur kencang dan tepat sasaran, cairan zat besi berwarna merah gelap berhasil meluas mengotori pakaian yang melekat pada tubuh. Sakit menjalar, menghantarkan perintah pada otak hingga meloloskan ringisan dari bibir. Rembulan terang, menjadi saksi buta kehandalan sang empu dalam gelap.
Gaya gravitasi melakukan tarikan, tubuh sang hawa di atas udara merasakan penarikan pada punggung. Tidak mengubah ekspresi netral yang memunculkan kebanggaan terhadap tepat sasaran dari pistol. Hati seolah sudah siap menerima benturan punggung dengan aspal. Mahkota hitam yang berantakan akibat pertarungan sederhana serta angin menerpa itu kentara membuat sang gadis merasa seperti sedang mengambil film action.
"KAU BODOH?!"
Seruan memasuki gendang telinga Chie, membuat sang gadis meringis sakit sejenak. Bibir melempar senyuman perlahan membentuk cengiran halus. Jelas, ekspresi itu tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. Tubuh yang diangkut oleh Kaito di atas udara, terbang di udara dengan bantuan kain milik sang adam. "Karena aku percaya kau akan menolongku, pintar 'kan aku?" ucapnya, tersenyum bangga. Jari telunjuk digunakan untuk menusuk pipi Kaito, meminta sang lelaki untuk tidak marah karena tindakan bunuh diri secara tidak langsung.
"Asal kau tahu, aku bukan spy sepertimu. Aku hanyalah seorang pesu--"
Belum selesai Kaito menyelesaikan ucapannya, Chie memotong, "Malam ini indah ya. Ternyata, perpaduan cakrawala gelap dengan bintang menghiasi, justru memancarkan ketampananmu."
Bulan indah bergantung, suara jangkrik mengisi polusi udara, keduanya larut dalam lautan cinta dengan angin berembus menyapu helaian mahkota indah. Saksi buta di tengah bumi sukses menjadi pendamping suasana berbagi cinta.
---
It's funny the moments in life that make us want to be better.
---
Saling membantu, saling percaya, saling menyerahkan.
"Firasatku buruk untuk hari ini."
Hari kasih sayang adalah hari kesialan seorang Kuroba Kaito ataupun Kaito Kid. Benci sudah menjadi kata sederhana definisi terbaik untuk sang adam. Siapa pula yang akan menyukai hari demikian setelah mengalami beberapa kali pengalaman tidak mengenakan?
Di bawah rembulan dan di atas tebing menara eiffel, dua insan berbeda gender duduk dan memandang kelap-kelip indahnya kota yang terkenal romantis itu, Paris. Distrik dengan bantuan lampu jalan berhasil menghiasi teritorial negara ini dari ketinggian. Embusan angin lembut menyapu mahkota, mengikuti pergerakan arus angin. Suara jangkrik di tengah malam bagai alunan musik sederhana pendamping suasana.
Puding, manisan yang tengah di genggaman masing-masing itu menjadi saksi buta kencan tak terduga di hari kasih sayang. Semua ini berkat kasus pembunuhan yang terjadi, mau tidak mau keduanya berhenti menjalankan rencana terlebih dahulu, memutuskan untuk membiarkan Kudou Shinichi atau Edogawa Conan memecah kasus terlebih dahulu.
"Tenanglah, hari kasih sayang tidak akan membuatmu patah semangat, kan? Pudingnya, enak?" tanya Chie sembari menyuapi diri sendiri suapan terakhir manisan kenyal berwarna kuning itu. Netra biru mempertemukan pandang milik Kaito, perlahan beralih ke mulut menggemaskan itu. Otak membayangkan momentum dua pasang bibir saling membentur dengan lembut membuat semburat merah menghiasi pipi.
Sang adam menarik napas sejenak membuang secara perlahan dan melirik ke arah Chie, melempar senyuman miring khasnya. Peka, lelaki itu kentara selalu peka terhadap setiap gerak-gerik sang pujaan hati. Itu semua berkat analisis serta kepintaran di atas rata-rata, apalagi, seorang pesulap walaupun pintar menggunakan poker face, mereka juga bisa membaca mimik wajah dengan mudah. "Enak. Kenapa? Kau kurang? Mau dari bibirku saja?" tanya Kaito sembari menaikan alis beberapa kali seolah menggoda sang hawa. Kekehan tertahan pada leher terdengar, membuat Chie luluh dalam kesunyian malam.
Hening. Chie menaruh pandang pada cakrawala gelap, perlahan mata menutup sejenak. Napas dia hirup dalam kemudian dia buang secara perlahan, bibir mengembang senyuman tipis. Mata kembali terbuka menunjukkan sorot sayu, sudah ke sekian kalinya dia menunjukkan ekspresi berat seperti itu. Walau bibir terus berucap canda, itu tidak pernah menutup fakta ada yang dicemaskan oleh sang cantik. Kala terang dia seorang siswa sekaligus detektif gadis muda, kala gelap dia seorang pengintai untuk menggali informasi rahasia, hal itu sudah menjadi jalan hidup yang dia pilih. Akan tetapi, pilihan itu seperti mempertemukan peluang bertemu ajal di antara nol dan satu.
"Sudah ke sekian kalinya, kau seperti itu. Sudah seminggu, aku pikir aku bisa mengabaikan itu, tetapi tampaknya aku tidak bisa, apa yang terjadi?" tanya Kaito, rasa curiga itu dia lontarkan, meminta sang hawa untuk menjelaskan. Memang, sang lelaki sudah memperhatikan itu sejak lama, itu juga yang membuatnya merasakan takut di hari ini. Dia takut, bila hari kesialannya berdampak pada sang pujaan hati. Bibir mengulas senyuman tipis, otak mencoba mengusir rasa keganjalan dalam hati. Semakin lama dia di sana, semakin lama pula dia merasakan gelisah.
Angin berembus kencang menghasilkan suara semi berisik di indra pendengaran, Chie menaruh atensi kembali pada Kaito. Lelaki itu memakai pakaian sulap berwarna putih, setelan pakaian yang menunjukkan identitas Kaito Kid. Perlahan, dia mencondongkan tubuh ke depan, dia memejamkan mata. Dua pasang bibir bertemu, menyalurkan kasih sayang dengan rembulan penuh sebagai saksi mata. Tidak peduli, dia jelas tahu sang adam tengah terkejut sampai-sampai tidak membalas ciuman itu. Tangan bergerak ke belakang kepala Kaito, mendorong lembut guna memperdalam ciuman. Tidak ada lidah bergelut, tidak ada pula saliva yang bertukaran, tidak ada ciuman khas Perancis di Negara Perancis. Hanya ciuman sederhana yang mencoba menyalurkan seluruh kasih sayang dan cerita yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
"Chie--"
"Nanti kita akan bercerita, sekarang, berangkatlah untuk mencuri permatamu," pesan Chie, melempar cengiran halus. Sang gadis mengusap pipi sang adam lembut, bibir mengulas senyuman, seolah berucap segala sesuatu akan baik-baik saja. Di dalam diam, sang hawa jelas tidak jamin dengan kata 'nanti'. "Manis, pudingnya," puji sang hawa, terkekeh geli.
Lagi-lagi kesunyian mendominasi, Chie bangkit berdiri sembari meregangkan otot, pandangan tak lagi berbalik pada Kaito. Di saat yang bersamaan, Kaito memutuskan untuk menuruti pesan Chie sehingga bangkit berdiri untuk bersiap melakukan persiapan. Lantas, ketika ingin saling berucap salam perpisahan, beberapa sosok hitam menatap ke arah Chie dengan mengacungkan pistol di tangan.
Tegang. Kaito terkejut dengan aksi demikian. Saliva dia teguk, memandang ke arah sekitar, langkah kaki bergerak mundur selangkah. Dia menaruh pandangan pada punggung kecil Chie, di saat yang bersamaan dia dapat melihat beberapa orang kembali memunculkan diri.
"Sampai jumpa, Kid."
Kosong, otak Kaito mendadak tidak mampu memproses situasi dan kondisi. Tubuh mendapatkan gaya dorongan dan terhuyung ke belakang, tubuh merasakan gaya gravitasi bumi. Jantung memompa darah tak karuan, kegelisahan melahap habis energi positif. Keringat mengalir dari pelipis menunjukkan seberapa keterkejutan dirinya.
"Tenang saja, sesial apapun kau di hari kasih sayang, tahun ini juga tidak akan menjadi hari kematianmu."
Penuh keyakinan saat Chie berucap tiga hari lalu, seolah sudah menebak ke mana alur cerita berujung. Suara sang hawa terbayang kuat di gendang telinga Kaito. Hati menaruh kebencian, kekesalan, tidak teruntuk sang pujaan hati, melainkan pada sosok dirinya yang tidak menyadari lebih cepat. Sang hawa, memprediksi ini semua, satu minggu lama dia tidak membuka suara. Saat ini, dia yang di udara adalah maksud 'nanti' milik Subarashi Chie.
Hari kasih sayang adalah hari kesialan, itu yang membuatnya kesal. Berkali-kali dia menghadapi kecelakaan dengan keberuntungan kecil untuk mempertahankan nyawa kecil. Berkali-kali pula, dia mendambakan hari manis yang diinginkan oleh semua orang, bersama orang terkasih. Itu keinginannya di tahun ini, bersama Chie. Kaito yang didorong jatuh dari menara eiffel itu paham betul, dia tidak akan kehilangannya nyawanya bila dia bertindak langsung untuk merebut permata. Akan tetapi, jumlah lawan Chie itu memberi pesan baru, bila dia beraksi selaku Kaito Kid, dia tidak akan kehilangannya nyawa, dia hanya akan kehilangan sang terkasih di negara romantis.
Hidup tentram memang membosankan. Hidup dengan bumbu sederhana sudah tidak lagi nafsu. Itu alasan mengapa dia berbuat ulah untuk mencairkan suasana bosan. Jikalau Subarashi Chie tak lagi bersama dirinya, itu tidak berbeda dengan mengambil hidup dari seorang Kuroba Kaito alias Kaito Kid.
Bukan ini yang aku mau, Chie.
Angin berembus, menyapu permukaan kulit lembut. Kain putih di balik punggung mengibar layak bendera menghasilkan bunyi kala mengikuti arus angin. Kaki berpijak di permukaan dinding perlahan pindah di depan jendela kaca. Indra penglihatan sukses menangkap sosok gadis dengan mahkota hitam duduk di depan meja rias dengan dua piring puding di sana. Gaun tidur berwarna putih kentara membungkus hingga membentuk lekuk tubuh indah, jikalau tidak haram, Kaito akan menerjang sang pujaan hati.
Di malam hari, dia berpijak di kamar privasi seorang gadis. Untungnya dia manusia berakhlak, tidak memiliki pikiran yang berantakan.
Padahal langkah begitu besar tetapi tidak membuat sang hawa segera menoleh. Kaito tetap tidak memberhentikan langkah dan berjalan menuju ke sisi sang pujaan, Chie. Bertekuk salah satu lutut, tangan meraih tangan kecil milik Chie, layaknya pangeran bertemu tuan putri, kecupan lembut diberikan di punggung tangan.
Tak lama, sang hawa sadar akan kehadiran sosok pria itu. Bibir melepas kekehan geli, satu tangan bebas mengusap lembut pipi Kaito. "Kau datang, Kid," ucapnya lembut dan melempar cengiran halus.
"Iya, aku datang, bagaimana harimu?" balas tanya sang adam, bangkit berdiri dan tangan nakal meraih piring berisi puding. Sudah jelas memang piring itu miliknya. Tidak asing dan selalu merindukan ketika jemari bersentuhan pada permukaan keramik.
"Baik-baik saja. Oh—selamat hari kasih sayang!"
Suara sang hawa begitu penuh kasih sayang dan ceria. Ekspresi semangat itu terukir jelas, membuat Kaito tidak menahan diri untuk membungkuk. Jarak wajah menipis sedikit demi sedikit, baik keduanya mengetahui langkah selanjutnya. Kelopak mata perlahan memejam, di ruangan sunyi bibir berbentur menyampaikan perasaan cinta. Tidak peduli akan ada orang melihat atau direkam, ciuman itu sengaja diberikan karena rasa ingin dari kedua belah pihak. Bukan ciuman panas, hanya ciuman lembut yang lama untuk mengabadikan bibir lawan lebih lama di bibir mereka.
"Selamat hari kasih sayang, Chie."
Seperti video rekaman yang terus berulang ketika diputar. Sudah 100 hari lamanya mereka berulang. Proses masuk ke dalam ruangan, langkah kaki yang mendekat, dua puding di meja rias, ucapan kasih sayang yang sama, ciuman yang sama. Semua itu sudah seperti rutinitas yang berulang bagi Kaito, tetapi tidak untuk Chie.
Tidak adanya produksi memori baru, hanya hari itu terus berputar pada sosok hawa.
Amnesia Anterograde.
"Kau datang, Kid."
Kaito samar melepas senyuman masam sejenak, ucapan itu kembali dilontarkan oleh sang hawa. Bibir kembali membuka untuk menjawab, bibir juga akan kembali untuk bertemu saling menyalurkan kasih. Sebuah fakta di depan mata yang tidak ingin diakui oleh Kaito.
"Selamat hari kasih sayang, Chie."
Keinginanku tidak sepenuhnya terkabul, biarkan memorimu aku genggam seorang diri tidak apa, Chie.
Puding - Batam, 14 February 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top