Bab 18. Mencairnya Hati

Hening di antara keduanya lenyap kala Septi berkata, "Sekarang aku mengerti kenapa ibu selalu larang aku campuri urusan kamu sama Dhanan. Ibu selalu bilang kalau aku enggak tahu apa-apa dan Dhanan juga selalu bilang kalau aku enggak mengerti kamu."

Anggun yang sedari tadi menatap keluar jendela mobil akhirnya menoleh. "Aku minta maaf karena sudah merepotkan Mbak," sesal Anggun.

Garis tipis tercipta di kedua bibir Septi. Wanita itu cepat menggeleng. "Enggak. Enggak ada yang kamu repotkan. Aku malah akan sangat menyesal kalau enggak bantu kamu."

Anggun tertunduk malu. Tampak jemarinya memilin ujung tas. "Seharusnya Dhanan dapat wanita yang lebih baik dari aku. Wanita yang punya lantas belakang keluarga yang baik."

"Menurut kamu begitu? Kamu tahu enggak, Nggun, apa yang bikin aku kesel sama kamu? Aku itu tahu betapa Dhanan berjuang buat kamu. Buat hubungan kalian."

"Ya, aku tahu, Mbak."

"Kalau kamu tahu kenapa kamu juga enggak berjuang memantaskan diri kamu buat Dhanan?"

Anggun tidak berani menjawab, ia malah mengalihkan pandanganya ke tempat lain. Melihat itu, Septi menarik napas dalam-dalam. Matanya melirik mainan kucing berbentuk ikan di atas dashboard mobil.

"Dhanan tahu kamu paling suka ikan. Sangat suka, bahkan ibu sering masak ikan buat kamu. Kamu tahu enggak, kalau Dhanan enggak bisa makan ikan?"

Anggun kembali memutar kepalanya menatap Septi. "Dhanan enggak suka ikan?"

"Enggak bisa."

"Alergi?"

Septi menggeleng. "Tepatnya trauma, takut. Dhanan pasti enggak pernah cerita sama kamu, Dhanan pasti mikir takut kamu jadi enggak nyaman kalau makan ikan."

"Kenapa, Mbak?"

"Dhanan pernah tersedak duri ikan. Sepele memang. Awalnya ibu juga enggak anggap terlalu serius keluhan Dhanan, tapi masalahnya jadi serius. Dhanan demam, kerongkongan Dhanan luka karena tulang ikan, sampai infeksi dan harus dioperasi. Dari situ Dhanan takut makan ikan."

"Aku … aku enggak tahu."

Septi tersenyum, tangannya memutar kemudi hingga mobil berbelok ke arah kanan kemudian masuk ke area parkir sebuah rumah sakit.

"Dia enggak cerita karena takut kamu enggak nyaman sewaktu kamu makan di depan dia. Ayo, kita sudah sampai."

Anggun hanya sanggup mengangguk lalu ikut turun mengikuti langkah Septi. Sesekali Septi menoleh ke belakang, menimbang apa sebaiknya ia kembali ke mobil?

Niatnya hanya ingin mengantar Anggun sirna ketika dalam kepala Septi bermunculan gambaran kemungkinan yang akan terjadi. Meski Septi tahu Anggun adalah wanita tegar, tetapi rasanya anak mana yang tidak hancur kala tahu kalau ayah kebanggaannya bukan ayah kandung.

Terlebih, Septi juga malas nantinya diteror berbagai pertanyaan dari Dhanan dan ia tidak bisa menjawab karena tidak tahu keadaannya bagaimana.

Aroma antiseptik menyeruak ketika keduanya memasuki lobi rumah sakit. Anggun sempat berhenti sesaat ketika melihat uaknya di depan pintu ruang ICU.

Seharusnya Anggun menuruti kata hati dengan tidak menyalami Wijiarti. Wanita itu tidak segan-segan menepis tangan Anggun.

"Mau apa kamu ke sini, hah? Senang, ya? Berharap ibu kamu itu pergi nyusul Ali? Iya, kan?" tuduh Wijiarti.

Kesabaran Anggun sampai di ujung batas. "Jadi, selama ini Uak bersikap  begini karena Anggun bukan anak kandung ayah? Jadi, menurut Uak, Anggun hanya beban untuk ayah?"

Wijiarti tidak sempat menyembunyikan keterkejutannya. Namun, dalam sekejap pandangannya tertuju pada pintu ICU. Wijiarti tidak menyangka kalau akhirnya Ningrum punya keberanian untuk membongkar rahasia ini.

"Kenapa Uak diam? Anggun benar, kan? Selama ini Anggun sudah salah menilai keluarga Anggun sendiri! Selama ini Anggun berpikir mereka membuang Anggun, tapi nyatanya mereka hanya coba lindungi Anggun dari Uak dan nenek yang enggak punya hati!" tambah Anggun.

Nyaris saja telapak tangan Wijiarti menyambar pipi Anggun. Beruntung Rio sigap menahan pergelangan tangan Wijiarti.

"Seharusnya Rio enggak panggil Uak ke sini. Terima kasih, Uak sudah mau menemani, tapi karena Mbak Anggun sudah sampai, Uak bisa beristirahat di rumah," tutur Rio menatap Wijiarti.

Wijiarti menarik tangannya. "Suatu saat kamu akan berterima kasih sama Uak! Uak begini karena sayang sama kamu Rio!" sentaknya kemudian pergi.

"Mama sudah bisa masuk ruang perawatan, Mbak," terang Rio tanpa diminta penjelasan. Anggun diam, kegelisahannya jelas sampai dalam hati Rio. Adiknya itu melirik Septi, ia tahu kalau wanita yang ditatapnya adalah kakak Dhanan. "Mbak Septi, terima kasih sudah mengantar Mbak Anggun."

Septi mengerjap, tangannya sontak membenahi hijabnya yang tidak bergeser. Septi memberikan senyum kikuk lantas mengangguk. Sejenak ia mengalihkan pandangannya ke arah Anggun lantas kembali menatap Rio.

"Rio, Mbak ke kantin sebentar, ya? Tadi Anggun belum sempat makan, kamu juga pasti belum makan, kan? Kalian bicara saja dulu, Mbak pergi dulu. Anggun, sebentar, ya," ujar Septi kemudian pergi tanpa memberikan kesempatan pada Anggun menyelaknya.

"Duduk, Mbak. Kita bicara sebentar," tutur Rio terlebih dahulu duduk di deretan dingin kursi ruang tunggu ICU.

Tidak banyak pikir, Anggun duduk di sebelah Rio. "Maaf." Spontan Rio menoleh. Meski pelan, ucapan Anggun terdengar sangat jelas. "mudah-mudahan aku masih dikasih kesempatan minta maaf sama mama."

Bibir Rio gemetar. Sigap ia seka air matanya. Berkali ia berdeham, berharap bisa membalas ucapan Anggun tanpa suaranya terdengar gemetar. "Mbak—"

"Mbak sudah dengar semuanya. Mbak rasa ibu Mas Dhanan enggak mungkin bohong."

"Mama yang pasti akan minta maaf sama Mbak," ucap Rio melanjutkan kalimatnya.

Anggun menatap Rio. "Kamu tahu semuanya?"

Rio tidak berani balas menatap Anggun, tetapi pelan ia mengangguk. "Sejak ayah sakit, sepertinya ayah tahu kalau waktu ayah enggak banyak lagi. Beberapa hari sebelum ayah kolaps, ayah sempat menceritakan semuanya dan minta Rio untuk diam menunggu mama cerita sama Mbak."

"Termasuk soal warisan? Apa … ini alasannya, waktu itu kamu bilang mbak enggak tahu apa-apa?"

Bulir air mata jatuh dari tatapan sayu Rio mengenai buku-buku jemari tangannya memutih karena diremas. "Iya, Mbak," jawab Rio lemas.

Anggun menarik napas dalam-dalam. "Apa yang kamu pikirkan tentang mbak? Mbak merasa jadi orang yang paling bodoh. Seharusnya kalian cerita saja. Kenapa harus disembunyikan? Mbak juga tahu diri, Mbak bisa menerima kalau sebagai … anak tiri, Mbak harus … tahu diri," ucap Anggun beberapa kali memberi jeda pada kalimatnya.

Untuk pertama kalinya Rio menatap tajam Anggun. Tegas ia menggeleng. "Enggak, Mbak! Justru aku, aku yang selama ini merasa asing di antara kalian! Aku yang terasing di dalam rumah, Mbak!"

Keduanya kompak menoleh ketika pintu ICU terbuka dan beberapa perawat tampak mendorong brankar keluar. Sontak Rio mendekati perawat. Senyumnya merekah melihat sang ibu balas tersenyum.

Awalnya Anggun ragu, tetapi entah kekuatan apa yang berhasil membuatnya bangkit hingga berjalan mendekati ibunya. Tidak ada kata yang mampu dilontarkan Anggun. Mulutnya terkatup rapat. Matanya terpaku pada Ningrum.

Sama terkejutnya dengan Anggun. Ningrum tidak bisa dengan cepat mengeluarkan kalimat yang ingin disampaikan. Terlebih dahulu ia menatap Rio untuk memastikan yang dilihatnya adalah nyata.

Setelah melihat Rio mengangguk, Ningrum meraih tangan Anggun, air matanya seolah otomatis menetes dengan sendirinya. Meski sulit, Ningrum akhirnya bisa berkata, "Dia ayahmu, Ali adalah ayahmu, kamu adalah putri yang sangat dicintai Ali. Sangat."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top