Bab 22. Polling

Terlebih dahulu Parwati memeriksa jam di ponselnya. Sudah pukul sebelas siang. Waktu yang ia miliki sangat sedikit. Setelah makan siang nanti, personalia ingin bertemu dengan Anggun dan Ina, tetapi ia tidak ingin membuat suasana kerja semakin tidak nyaman.

Parwati kembali melangkah masuk. Kedatangannya membuat staf yang berada di sana menoleh terdiam menatap Parwati yang kemudian berdeham.

"Maaf semuanya, sepuluh menit lagi saya tunggu kehadirannya di ruang meeting. Saya minta waktu kalian … sebentar  saja. Bawa pena. Silakan ke ruang meeting."

Awalnya hanya keheningan sekaligus ekspresi  kaget yang didapatkan Parwati dari seluruh bawahannya hingga kemudian satu per satu menyahut ya dan beranjak pergi.

Sebentar Parwati melirik ke arah Anggun, tanpa ragu ia memberikan satu ulas senyum sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan. Begitu pintu tertutup rapat sempurna, Parwati menyandarkan punggung ke dinding.

Berkali ia menarik napas dalam-dalam. Berita kejadian kemarin lebih cepat menyebar dari yang ia duga sebelumnya. Semalam, ia mendapatkan pesan dari manajer personalia mengenai hal ini. Bahkan yang sangat membuat Parwati terkejut adalah kehadiran sang CEO di ruang manajer personalia ketika tadi ia menghadap.

Apa yang telah terjadi jelas melukai nilai-nilai budaya kerja yang ditekankan perusahaan. Meski sudah menduga, tetapi Parwati tetap terkejut karena mendapatkan surat peringatan pertama karena dinilai lalai hingga pertengkaran  itu terjadi.

Parwati mengerjapkan mata kemudian kembali ke meja kerjanya. Ia mencetak beberapa lembar kertas lantas menaruhnya di sebuah dus kecil lalu keluar menuju ruang pertemuan.

Saat ia masuk, suasana hening seketika. Parwati meletakkan dus kecil yang dibawanya lalu mengedarkan pandangan pada seluruh karyawan.

"Pertama-tama, saya minta maaf karena kalian jadi enggak nyaman bekerja."

Ucapan Parwati jelas membuat Anggun sontak mengeratkan genggaman tangannya. Rasa bersalah yang sedari kemarin bercokol di hati Anggun membola semakin nyata.

"Seharusnya … sedari awal saya sudah jelaskan kepada kalian semua tentang proyek yang sedang diadakan perusahaan. Pastinya semua sudah tahu tentang pengumuman di papan pengumuman lobi." Parwati kembali membasahi bibir lantas sejenak menatap Anggun. "Saya selalu berusaha mengenal kalian semua. Berusaha untuk menilai secara adil sesuai kinerja kalian masing-masing. Tidak ada yang mendapatkan istilah anak emas di sini. Sebelum diumumkan perusahaan, perbincangan mengenai proyek di Subang sudah sering manajemen bicarakan. Manajemen ingin mematangkan semua rencana sebelum membagikan pengumuman kepada seluruh karyawan. Seperti yang kalian semua tahu, jenjang karir di perusahaan ini sangat terbuka lebar. Saya yakin perusahaan pasti melihat dan membantu seluruh karyawan yang berpotensi serta ingin maju."

Parwati kembali mengedarkan pandangannya kemudian terhenti pada Ina yang seketika tertunduk. Setelah kejadian sore itu, Ina belum meminta maaf pada Anggun. Walau gemas, Parwati tidak mau memaksa Ina melakukan itu.

Takut kalau rasa kesal menguasai, Parwati meraih dus kecil kemudian membagikan lembar demi lembar pada masing-masing karyawan. Sayup terdengar suara berbisik bingung ketika melihat dua nama tercetak dalam kolom terpisah di lembar tersebut.

Parwati kembali ke depan, menggeser dus hingga ke tengah. "Awalnya tiap departemen boleh mengirimkan lebih dari satu kandidat karena memang proses seleksi tidaklah mudah. Bahkan saingan dari cabang lain juga harus diperhitungkan. Saya tidak ingin ada lagi yang menilai saya curang. Jadi, kita buat polling. Saya yakin, kalian bisa menilai antara Anggun dan Ina. Siapa diantara mereka yang layak untuk ikut mencalonkan diri sebagai kepala cabang Subang. Lingkari nama yang kalian pilih, lipat dan masukkan ke dalam dus. Saya harap kalian memilih kandidat yang menurut kalian pantas serta jelaskan alasan kalian memilih tanpa mengingat kejadian kemarin."

Awalnya hampir seluruh karyawan saling berpandangan hingga satu per satu maju, memasukkan kertas yang sudah dilipat dua ke dalam dus.

Parwati menatap lembar kertas miliknya hingga tiba-tiba Anggun mendekat lalu memasukkan kertas miliknya. Parwati menoleh lantas mengambil kertas tersebut.

"Sudah semua?"

"Sudah, Bu."

Parwati tersenyum tipis. Lantas membentangkan kertas miliknya. "Pertanyaannya," lanjut Parwati kemudian kembali diam sejenak. "Kenapa Anggun? Kenapa Anggun yang saya tawari terlebih dahulu?" sambung Parwati kemudian melingkari nama Anggun.

Wajah Ina tampak tegang. Ia hendak menginterupsi, tetapi tatapan dari karyawan lain membuatnya ciut seketika.

"Karena saya mengenal Ina dan Anggun dengan sangat baik. Ya, memang Ina lebih senior dari Anggun, tapi ada banyak hal yang membuat saya berpikir posisi ini lebih cocok untuk Anggun. Saya salah karena menyimpulkan ini semua tanpa bertanya pada Ina. Saya keliru karena berpikir ingin menunggu keputusan Anggun mau menerima tawaran ini atau tidak, bila menolak, baru saya berencana memberikan penawaran pada Ina. Ya, saya salah. Saya pikir anak-anak Ina masih kecil untuk ditinggal ibunya bekerja di luar kota. Saya juga khawatir kalau-kalau akan ada masalah bila Ina bersikeras meraih posisi ini. Saya enggak bermaksud bersikap enggak adil."

Wajah Ina semakin memucat. Tidak menyangka kalau atasannya berpikir sejauh itu. Memang anak pertama Ina masih duduk di bangku sekolah dasar dan anak keduanya masih di sekolah taman kanak-kanak. Pasti berat baginya memilih antara tawaran menggiurkan naik jabatan dan posisinya sebagai ibu. Belum tentu juga suaminya akan mengijinkan Ina pergi.

"Saya pikir Anggun lebih cocok menjadi kandidat. Sudah lama saya memberikan penawaran ini sama Anggun. Saya tahu dan yakin dengan potensi yang Anggun miliki, Anggun bisa melaksanakan beban kerja sebagai kepala cabang Subang dengan baik. Satu suara saya untuk Anggun." 

Parwati membagi kolom di papan putih ruang pertemuan dengan satu garis panjang lantas menuliskan nama Anggun dan Ina di tiap kolom lalu menggaris satu garis di bawah nama Anggun kemudian mulai membaca hasil polling pada tiap kertas.

Parwati mengambil kertas terakhir. Posisi Anggun masih unggul. Empat suara untuk Anggun dan tiga suara untuk Ina. Parwati menatap kertas yang terjepit di antara jempol dan telunjuk.

"Kertas terakhir. Kalau kertas ini memilih Ina, persoalan ini akan saya serahkan pada personalia juga panitia proyek pemilihan kepala cabang Subang. Saya harap kalian bisa menerima dan terus bekerja sama dengan baik."

Ketegangan jelas ada di wajah semua orang. Tanpa kecuali Anggun. Dari kertas-kertas yang dibaca Parwati, sepertinya kertas itu adalah miliknya sendiri.

Tanpa sadar Parwati tersenyum melihat nama Anggun yang dilingkari di atas kertas, termasuk kalimat-kalimat alasan mengapa memilih Anggun. Parwati membalik kertas. "Anggun. Pilihan terakhir Anggun." Parwati kembali menggariskan satu coretan di bawah nama Anggun.

Parwati diam menatap satu per satu karyawan di hadapannya. Ada yang berwajah kecewa, lega, dan senyum bahagia. Namun, sulit baginya mendeskripsikan ekspresi yang diperlihatkan Anggun.

"Berdasarkan hasil poling, saya akan mendaftarkan Anggun. Semoga semua pihak saling mendukung dan mendoakan. Soal kejadian kemarin, apa pun yang akan terjadi ke depannya, itu diluar kuasa saya. Apa pun yang akan perusahaan putuskan … tidak ada interferensi dari saya atau pihak mana pun. Saya yakin kalau kalian semua ingat tentang perjanjian kerja yang kalian tandatangani dahulu. Silakan beristirahat."

Hampir seluruh karyawan mengangguk kemudian meninggalkan ruang pertemuan. Parwati membereskan lembar kertas poling lantas menghapus papan putih.

"Bu."

Parwati berbalik. "Anggun?"

Anggun mendekat. "Ibu … enggak kenapa-kenapa, 'kan?"

Parwati tersenyum. "Iya, kamu enggak perlu memikirkan saya."

"Bu."

Parwati menepuk pelan pundak Anggun. "Kita berada di jalan yang benar. Enggak perlu cemas."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top