Bab 10. Di Waktu Yang Tidak Tepat
Septi mengusap dahi putrinya yang sudah terlelap lantas memeriksa ponsel. Satu pesan dari suaminya membuat Septi tersenyum.
Aku enggak bisa tidur, kangen.
Jemari Septi membalas lincah pesan dari sang suami. Berlagak tegas seperti biasa, tetapi dalam hati ia senang digombali seperti itu.
Halah, Mas, aku nginap cuma sehari, kok. Besok Dhanan sudah pulang.
Septi kembali meletakkan ponsel di dekat bantal, matanya menatap celah pintu yang terbuka, sinar lampu dari ruang tengah membuatnya curiga kalau ibunya masih belum tidur.
Pelan-pelan Septi turun dari ranjang lalu keluar kamar. Ibunya tidak ada di ruang tengah, ia semakin penasaran lantas pergi ke ruang tamu.
"Loh, kok Ibu belum tidur?"
Sri menutup kembali gorden yang disingkapnya kemudian menghampiri Septi. “Kamu sendiri belum tidur, Nduk.”
“Ini baru mau tidur. Aku lihat lampu tengah masih terang. Ibu kenapa?” Mendengar ibunya mendesah panjang lalu kembali menatap ke arah gorden, Septi kembali bertanya, “Ibu mikirin Dhanan, ya?”
Sri kembali menatap Septi. "Hujan deras sekali. Mudah-mudahan Dhanan nurut sama Ibu. Ibu kuwatir."
Septi berdecak kesal, lantas bersandar ke sofa. "Sudah, to, Bu. Ibu yang bilang kalau Dhanan wes gedhe."
Sri meremas tangannya sendiri. "Dhanan itu beda karo kamu. Kalau kamu yang pergi, Ibu ora kuwatir."
Dahi Septi mengerut, bahkan ujung alis-alisnya bertemu. "Ibu iku kepriye, sih? Aku iku wadon, Dhanan lanang. Heran.”
Dengan lembut Sri mengusap punggung Septi. “Nduk, dari kecil kamu itu bisa berdiri sendiri, Nduk.”
“Oalah, Bu, kata siapa? Ibu dan bapak saja yang memanjakan Dhanan. Sebel aku.”
Sri tertawa pelan. “Enggak begitu.”
“Enggak begitu bagaimana, sih, Bu. Ibu saja enggak mau tinggal sama aku.”
Mendebat Septi tidak akan pernah menemukan titik akhir. Sri memilih untuk mengalihkan pembicaraan. “Nanti, kalau Ibu enggak ada, Ibu titip Dhanan, Nduk.”
“Ibu sembarangan! Sudah, ah, ayo tidur, Bu.”
Septi hendak berdiri, tetapi Sri malah menggenggam lebih erat tangan Septi. “Nduk, tunggu sebentar.”
“Apa, Bu?”
“Kamu sudah bicara sama Dhanan?”
“Soal apa, Bu? Anggun?”
“Iya.”
“Loh, piye to, Bu. Ibu yang bilang, Septi enggak usah ikut campur. Septi enggak ikutan lagi, Bu.”
Sri menepuk lengan Sri cukup kencang. “Iya, Ibu itu cuma takut saja.”
Kali ini Septi yang malah penasaran. “Takut kenapa, Bu? Memang Ibu enggak suka sama Anggun?” tanya Septi sembari mengusap lengan yang ditepuk Sri.
“Enggak, enggak begitu. Ibu sayang sama Anggun.”
“Terus? Kenapa tiba-tiba Ibu bimbang sama hubungan mereka?”
Sri diam sejenak. Rasanya sulit mengutarakan perasaannya. Dhanan dan Anggun adalah salah satu contoh dua kepribadian yang bertolak belakang. Sri meragukan putranya, Sri takut Dhanan tidak bisa mengendalikan perahu rumah tangga dengan baik.
“Bu, piye to? Kok melamun?
Sri menarik napas dalam-dalam. “Kamu tahu sendiri bagaimana Dhanan. Dia itu—“
“Enggak ada pendiriannya? Kita sudah sering bicara soal ini, Bu. Bosen aku, tapi Anggun itu mandiri, Bu. Kalau Dhanan menye-menye, aku yakin Anggun bisa pegang kendali, Bu,” potong Septi yang sudah tahu kemana arah pembicaraan ini berujung.
Sri tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasannya di hadapan Septi. Ia meraih tangan Septi, meremasnya cukup kuat. “Enggak bisa begitu terus, Nduk. Berumah tangga itu, enggak setahun dua tahun. Ibu takut nantinya Dhanan malah enggak bisa diandalkan saat Anggun butuh sandaran. Manusia itu enggak bisa selamanya tegar, Ibu tahu bagaimana Anggun, dia juga pasti butuh sosok yang bisa kuat.”
“Yo wes, to, Bu. Kalau mereka sampai menikah, mereka pasti bisa saling belajar. Dhanan itu tahu kewajibannya, Septi yakin, enggak akan gimana-gimana.”
“Mudah-mudahan begitu. Ibu itu ingin sekali bicara sama Anggun.”
“Ke rumahnya saja nanti, Bu. Septi temani. Bu, sekarang yang jadi pokok utamanya itu Dhanan. Dia sungguh-sungguh ingin menikahi Anggun atau enggak. Septi enggak yakin kalau Dhanan sudah melamar Anggun dengan serius.”
“Dhanan bilang sama ibu kalau dia ingin menikah tahun ini.”
“Anggun juga belum terima lamaran Dhanan, Bu. Sudah, besok kita bicara lagi. Septi ngantuk.”
“Iya, Nduk. Ibu tidur dulu, ya.”
“Iya, Bu.”
Setelah Sri masuk ke kamar, Septi berjalan menuju jendela. Ia menyingkap sedikit gorden. Deras hujan menyambut pandangannya.
“Jadi cowok kok seperti daun, Nan? Ditiup angin ke kiri, ikut ke kiri. Ditiup ke kanan, ikut ke kanan. Enggak cape apa, Nan? Kamu itu harus bisa sedikit berubah, Nan,” gumam Septi.
Sementara itu, di tempat lain, sudah lebih dari tiga puluh menit Anggun dan Dhanan duduk di kursi di serambi rumah, menunggu hujan yang tidak juga reda. Sesekali Dhanan menoleh ke arah Rio yang berdiri di ambang pintu.
Rio tidak bicara, tetapi Dhanan tahu kalau Rio berharap Dhanan bisa membujuk Anggun agar tidak pergi dari rumah.
“Aku enggak bawa dua mantel hujan, Nggun. Bagaimana kalau pagi-pagi sekali aku jemput kamu?” bujuk Dhanan.
“Kalau kamu memang enggak kuat untuk ajak aku ke penginapan, kamu bilang, Mas. Aku bisa pesan taksi online buat antar aku ke Bogor” sahut Anggun.
Dhanan kembali melirik ke arah Rio. “Kalau begitu, kita tunggu di dalam saja, Nggun.”
“Kalau kamu mau ke dalam, ya ke dalam saja, Mas.”
Lagi-lagi Dhanan hanya bisa melirik Rio. Ia mengenal Anggun dengan sangat baik, bila terus dipaksa, Anggun pasti malah nekat pulang sendirian ke Bogor.
“Anggun, apa sekali ini saja, kamu bisa dengar aku, Nggun. Ya, kita hanya menunggu hujan reda. Ini sudah larut malam, Nggun.”
Anggun diam sejenak, matanya menatap derai hujan yang memang tidak kunjung reda. Anggun menoleh ke arah Dhanan. Anggun baru menyadari kalau sang kekasih bahkan masih mengenakan seragam kerja di balik jaketnya. Dhanan pasti sangat lelah.
“Kita tunggu hujan reda di dalam,” ucap Anggun yang kemudian masuk, disusul Dhanan juga Rio.
Sekilas Anggun melirik ibunya yang segera terjaga ketika Anggun masuk. Anggun enggan duduk di sana. Anggun berjalan terus sampai ke ruang tengah yang dibatasi oleh sekat dari ornamen anyaman rotan.
“Duduk, Nak. Biar Tante buatkan teh hangat lagi.”
“Terima kasih, enggak apa-apa.”
“Ayo, duduk, Nak.” Dhanan mengangguk lantas duduk di bangku yang berseberangan dengan Ningrum. “terima kasih sudah mau datang ke sini.”
“Dhanan justru minta maaf karena datang terlambat.”
“Enggak apa-apa. Bagaimana kabar ibu dan Septi?”
“Alhamdullilah baik.” Dhanan menoleh ke arah sekat yang memisahkan ruang tengah dan ruang tamu. Ia tahu Anggun ada di sana. “Tante, Dhanan meminta izin untuk menikahi Anggun. Insyaallah, Dhanan berharap tahun ini bisa terlaksana.”
Hawa dingin merambat naik ke pucuk kepala Dhanan ketika ia mendengar suara kursi berderit kencang. Ia tidak berani menoleh ke arah belakang. Anggun yang pasti ada di sana amat sangat terkejut mendengar ucapan Dhanan.
Tampaknya Ningrum pun merasakan apa yang meliputi hati Dhanan. Ningrum terkejut, tetapi apa yang ia lihat dari wajah Anggun membuatnya cemas. Ia bisa melihat amarah dalam wajah Anggun.
Dhanan coba untuk tersenyum lantas mendekati Anggun. Ia tahu kalau situasinya tidak tepat, tetapi Dhanan sungguh-sungguh ingin Anggun tahu kalau Anggun tidak sendirian. “Aku ingin kita menikah, Anggun, kamu mau menikah denganku?”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top