lost.
"Silakan datang kembali, ya!"
Seruan demi seruan terdengar bersahut-sahutan, menyapa para pengunjung yang berlalu lalang melewati pintu masuk. Toko kue dan manisan memang tidak pernah sepi peminat, apalagi pada hari-hari khusus seperti sekarang. Setiap sudut toko dipenuhi kerumunan pengunjung. Rata-rata adalah para perempuan-baik remaja atau pertengahan kepala dua-sibuk menimbang-nimbang hadiah apa yang akan diberi pada orang terkasih di hari Valentine.
Tepat di depan pintu bertuliskan selamat datang kepada pengunjung, seorang gadis berdiri. Walaupun keceriaan berkeliling menyelimuti toko, raut wajahnya tidak menunjukan dia bergembira atas hal tersebut. Justru mata sewarna merah darah nampak sendu, memandang punggung seseorang yang beranjak dari toko miliknya. Punggung kuat yang telah menemaninya selama beberapa tahun, meskipun kini dirinya tampak rapuh bagai kaca.
"Riesha!" Tachibana Kanna tidak bisa menahan diri. Teriakan pun lolos dari bibir. Memanggil sang sahabat yang ingin dia peluk erat sejenak demi mengikis rasa sepi, kendati tahu betul tidak bisa memperbaiki apa yang sudah lewat.
Perempuan bermahkota biru kelabu menoleh. Suara Kanna menangkap atensi, membuat diri spontan menoleh ke belakang untuk bertukar pandang.
"Cerialah!"
Iris seagreen mengerjap kaget. Dia tahu, bahwa Kanna mengkhawatirkannya. Dia selalu tahu, kalau Kanna berusaha membuat dirinya kembali seperti dahulu. Namun memang tidak semua dapat kembali seperti semula. Jika menyangkut mengenai hati dan perasaan, waktu pun terkadang menyerah dalam proses pemulihan.
Riesha melepaskan senyum lebar kepada Kanna, melambaikan tangan kecil sebagai salam perpisahan sebelum kembali berjalan menjauhi toko kue dan manisan tersebut.
Hari kasih sayang, begitulah orang-orang menandai hari keempat belas di bulan Februari ini. Katanya akan banyak hal baik yang terjadi kalau kita menghabiskan waktu dengan orang tersayang, maka orang pun berlomba-lomba menyiapkan berbagai macam hal untuk dilakukan bersama kekasih mereka selama seharian. Memberi cokelat pun merupakan salah satu tradisi yang melekat erat sebagai penanda Valentine. Cokelat sebagai bentuk kasih sayang lalu diburu oleh kaum wanita secara brutal. Tidak jarang tiko-toko pun menambah stok persediaan barang manis tersebut agar orang tidak merasa kecewa saat menemukan kertas bertuliskan 'habis' di tempat dimana cokelat berada.
Untung saja Riesha tidak begitu. Cokelat memang manis, tetapi dia masih sayang nyawa-tidak ingin berdesakan dalam kompetisi perebutan cokelat-sehingga memilih mengambil barang pesanan jauh-jauh hari dan membayarnya di kasir tanpa perlu mengantri. Sebuah keajaiban baginya untuk keluar dengan selamat dari toko kue milik Kanna tanpa terluka. Kaum hawa memang mempesona, tetapi mereka juga bisa menjadi sangat mematikan di momen tertentu.
Bingkisan dari toko dipeluk erat dalam dekapan. Kala sang gadis menyadari hembusan napas berubah menjadi uap putih di udara, butiran salju menyapa kulit pucatnya. Riesha menengadah guna mendapati pasukan bola putih turun mengenai wajah.
Dingin.
Memang salju selalu sedingin ini, ya?
Riesha membenarkan syal yang melingkar ada leher, lalu berjalan menyusuri terotoar. Ketika jalanan dipenuhi pasangan insan berlawanan jenis, Riesha berjalan di bawah payung sendirian. Tidak ada canda tawa dan senyum yang ditujukan untuk dirinya. Semua orang berlarut dalam suka cita mereka masing-masing.
Jatuh cinta memang memabukkan. Perasaan itu akan membuat rongga dada sesak seakan dipenuhi ribuan kupu-kupu yang menari dengan girang, lantas tanpa sadar perasaanmu menghangat saat menemukannya di sana-menunggumu di ujung lorong-menyapa dengan senyum lembut dengan maksud tersirat tidak akan membiarkanmu sendirian.
Sama seperti dulu, ketika dirimu yang keras itu melayangkan senyum kepadaku.
Riesha tersenyum miris. Ingatan miliknya mereka ulang kejadian tiga tahun lalu. Pada waktu itu, salju yang turun tidak kalah dingin seperti sekarang. Satu yang membedakan, bahwa Riesha harus menerima kenyataan untuk kehilangan seseorang; melarang dirinya kembali dalam pelukan sang adam.
"Selama ini kau mengira aku tulus kepada Riesha?"
Rasanya masih seperti kemarin kalimat tersebut diucapkan. Satu kalimat singkat yang tak sengaja dia curi dengar terlontar dari bibir seorang Hijikata Toshiro ketika sedang mengobrol dengan anggota Shinsengumi lain.
Jujur saja, kalimat itu memukul telak Riesha yang tengah memendam rasa suka kepada sang Wakil Komandan. Dia tahu, sangat tahu kalau pekerjaan mereka ini memang tidak boleh diinterupsi oleh hubungan ataupun perasaan pribadi. Polisi memang begitu. Jika sedikit saja mereka lengah tatkala menjalankan misi, nyawa mereka menjadi taruhannya.
Riesha tahu, sejak memutuskan menetap di markas Shinsengumi ini, maka konsekuensi awal yang harus dipikul olehnya adalah untuk tidak jatuh hati kepada siapapun. Namun ketika dia terus-terusan berada di sisi seorang yang dijuluki Wakil Komandan Iblis, bagaimana sanggup sang gadis mengabaikan keberadaannya begitu saja? Lama-kelamaan tanpa disadari, ada ruang kecil bagi Toshiro di dalam hatinya.
Rongga itu kemudian semakin melebar, memukul mundur ruang lain dalam hati, sampai akhirnya nyaris menguasai sendirian. Meski Riesha jelas ketahui hal tersebut lebih dari siapapun, tetap tidak ada keberanian dalam diri untuk ungkapkan isi hati sehingga berujung memendam perasaan di bagian hati paling dalam, membiarkannya tenggelam dan terlupakan. Apalagi mengingat kepribadian Toshiro yang sangat keras dan disiplin dalam pekerjaan, bagaimana Riesha sanggup tega untuk memberatkan perasaan pribadi kepada sang pria?
Asal dapat berada di samping Toshiro, maka semua sudah cukup bagi Riesha.
Namun dinding yang selama ini menyokong untuk tetap tegar itu dalam sekejap runtuh bersamaan dengan kalimat pedas memasuki indera pendengaran. Nyaris saja tubuh Riesha jatuh lantaran kaki tidak lagi kuat menahan beban tubuh, tetapi gadis itu berpegang kuat pada payung putih, membantunya tetap berdiri di tempatnya.
Riesha menahan sesak di dada. Perkataan itu memang tidak tertuju pada diri, tetapi justru hal itulah yang melipatgandakan rasa sakitnya. Diliputi rasa amarah, Riesha dengan keras enggan mengikuti misi pada hari itu, memilih mendekam di dalam kamar pribadi.
Satu yang tidak dia ketahui, kalau tugas itu akan menjadi misi terakhir Toshiro.
Sang pria harus rela meregang nyawa ketika dalam keadaan lengah, satu tembakan berhasil lolos mengenai organ vitalnya. Pasukan bantuan datang terlambat. Mereka hanya menemukan tubuh rekan-rekan yang telah hilang nyawa saat menginjakkan kaki di tempat kejadian. Ketiadaan Sougo dan Riesha dalam misi tersebut berakibat fatal. Kewarasan mereka seperti disayat. Sudah kehilangan rekan, mereka kehilangan pula jejak para teroris incaran.
Dalam kondisi terpukul, Riesha berusaha mencari. Dia menyusur setiap sudut bangunan. Mengedarkan pandangan ke setiap ruang yang ada, demi mencari sang Pemimpin Komando Lapangan.
Lalu langkahnya berhenti pada suatu titik. Kedua netra hijau mendapatinya. Sebuah pemandangan yang menggerus hati. Tubuh tegap yang biasa menjulang di hadapan. Tangan yang biasa menggenggam pedang tanpa ragu. Tatapan penuh rasa percaya diri serta raut tegas yang tidak pernah luntur dari wajah kini sirna sepenuhnya. Penggung sang lelaki menyandar pada tembok bangunan dengan kedua mata tertutup rapat, sedangkan darah segar masih nampak mengalir dari luka-luka di badan.
Detik itu juga Riesha merasa dunia hancur.
Riesha ingat jelas bagaimana kedua tangannya saat itu bergetar hebat tiada henti, juga jantungnya yang seolah-olah berhenti berdetak, sebelum meningkat dan memompa dalam irama tak menentu. Keringat dingin pun mengalir menuruni pelipis, menemani tarikan napas yang tidak beraturan. Semua terjadi begitu cepat, meninggalkan Riesha dalam keadaan tak mampu mengontrol reaksi tubuh. Sekeras apapun usaha diri menepis kenyataan, tetap tidak akan merombak ulang takdir mereka.
Maka dengan hati penuh keraguan, dirinya tetap menghampiri Toshiro. Kedua kaki terasa begitu berat dalam melangkah mendekat. Dia seakan menolak mempercayai apa yang dilihat oleh mata kepalanya sendiri. Sebab tidak mungkin bukan, jika seseorang yang selama ini begitu kuat berdiri memimpin pasukan di medan perang, sekarang tidak lagi mampu mengangkat pedang dengan tangannya?
Meski tenggorokan tercekat dan susah sekali mengeluarkan kata-kata dari mulutnya yang kering, Riesha memaksakan diri mengucap rentetan kata, "Kenapa kau bisa sampai begini ..." Isakan perempuan itu tidak lagi terbendung. Tangan dengan hati-hati terulur menggapai pucuk hijau tua, menghadiahi elusan lembut kepada yang tercinta.
"Justru aku yang harusnya bertanya, apa yang kau lakukan di tempat berbahaya seperti ini?"
Balasan atas pertanyaan membuat Riesha terkesiap. Iris mereka bertabrakan. Untuk yang kesekian kalinya, Riesha akui kalau netra biru gelap tersebut masih menjadi favoritnya. Seakan bertanya mengenai hal yang memicu tangisannya keluar, Toshiro bersusah payah menggerakkan tangan guna menangkup sebelah pipi Riesha; picu sang wanita untuk lebih menumpahkan air bening dari sudut mata.
"Maaf, ya."
Satu kata singkat mengudara, tetapi beribu makna terkandung di dalamnya. Riesha menggeleng, dia meraih tangan Toshiro yang setia berada di pipi, mengisyaratkan bahwa tidak ada yang perlu dimaafkan dari tindakan sang lelaki.
"Bertahanlah, aku--tidak, kami semua pasti akan menyelamatkanmu. Kau pasti akan baik-baik saja, jadi tolong ... aku mohon dengan sangat, tetap lah hidup. Aku masih membutuhkanmu. Kami semua masih menginginkanmu sebagai Wakil Komandan kami, Toshi."
Toshiro mengulas senyum tipis. Pendengarannya samar, tidak terdengar jelas kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicara di hadapan, tetapi dia dapat pastikan kalau itu bukan kata-kata perpisahan untuk mereka.
"Maaf."
"Kubilang berhenti mengucapkan kata maaf 'kan!" Nada Riesha meninggi. Semua emosi yang ada padanya menyatu dan bercampur aduk. Dia marah kepada diri sendiri karena membiarkan keegoisan mengambil alih, sampai membiarkannya lalai untuk tidak mengikuti misi penting, kemudian kesal karena dia tidak dapat berbuat apapun untuk menolong mereka yang menjadi korban. Sementara itu, perasaannya tersayat ketika menemukan Toshiro dalam kondisi penuh luka.
"Memang hanya itu yang sanggup aku katakan." Toshiro menatap Riesha lurus, jarinya mencoba menghapus cairan bening yang terus mengalir menuruni pipinya. "Aku hanya bisa sampai sini saja, untuk selanjutnya, jaga dirimu baik-baik," tandas sang pria sebelum akhirnya menghembus napas terakhir.
"Tidak!" Riesha langsung menyangkal, "Aku tidak bisa, tidak akan ada yang baik-baik saja tanpamu!" Tangan kekar itu diraih untuk kembali diletakkan pada pipi, "Aku tidak bisa ... kumohon, jangan--jangan tinggalkan aku ...."
Namun terlambat, apapun yang mereka lakukan tidak mampu mengubah keadaan sang Wakil Komandan. Tidak ada lagi pergerakan, tubuh Toshiro telah kaku. Tatapan Riesha kosong. Mentalnya terlalu lemah untuk memproses semua kejadian. Jika saat itu Sougo tidak membentak keras-keras, mungkin dirinya juga akan kehilangan kesadaran dan tumbang.
Apa kau tahu, Toshiro? Kami semua benar-benar terpukul oleh kematianmu. Bahkan Sougo yang sehari-harinya tidak pernah menghargaimu, meneteskan air matanya di hari pemakaman. Sebuah keajaiban bukan?
Saat ingatannya bernostalgia kembali pada masa lalu, kedua tangannya turut bergetar. Ternyata meski tahun telah berlalu, Riesha belum sanggup melupakan Toshiro. Genggaman pada payung dieratkan sebagai tindakan menyalurkan emosi. Sedangkan langkah kakinya yang sedari tadi menyusuri petak-petak batu nisan, akhirnya terhenti di tujuan. Riesha berjongkok, mengapit payung putih di antara pundak dan leher, membiarkan kedua tangan membuka bungkus manisan.
"Maaf karena aku datang lagi, kau pasti sudah bosan menerima kunjunganku, ya?" tandas Riesha meratapi ukiran huruf Kanji pada batu nisan. Kendati tidak bisa membaca dengan baik, tetapi untuk yang satu ini Riesha hapal betul setiap ejaan katanya. Hijikata Toshiro, nama seseorang yang dalam tahun-tahun terakhir selalu dia rindukan eksistensinya.
Riesha meletakkan makanan manis yang dia pesan khusus dari toko kue Kanna, yaitu makaron dengan rasa mayones. Memang aneh, tetapi begitulah selera Komandan Iblis yang satu ini. Imagenya sudah sangat lekat dengan mayones, jadi tidak perlu heran lagi ketika makanan manis pun harus memiliki cita rasa yang sama.
Riesha memandang sejenak beberapa persembahan lain yang terletak di depan makam tersebut. Rokok, sebotol penuh mayones yang segelnya masih rapat, uang koin tiga ratus yen, serta barang-barang lainnya. Gadis itu tertawa mengingat dia tahu siapa yang mempersembahkan uang koin di sana. Siapa lagi kalau bukan si rambut uban itu.
"Memangnya kau anak kecil yang memercayai legenda Sungai Sanzu?" ejeknya mumpung sang empunya sedang tidak berada di tempat. Bilangnya saja tidak peduli, tapi nyatanya dirinya juga mengunjungi makam ini setiap tahun kan?
Lihat, semua orang masih peduli padamu bahkan ketika kau tidak lagi ada bersama kami.
Riesha mengulas senyum, dia mengatupkan tangan di depan dada, mempersiapkan diri untuk memanjatkan doa, dan mungkin juga bercerita secara singkat mengenai kejadian-kejadian di antara Shinsengumi dan Yorozuya yang tidak pernah akur.
"Ini Valentine ketiga tanpamu. Bagaimana kabarmu di sana, Toshi?"
Air bening lagi-lagi meneter dari sudut mata, menandakan diri belum mampu melepas kepergian sang lelaki walau tiga tahun telah berlalu.
Seandainya diriku yang bodoh waktu itu tidak bertindak egois, kau pasti masih berada di sini bersama kami. Tidak apa jika kau ingin terus berpura-pura bersikap baik kepadaku, aku tidak akan mempermasalahkannya. Asal aku bisa terus berada di sisimu, maka tidak apa-apa.
Kalau saja aku dapat memutarbalikkan waktu, maukah dirimu kembali mendampingiku yang bodoh ini dan bersedia memarahiku jika aku melakukan kesalahan?
Nyatanya kehilangan sosokmu memang terlalu berat. Aku yang lemah ini tidak akan kuat jika terlalu lama tak bertemu denganmu.
Aku merindukanmu, Toshi, amat sangat ... tidak bisakah kau kembali padaku barang sebentar saja?
━━━━━
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top