Bab 23. Berkelit (lagi)

Ketukan kencang di pintu membuat Parwati sedikit menurunkan kacamata serta mengernyitkan dahi. "Masuk."

Walau sudah menebak Ina yang mengetuk, Parwati tetap tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat Ina masuk dengan wajah penuh air mata amarah.

"Ini enggak adil, Bu!" sembur Ina menyeka kasar air matanya.

"Silakan tutup pintu ruangan saya dan duduk," pinta Parwati berusaha tidak terpancing emosi. Namun, Ina malah diam sembari sesekali menyeka air mata. "Ina, kamu enggak mau menambah gosip enggak enak tentang kamu, bukan?"

Tahu kalau posisinya tidak menguntungkan, Ina menutup pintu lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Parwati sesuai permintaan atasannya.

"Ini enggak adil!" ulang Ina bersikeras.

Parwati menarik napas dalam-dalam lantas meletakkan selembar kertas di hadapan Ina. Pupil mata Ina sontak melebar. Bergantian ia menatap kertas tersebut juga Parwati.

"Ya, kamu enggak salah baca. Hari ini saya juga mendapatkan surat peringatan pertama. Alasannya sangat masuk akal dan saya juga berpikir ini adil untuk kalian semua, termasuk kamu," ucap Parwati dengan selalu menebalkan intonasi pada kata tiap juga.

Air mata Ina mengalir tanpa bisa dibendung. Sesak mengganjal kerongkongan. Pandangannya buram karena air mata. "Seharusnya … enggak begini, Bu."

Parwati mengangguk. "Ya, seharusnya enggak begini. Saya minta maaf sama kamu. Seharusnya saya enggak menarik kesimpulan sendiri. Saya hanya berpikir pasti ada kesempatan lebih baik dan sesuai untuk kamu."

"Kenapa semua jadi menyalahkan saya, Bu? Kenapa enggak ada yang mengerti saya, Bu?"

"Karena mau bagaimanapun, kekerasan enggak bisa dibenarkan Na. Perusahaan sangat menekankan hal ini. Jujur, kejadian kemarin sangat menghancurkan reputasi serta kerja keras yang selama ini kamu bangun."

"Seharusnya ini enggak terjadi, Bu!"

"Na, saya enggak bisa berkomentar banyak. Kamu enggak bisa memaksa saya untuk membenarkan tindakan kamu kemarin. Kalau saya jadi Anggun, saya akan minta keadilan yang sebesar-besarnya pada perusahaan. Saya pasti menuntut kamu dipecat dari sini."

Tangis Ina lenyap dalam sekejap. "Bu …."

Parwati menghela napas. "Anggun enggak akan melakukan itu dan saya berharap hukuman untuk kamu hanya sekadar surat peringatan pertama seperti saya. Ina, jernihkan kepala kamu."

Ina menggeleng. "Ibu sama saja. Ibu benar-benar enggak mengerti saya!"

"Apa yang kamu mau? Walau saya merekomendasikan kamu, saya enggak yakin kalau panitia mau menerima nama kamu Na."

"Ibu sendiri selalu berada di pihak Anggun! Kenapa Anggun bisa jadi lebih baik, Bu? Kenapa, Bu?"

"Ina, saya sudah banyak bicara. Kamu enggak percaya sama kata-kata saya? Na, kamu dan Anggun jelas berbeda. Harus berapa kali saya katakan, untuk posisi ini, saya menilai Anggun yang lebih cocok."

"Kenapa, Bu?"

Pertanyaan Ina yang terus menyudutkan Parwati berhasil memancing emosi wanita paruh baya itu. "Karena dia jauh lebih dewasa dan berkualitas dari kamu! Kamu sudah menutup semua potensi yang kamu miliki dengan sikap senioritas kamu! Pola pikir kamu sangat berbeda dengan Anggun! Haruskah saya jelaskan semuanya sampai kamu mau berintrospeksi diri, hah?"

Akhirnya Ina benar-benar diam. Bibirnya tampak gemetar dan kali ini air mata meluncur di pipi tanpa ia coba untuk seka.

Parwati melepaskan kacamata. Kuat ia memijat pangkal hidung hingga memerah. Selama ini ia coba untuk benar-benar profesional menilai setiap bawahannya. Parwati tidak bisa menerima tudingan Ina.

"Dengar Na, saya enggak akan memaksa atau mengarahkan kamu harus bersikap seperti apa. Kita sudah sama-sama dewasa untuk menilai mana yang benar dan salah. Apa yang akan terjadi selanjutnya sama kamu … kamu sendiri yang menentukan."

***

Dhanan mengambil helm yang disodorkan Anggun lantas mengaitkan ujungnya di gantungan motor. "Besok pagi mau berangkat kerja bareng aku?" tawar Dhanan. Anggun memberikan satu ulas senyum lantas mengangguk pelan. "Aku pulang dulu, ya," lanjut Dhanan.

Perasaan yang mengganjal dalam hati Anggun menggerakkan tangannya refleks menahan lengan Dhanan. "Mas, ada … sesuatu yang mau aku bilang sama kamu."

Dhanan kembali menaikkan penutup helm. "Apa?"

"Begini, ada masalah di kantor. Maksudnya, sedikit masalah," ralat Anggun.

Dhanan mematikan mesin motor lantas melepaskan helm yang dikenakan. "Ada apa? Kamu enggak kenapa-kenapa, kan? Kita cari tempat ngobrol saja bagaimana?"

"Enggak perlu. Sudah mau Maghrib. Aku enggak lama. Ini … bukan masalah besar, Mas. Ini tentang proyek Subang di kantor."

"Oh, ya? Sudah ada kabar? Kamu berhasil?" tanya Dhanan antusias.

"Hari ini aku sudah mendaftarkan diri secara resmi, tapi ternyata tahapan seleksi dan lainnya sangat ketat. Selain dari kantor aku, ternyata ada kandidat dari cabang lain juga."

Dhanan diam sejenak. "Lalu?"

"Mas, begini … mengenai urusan pernikahan, bagaimana kalau sebaiknya kita bertunangan saja dulu, Mas? Maksudnya pertunangan resmi begitu, sampai ada keputusan aku berhasil atau enggak. Setelah menikah nanti, aku … aku enggak mau menunda kehamilan. Kalau memang langsung diberi kepercayaan sama Tuhan setelah kita menikah kita langsung diberi amanah keturunan, aku khawatir akan berbarengan dengan kepindahan kita ke Subang atau lainnya."

Melihat Dhanan yang diam, Anggun semakin merasa bersalah karena tidak sepenuhnya jujur pada Dhanan. Alasan sebenar-benarnya ia ingin menunda pernikahan adalah untuk memantapkan hati kalau dirinya memang benar-benar pantas bersanding dengan Dhanan.

"Kamu benar juga Nggun."

Entah lega atau harus kecewa ketika ia berhasil membuat Dhanan punya satu pemikiran dengannya. "Menurut kamu bagaimana?"

"Sebenarnya, aku ingin pernikahan kita bisa dilaksanakan tahun ini. Ibu dan Mbak Septi juga berharap seperti itu, tapi pertimbangan kamu ada benarnya juga. Bagaimana kalau aku diskusikan masalah ini sama ibu dulu?"

"Menurut kamu begitu, Mas?"

"Iya. Memangnya perkiraan sampai pengumuman siapa yang akan terpilih berapa lama?"

"Kurang lebih sebulan."

"Sepertinya persiapan pernikahan lebih dari sebulan juga Nggun. Kalau soal pindah ke Subang. Sebenarnya ada peluang aku pindah ke sana. Kalau ditunda sampai agak lama, aku malah khawatir kesempatannya hilang."

"Menurut kamu begitu?"

"Tapi kamu ada benarnya juga. Seenggaknya semua harus siap dan benar-benar nyaman ketika kita pindah ke Subang."

"Soal rumah tinggal, mungkin dari kantor aku bisa bantu."

"Aku coba diskusi dulu sama ibu. Bagaimana?"

"Mudah-mudahan ibu setuju."

Suara azan yang berkumandang, membuat keduanya kompak menoleh ke arah mushala tak jauh dari rumah Anggun. Dhanan kembali mengenakan helm lantas menyalakan mesin motornya.

"Nanti aku kabari, ya? Aku pulang dulu. Assalamualaikum."

"Alaikum salam. Hati-hati."

"Ya."

Dhanan melambaikan tangan sebelum melakukan motornya menjauh dari rumah Anggun. Perasaannya semakin gelisah ketika ia semakin dekat dengan rumah. Terlebih ketika ia melihat mobil milik Septi terparkir di pelataran rumah.

Septi yang tampak membantu putrinya memasukkan peralatan sekolah ke dalam tas, menjawab salam Dhanan ketika Dhanan masuk ke ruang tengah.

"Mbak sudah mau pulang?"

"Iya, habis salat, Mbak pulang."

"Tunggu Dhanan salat dulu, ya, Mbak. Ada sesuatu yang mau Dhanan bicarakan."

Dahi Septi mengerut. "Pasti ada hubungannya sama Anggun, ya?" tebaknya.

Dhanan tersenyum sembari menggaruk belakang kepala. "Iya. Jangan pulang dulu, ya, Mbak."

"Iya. Eh, Nan."

Dhanan kembali berbalik. "Iya, Mbak?"

"Apa Anggun minta kamu untuk menunda rencana pernikahan kalian? Kalau iya, sudahlah Nan, akhiri saja. Mbak capek hati dengarnya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top