Bab 21. Tamparan Karier

Gelisah memikirkan pertengkarannya dengan Dhanan kemarin, keraguan membola nyata dalam dada. Anggun malah berpikir untuk meneruskan rencana promosi ke Subang. Mungkin, ia bisa menunda sebentar rencana pernikahannya dengan Dhanan. 

Anggun bisa memberikan waktu agar Dhanan bisa menarik keputusan tegas dan lebih bijaksana tentang kariernya sendiri. Ya, mungkin ini bisa jadi solusi. Anggun bisa meminta mengadakan pertunangan terlebih dahulu.

"Bagus, laporannya sesuai dengan yang saya harapkan. Minggu depan kamu ikut saya ketemu klien," tutur Parwati seraya menutup map laporan. Matanya memicing melihat Anggun termenung. "Anggun? Kamu enggak apa-apa?"

Anggun mengerjapkan mata. "Ma-maaf, Bu. Saya, saya enggak fokus."

Parwati tersenyum. "Enggak apa-apa. Minggu depan kamu ikut saya ketemu klien, ya?"

Anggun mengangguk. "Iya, Bu."

"Apa … ada yang bisa saya bantu Nggun?" Melihat keraguan terpancar dari wajah Anggun, Parwati kembali bertanya, "bagaimana kabar mama kamu?"

Anggun memberanikan diri memfokuskan pandangannya pada mata Parwati. "Alhamdulillah lebih baik, Bu." Anggun kembali diam sejenak. "Bu, maaf tentang proyek kita ke Subang, apa sudah ada update terbaru, Bu?" tanya Anggun ragu.

Parwati tersenyum, berharap bisa mencairkan kecanggungan Anggun. "Kemarin sempat ada kabar kalau per departemen hanya diizinkan mendaftarkan satu kandidat."

"Satu saja, Bu?"

Parwati mengangguk. "Iya. Sepertinya manajemen juga ingin mempercepat  proses seleksi. Kamu sudah ada keputusan Nggun?"

"Ibu berencana mendaftarkan saya?"

Parwati mengangguk. "Iya. Kandidat utama saya tetap kamu. Saya tahu kualitas kinerja kamu."

"Lalu dengan Mbak Ina bagaimana, Bu?"

"Kamu enggak perlu memikirkan itu Nggun. Saya minta kamu fokus untuk ambil keputusan. Soal Ina, itu urusan saya."

Anggun malah diam. Kalaupun, ia berubah pikiran,  Dhanan pasti akan berpikir dirinya sebagai penghambat karier Anggun. "Saya bersedia ikut projek ini, Bu."

Senyum Parwati merekah, refleks ia menggenggam tangan Anggun. "Kamu serius Nggun?"

Anggun ragu, tetapi bibirnya melengkungkan senyum lantas kepalanya ikut terangguk. "Iya, Bu."

"Wah, saya lega sekali Nggun."

"Soal Mbak Ina bagaimana, Bu?"

"Saya enggak bermaksud untuk enggak adil. Semua kesempatannya sama."

"Tapi, saya enggak enak sama Mbak Ina, Bu."

"Begini saja, bagaimana kalau saya akan adakan polling? Biar teman-teman lain ikut andil menentukan kamu atau Ina yang akan didaftarkan."

"Saya rasa lebih baik begitu, Bu."

"Iya, suara saya sudah kamu pegang Nggun."

Anggun kembali tersenyum. "Terima kasih, Bu."

Ketukan pelan di pintu membuat Parwati melepaskan tangan Anggun. "Masuk."

Seorang wanita berpakaian abu-abu masuk membawa baki berisi cangkir. Kedua pipi bulatnya bergetar ketika tersenyum menatap Parwati dan Anggun.

"Eh, Mbak Anggun di sini," ucapnya seraya memindahkan cangkir berisi teh dari baki ke meja Parwati.

"Iya Mbak Mar. Saya kasih laporan," sahut Anggun.

"Terima kasih ya, Mbak Mar. Boleh keluar lagi," ucap Parwati melempar senyum.

"Iya, Bu. Saya keluar ya, Bu. Nanti siang Ibu mau makan apa?" tanyanya lagi.

"Nanti saya kabari ya, masih jam sembilan loh ini Mbak Mar," jawab Parwati ditimpali tawa pelan oleh Anggun.

"Oh, iya, Bu. Saya keluar ya, Bu. Mbak Anggun, permisi."

"Silakan, Mbak."

Setelah wanita berpipi tembam yang kerap dipanggil Mbak Mar itu menutup pintu ruangan Parwati, wanita itu setengah berlari menuju pantri. Niat menggebu bergosip ria dengan sahabat karibnya—Nurul membuat Mbak Mar bahkan hampir berlari.

"Eh, kalian tahu enggak? Dari departemen ini, Mbak Anggun yang akan didaftarkan Bu Parwati! Aku sudah bilang, 'kan kalau Mbak Anggun yang akan dipilih Bu Parwati!" ujarnya spontan ketika membuka pintu pantri tanpa memastikan tidak ada orang selain Nurul di sana.

Ina yang tampak berniat menuangkan isi dalam kopi kemasan ke cangkir diam sejenak lantas menatap Mbak Mar. "Maksudnya bagaimana, ya?"

"Eh, anu, Mbak Ina, anu, Mbak. Saya, saya …."

"Saya apa? Ada apa sama Anggun? Maksudnya kamu apa? Jangan berkelit! Saya dengar jelas soal Anggun!"

Mbak Mar sontak menyatukan kedua telapak tangannya lantas menggosokkannya berkali-kali. "Haduh, Mbak. Saya enggak ada maksud apa-apa, saya hanya dengar tadi Ibu Parwati bilang kalau Ibu Parwati akan mendaftarkan  Mbak Anggun sebagai kandidat kepala cabang baru di Subang, Mbak."

Tangan Ina refleks terkepal erat. Melupakan niatnya menghilangkan penat dengan secangkir kopi, Ina bergegas menuju ruangan Parwati.

Marah dan kecewa membakar habis setiap sudut hati dan otak Ina. Hingga tiba di depan pintu ruangan Parwati, melihat atasannya itu tampak begitu dekat tersenyum akrab dengan Anggun.

Apa spesialnya Anggun? Mengapa selalu Anggun? Mengapa hanya Anggun yang dilihat? Bukankah dirinya sudah bekerja jauh lebih lama dari Anggun?

Diam-diam Ina menyeka cepat air matanya. Ina cepat menarik lengan Anggun, lantas telapak tangannya bergerak cepat menyambar pipi Anggun.

***
Suara ketukan dari arah pintu utama membuat Anggun mengangkat dahi dari meja makan. Ia menoleh lantas sejenak ia terdiam lalu melirik ke arah jam dinding.

"Hampir jam delapan," gumam Anggun.
 
Lagi, suara ketukan di pintu membuat Anggun kembali keluar dari lamunan.

"Assalamualaikum. Anggun?"

Suara yang ia kenali membuatnya bangkit bergegas membuka pintu. Senyum Dhanan malah membuat Anggun gelisah.

"Mas? Kamu ngapain ke sini?" tanya Anggun spontan.

Dhanan mengangkat kantong plastik di tangan kanannya. "Aku mau antar ini. Ibu buat pepes ikan. Kamu pasti suka. Aku sudah telpon kamu berkali-kali, tapi enggak nyambung. Aku cemas juga Nggun."

"Oh, ya, maaf, Mas. Ponselku mati dari tadi sore. Aku … ketiduran."

"Kerjaan kamu lagi banyak, ya? Enggak biasanya kamu lembur sampai Maghrib."

Anggun menautkan anak rambut yang terlepas dari ikatan ke belakang telinga. Sebenarnya tidak ada lembur, ia hanya cari alasan pada Dhanan agar kekasihnya itu tidak menjemput di kantor.

Persoalan dengan Ina memang belum sepenuhnya selesai. Besok ia harus berhadapan dengan personalia. Meski ia telah menegaskan untuk tidak memperpanjang, tetapi jelas Parwati enggan melepaskan Ina begitu saja.

"Anggun? Kok bengong?"

Guncangan pelan di pundaknya sontak membuat Anggun tanpa sadar menepis tangan Dhanan. Sejenak keduanya terdiam. Anggun cepat-cepat merebut bungkusan plastik dari tangan Dhanan.

"Kamu sudah makan, Mas? Kita makan sama-sama. Sebentar aku bawa piring dan nasi."

Cepat Dhanan menangkap lengan Anggun. "Enggak usah. Aku cuma mau antar itu. Itu sudah dihangatkan sama ibu."

Sekali lagi Anggun melepaskan pelan tangan Dhanan dari lengannya. "Iya, terima kasih, Mas. Sampaikan terima kasihku sama ibu."

"Iya." Dhanan menggaruk belakang kepalanya. "Sabtu ini kira-kira mama kamu sama Rio ada di rumah?"

"Ada apa, Mas? Aku belum tahu. Rencananya memang akhir minggu ini aku mau ke rumah mama."

"Begini, Mbak Septi sudah mulai tanya kapan ibu sama Mbak Septi bisa datang ke rumah mama untuk melamar kamu secara resmi. Aku mau minta izin dulu ke mama kamu, untuk bawa keluarga aku ke rumah kamu. Kalau memang enggak ada hambatan, sabtu aku meminta izin dan hari minggunya, keluarga aku datang melamar kamu secara resmi. Bagaimana, Nggun?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top