Bab 02. Mood Tidak Mendukung.
Anggun membaca dengan teliti setiap sticky notes di dekat layar monitornya. Ada rapat antar divisi jam dua nanti, semuanya harus siap sebelum makan siang.
Hari ini akan melelahkan dan tambahan pekerjaan dari tiap-tiap pesan yang tertempel itu bisa membuatnya terlambat pulang. Anggun harus fokus.
Matriks data pembayaran ke penyuplai dalam tiga bulan terakhir.
Scan laporan keuangan lalu kirim email ke pembelian.
Personalia minta rekapitulasi data lembur dan absensi.
Mata Anggun berhenti pada sebuah potret yang terbingkai di sebelah monitor komputer. Satu potret penuh senyum dirinya dengan Dhanan.
Ah, ya, Dhanan.
Sejak kemarin malam, Anggun memang tidak tahu bagaimana kabar Dhanan. Setali uang dengan Anggun, Dhanan sendiri tidak menghubungi Anggun.
Fokus, Anggun, batin Anggun.
“Mbak, gimana acara makan malamnya? Benar, ‘kan? Coba lihat cincinnya, Mbak?”
Anggun menoleh, lamunannya pecah, tetapi ia berusaha mencerna pertanyaan Tyas. Anggun menaruh tas jinjingnya di laci kemudian duduk setelah sebentar saja menatap Tyas.
“Enggak ada cincin, Tyas. Eh, Bu Wati sudah datang?” tanya Anggun lantas menarik satu sticky notes di ujung layar monitornya.
Tyas menarik kursi tepat di sebelah kubikel Anggun. “Sudah, Mbak, tapi langsung ke ruang rapat.”
Anggun mengamati gores tulisan di sticky notes yang dipegangnya. “Ini tulisan Ibu Wati sendiri. Dia enggak sempat bilang langsung sama aku. Aku enggak enak jadinya, tadi macet parah. Rapatnya masih jam dua nanti. Ada apa?"
"Sepertinya ada perubahan jadwal, Mbak." Tyas mendekat. Ia menoleh ke kiri dan kanan ketika sadar kalau roda-roda kursinya berderit. “Tadi Mbak Ina kena marah sama ibu.”
“Kenapa?”
Tyas menggeleng. “Enggak tahu, Mbak. Sepertinya soal laporan pengeluaran bulan ini, tapi lama sekali dikasihnya. Aku juga enggak tahu pasti, tapi kayaknya begitu."
Ekor mata Anggun menatap ke arah kanan. Dua kubikel dari tempatnya duduk memang ada satu karyawati yang tampak sibuk di mesin fotocopy. Wanita itu pasti sangat kesal kalau ia meminta dokumen-dokumen yang diperlukan, tetapi perintah tetaplah perintah.
“Kamu kembali kerja. Aku mau lanjut urus permintaan ibu.”
"Tapi, Mbak—"
Anggun tersenyum kemudian menepuk pundak Tyas. "Bu Wati pasti butuh data ini. Sebaiknya kita mulai bekerja."
Tyas menggigit bibir ketika Anggun berjalan menuju mesin fotocopy. Bukan rahasia lagi kalau Anggun Widianata dan Ina Sastia adalah dua orang petarung yang kejam walau berada departemen yang sama.
“Mbak, maaf, Mbak lagi scan dokumen yang diminta ibu?” tanya Anggun. Dengusan Ina pelan, memang ditelan oleh suara dengungan mesin fotocopy, tetapi Anggun mendengarnya dengan sangat baik. “Mbak?”
Kali ini Ina tidak bisa pura-pura tidak mendengar. Anggun menyenggol sedikit siku Ina. “Kenapa?” tanya Ina yang menoleh sedikit melalui bahunya.
Anggun malas berdebat panjang lebar. Ia menempel pesan yang ditulis atasannya biru tepat di tray penutup mesin. “Ibu Parwati minta aku yang scan dan kirim datanya ke pembelian.”
“Aku sudah hampir selesai.”
Anggun melirik ke arah tiap lembaran kertas yang berserakan di meja sebelah mesin fotocopy. “Bu Wati sepertinya mau tahu apa saja yang belum terbayarkan.”
Ina membalik badan, menaruh odner di meja hingga membuat dirinya dan Anggun menjadi bahan tontonan. “Oh, gitu? Ya sudah, kamu saja yang kerjakan!”
“Tunggu, Mbak.” Ina diam sejenak lalu menatap Anggun. “Mbak boleh enggak suka sama aku. Secara personal Mbak juga boleh menganggap aku musuh atau terserah apa pun itu, tapi aku harap dalam hal pekerjaan, kita tetap rekan. Professional.”
Ina mengepalkan tangan kemudian bergegas kembali ke kubikelnya, meninggalkan Anggun yang mulai sibuk dengan lembaran berkas.
Dari tempat duduknya, Ina bisa melihat Anggun yang memang lebih muda darinya, jauh lebih cekatan. Semenjak Anggun datang, di mata Ibu Parwati penilaian kerjanya selalu salah. Ina tidak bisa dan tidak akan membiarkan Anggun merebut posisinya sebagai tangan kanan Ibu Parwati.
Ina harus melakukan sesuatu.
Sementara itu Dhanan tampak menyortir lembar dokumen di mejanya. Sesekali ia melihat ke arah ponsel. Hatinya berharap Anggun akan menghubungi atau menimbang apa ia harus menelpon terlebih dahulu.
"Kloter kedua, Bro. Gila, gue enggak ngerti sama orang-orang. Sudah akhir bulan begini, tapi masih banyak saja yang belanja online."
Dhanan tersenyum tipis lantas mengambil baki yang disodorkan teman kerjanya—Anwar. "Terima kasih."
Anwar yang tahu 'sohib' akrabnya itu ada masalah, urung pergi. "Lo kenapa? Lemes begitu. Kaya anak ayam kehujanan."
Dhanan melebarkan senyumnya. "Enggak ada apa-apa."
"Ada masalah sama Anggun, ya?" Dhanan terkesiap dan sikapnya itu membuat Anwar tersenyum. "sekali-kali kayaknya lo harus bertahan ngambek, Bro. Sudah, ya, gue duluan."
Dhanan mengangguk pelan. Bagaimana ia bisa menuruti usulan Anwar? Memang kemarin malam Anggun keterlaluan. Anggun sungguh-sungguh pergi meninggalkannya sendiri, tetapi kalau harus balas mendiamkan Anggun, malah Dhanan akan didiamkan balik.
"Kenapa kamu selalu begini, Nggun?" gumam Dhanan lantas meraih ponselnya.
Hari ini terasa begitu lambat. Berulang kali Dhanan memeriksa arloji di pergelangan tangannya.
"Mas, tunggu di dalam, saja, Mas."
Dhanan menoleh. Ia hanya sanggup tersenyum sembari menganggukan sedikit kepalanya. Ini sudah lewat lebih dari tiga jam, tetapi Anggun belum juga keluar dari kantornya.
Senyuman Dhanan kembali muncul, refleks ia berdiri sembari melambaikan tangan berteriak, "Anggun!"
Sontak Anggun merapikan helai rambutnya. Seperti biasa, senyum Dhanan selalu saja berhasil membuat Anggun melupakan sejenak peristiwa kemarin malam.
"Cie, Mas Dhanan sweet banget jemput Mbak segala. Aku duluan, ya, Mbak," ucap Tyas yang kemudian meninggalkan Anggun.
"Lembur?" tanya Dhanan ketika Anggun sudah berada di hadapannya.
Anggun mengangguk pelan. "Iya. Kamu enggak kasih aku kabar kalau mau jemput."
"Kalau aku bilang, kamu pasti enggak mau. Yuk, pulang, kita makan dulu sebentar." Anggun diam, "ayo, kita enggak lama, kok."
***
Dhanan mengusap rambut hitamnya. Ia berniat sekali lagi melamar Anggun sekaligus membayar acara makan malam kemarin gagal total.
“Aku ingin kita menua bersama, Anggun,” ucap Dhanan sekali lagi di hadapan cermin.
Pikirnya sudah sempurna. Tidak terdengar memaksa atau minta dikasihani.
Dhanan keluar dari kamar mandi, berjalan setengah tergesa menghampiri Anggun. “Maaf, lama.”
Anggun tersenyum kecil. “Enggak apa-apa. Ini sudah malam. Kita pulang, ya.”
Dahi Dhanan mengerut. “Pulang? Kalau lanjut ke bioskop gimana? Lagi pula, makanan kamu belum habis."
Anggun diam sejenak. Ia ingin menghindari sesi berbincang-bincang dengan Dhanan. Ia tahu kalau Dhanan pasti akan mengorek lagi masalah soal Rio.
"Aku ngantuk," jawab Anggun asal.
“Ada yang salah? Makanannya enggak enak?”
“Enggak, kok. Makanannya enak.”
“Terus kenapa enggak habis? Ada apa?"
“Enggak ada apa-apa.”
“Bohong.”
“Kok kamu jadi maksa, sih?” Mendadak suasana hening sejenak setelah suara Anggun menggema di seantero kafe. “Kalau aku bilang mau pulang, ya, pulang!”
Hancur sudah mood Anggun. Namun, Dhanan tidak mau menunda lagi. Pokoknya hari ini niatnya untuk melamar Anggun harus terlaksana. Dhanan menarik tangan Anggun lalu meletakkan kotak beledu merah di telapak tangan Anggun.
“Aku berniat memberikannya ke kamu dengan cara yang lebih baik, tapi aku enggak bisa menunggu sampai situasi mendukung niat aku, Anggun.” Anggun terdiam menatap kotak kecil itu di telapak tangannya. “Aku enggak tahu harus bilang apa, tapi aku ingin menikahi kamu, Anggun.”
Bibir Anggun gemetar, ketika ia menatap Dhanan, ia cemas kalau air matanya akan merembes turun. “A, aku, aku, aku enggak pantas buat kamu.”
Dhanan mengambil kembali kotak itu dari telapak tangan Anggun lalu membukanya. “Pernikahan itu saling melengkapi. Anggun, aku juga enggak pantas buat kamu, tapi, tapi aku yakin, aku ingin kamu jadi istri aku.”
Anggun mengambil kotak cincin itu lalu meletakkannya kembali di telapak tangan Dhanan. “Aku belum bisa terima ini, maaf.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top