Bab 20. Enggak Punya Pendirian!

Dhanan menatap ruang atasannya yang sedari tadi tidak pernah kosong; hilir mudik orang bergantian masuk ke ruangan Jamal.

Sesekali  ia pun menatap kubikel BamS. Pria berkemeja hijau itu tampak serius dengan pekerjaannya, tanpa terganggu oleh celingukan Dhanan.

Suara pintu terbuka dari ruangan Jamal membuat Dhanan kembali menoleh. Pria tambun berpakaian rapi berjalan terlebih dahulu keluar dari ruangan Jamal. Dhanan memperhatikan dengan seksama senyum Jamal yang mempersilakan pria itu keluar, Jamal mengangguk-anggukkan sedikit badannya sebelum pria itu pergi dan Jamal akhirnya kembali masuk ke ruangan.

Tidak mau hilang kesempatan, Dhanan bangkit, berjalan pasti menuju ruangan Jamal. Pelan ia mengetuk pintu, lantas mendorongnya.

"Siang, Pak. Maaf, Pak, saya boleh masuk?"

"Silakan Dhanan. Silakan duduk. Ada apa?"

"Begini, Pak." Dhanan memberi jeda sebentar agar kegugupannya berkurang. "Saya ingin membicarakan soal mutasi ke Subang. Apa sudah ada kabar, ya, Pak?"

Jamal menutup buku agendanya lantas menatap Dhanan lebih saksama. "Kamu yakin ingin pindah? Posisi kamu tidak begitu menguntungkan di sana. Kinerja kamu akan kembali dinilai dari awal Nan. Kalau misalnya pindah untuk dapat posisi yang lebih tinggi, mungkin saya bisa melepaskan kamu dengan tenang. Kamu masih ingat soal pembicaraan kita tempo hari, kan?"

Dhanan mengangguk. "Iya, Pak. Saya siap menerima semua resikonya."

"Kamu yakin? Nan, keluar dari zona nyaman untuk tumbuh dan berkembang itu baik. Sangat baik. Saya enggak bilang kalau kepindahan kamu ke Subang nanti itu salah. Saya enggak tahu kedepannya nanti karier kamu di sana seperti apa. Saya rasa kita sudah cukup dewasa untuk menimbang semua resikonya karena saya enggak tahu apa saya bisa tarik kamu lagi ke sini kalau-kalau kamu berubah pikiran nantinya."

Dhanan diam. Tujuannya pindah ke Subang adalah untuk memberikan dukungan penuh pada Anggun. Dhanan ingin Anggun bisa melesatkan karier seperti yang selama ini diimpikan. Kesempatan emas untuk Anggun, tidak datang setiap hari.

"Saya … yakin, Pak," ucap Dhanan pada akhirnya.

Jamal mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah Dhanan. "Tapi saya enggak yakin dengan ucapan kamu Nan. Saya minta pikirkan sekali lagi, untuk terakhir kali, setelah itu saya enggak akan banyak berargumen lagi Nan. Saya akan dukung semua keputusan kamu."

***

Anggun membaca pesan dari Rio dan tanpa membalas ia kembali menjejalkan ponsel ke dalam tasnya. Setelah peristiwa kemarin, meski mengorek satu kenyataan pahit, tetapi mendapatkan pesan tentang kabar sang ibu, tidak lagi membuat Anggun sebal setengah mati.

Seorang pelayan datang, memindahkan pesanan dari baki yang dibawa ke atas meja lantas pergi setelah memberikan satu senyum manis pada Anggun dan Dhanan.

Anggun terlebih dahulu meraih gelas, mengarahkan ujung sedotan lalu menyesap pelan manis es jeruk yang dipesannya. Melihat gelagat Dhanan yang tiba-tiba minta bertemu di kafe, sepertinya pembicaraan ini akan alot.

"Aku bicara lagi dengan Pak Jamal soal kepindahan aku ke Subang. Ada hal yang belum aku sampaikan ke kamu."

"Apa?"

"Ada lowongan di sana. Salah satu staf administrasi warehouse ada yang mau resign. Pak Jamal bisa memberi surat rekomendasiku untuk manajer di sana. Pak Jamal masih memberikan aku waktu untuk berpikir karena upah minimum Bogor lebih besar dari Subang. Gajiku sekarang setara dengan supervisor di sana," jelas Dhanan.

"Mas, aku belum bicara lagi sama Bu Parwati soal Subang. Semua belum pasti."

"Apa besok bisa dipastikan?"

Anggun menarik napas dalam-dalam. "Aku enggak tahu. Kita masih melanjutkan prosesnya."

"Apa sebaiknya tunggu keputusan dari kamu? Kalau memang kesempatan aku hilang, aku bisa cari pekerjaan di sana. Bagaimana?"

"Mas," desah Anggun berharap Dhanan bisa mengerti tanpa perlu menjelaskan panjang lebar kalau ide Dhanan konyol.

"Baik, kita selesaikan satu per satu. Pertama, kita susun dahulu rencana pernikahan kita. Kemarin ibu tanya ke aku soal pertunangan. Apa kamu mau langsung proses lamaran saja? Apa sebaiknya aku datang lagi ke Jakarta? Aku datang bersama keluarga. Bagaimana?"

"Mas. Kamu memaksakan semua selesai sesuai dengan standar kamu. Aku enggak suka."

"Maaf, maaf kalau aku menyinggung kamu. Aku enggak bermaksud begitu," sesal Dhanan.

Anggun kembali menyesap minumannya. "Aku belum bicara sama mama soal kita. Secepatnya aku akan kabari mama lalu soal kepindahan aku ke Subang …." Anggun menatap Dhanan. Ia tahu betul kalau karier Dhanan sangat baik, posisinya stabil malah besar kemungkinan bisa menanjak lebih tinggi lagi. "Aku akan menolak permintaan Bu Parwati. Aku enggak bisa biarkan kamu pindah, Mas."

Dhanan menarik tangan Anggun ke dalam genggamannya. "Ini kesempatan bagus untuk kamu!"

Anggun menarik tangannya. "Aku rasa kamu setuju kalau aku juga berhak atas jalan karier aku."

"Tapi Anggun—"

"Wah, Dhanan, Anggun, kenapa enggak bilang mau ke sini? Tahu begitu kita berangkat bareng dari kantor."

Refleks Dhanan dan Anggun menoleh ke sumber suara yang memutus kalimat Dhanan. Senyum Bams dan dua orang lain di belakangnya membuat Dhanan sontak ikut tersenyum, tetapi tidak dengan Anggun.

Anggun berpaling menatap Dhanan. Berharap kekasihnya itu tidak membiarkan teman-teman kantornya bergabung dengan mereka.

Bams menarik kursi di sebelah Dhanan. Gerakannya itu diikuti dua orang rekannya yang lain. "Suntuk, mau akhir bulan. Closing-an enggak ada habisnya. Hampir tadi gue disuruh lembur sama Pak Jamal. Mumet juga di kosan, jadi gue ajak si Danu sama si Anwar, tuh," jelas Bams panjang lebar.

"Oh, iya," komentar Dhanan tipis.

Bams menatap ke makanan yang tersaji di meja. "Wah, seharusnya kalian undang gue dong. Kok merayakan lamaran berduaan saja? Selamat, ya, Anggun, Dhanan. Semoga lancar, berarti kita ditraktir dong, ya?" cerocos Bams.

Melihat Dhanan yang balas menyalami teman-temannya, dahi Anggun mengerut. "Memangnya Mas Dhanan sudah cerita apa saja?"

Bams tertawa, tangan kanannya mengambil kentang goreng di piring Dhanan. "Banyak. Apa, sih yang enggak Dhanan ceritain ke gue? Saran gue, lebih baik kalian menikah saja dulu. Soal pindah ke Subang, coba dipikirkan lagi."

Anggun tidak menanggapi. Ia memilih untuk mengaduk-aduk minuman sembari sesekali melirik Dhanan. Berharap Dhanan mau meminta kawan-kawannya untuk berpindah duduk. Anggun ingin leluasa berbincang tanpa mau obrolan ini didengar orang lain.

"Nan, kalau sampai gaji lo enggak ditambahin, jangan mau pindah. Anggun itu wanita yang mandiri, kalau gaji lo jauh dibawah Anggun, wah, bahaya itu. Harga diri sebagai suami bisa ikut terjun bebas juga," lanjut Bams yang sekali lagi mengambil kentang goreng Dhanan.

Seketika kepala Anggun terarah lurus pada Dhanan yang tertawa pelan. Sungguh tidak ada yang perlu ditertawakan, terlebih kalimat Bams sudah keterlaluan.

"Mas, kamu enggak mau menyanggah kalimat Bambang atau … bagaimana gitu?" tanya Anggun yang kembali mengaduk minumannya.

Sempat ada jeda hening sesaat hingga akhirnya Bams tertawa. "Gue bercanda Nggun."

"Bams cuma bercanda Nggun. Enggak mungkinlah aku nilai kamu seperti itu," sanggah Dhanan tanpa bermaksud memperkeruh suasana atau membela Bams

Anggun tersenyum simpul. "Oh. Bercanda, ya? Oke," komentarnya sembari mengangguk-angguk.

Bams tahu kalau ekspresi Anggun mulai terlihat tidak nyaman. Ia menatap Dhanan. "Kayaknya kita pindah meja saja, ya."

"Enggak perlu. Semakin ramai, semakin seru. Kalian pesan saja. Aku traktir," sela Dhanan yang disambut riuh seru bahagia Bams.

Anggun meletakkan kembali sendoknya lantas mengambil tas di sampingnya. "Kalau begitu, sebaiknya aku yang menghindar dari keseruan kalian. Kita bicara lagi nanti, Mas."

Serempak semua orang ikut berdiri kala Anggun sunggu berniat pergi.

Dhanan refleks menarik lengan Anggun, tetapi kekasihnya itu tidak diam. Anggun menepis tangan Dhanan. "Kamu bisa selesaikan makan malam kamu bersama teman-teman kamu. Oh, iya." Anggun mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan dari tasnya. "Ini buat traktir teman-teman kamu yang enggak pernah sekalipun balas semua traktiran kamu. Aku pergi."

Sempat tertegun sejenak menatap kepergian Anggun, Dhanan sigap meraih tas kerjanya. "Maaf. Anggun pasti enggak berniat begitu." Dhanan meraih lembar uang yang ditinggalkan Anggun lantas mengganti dengan uangnya sendiri. "Aku duluan."

Setengah berlari Dhanan keluar dari kafe. Entah kelegaan atau rasa cemas yang ia rasakan kala melihat Anggun berdiri di pinggir jalan menunggu angkutan umum.

"Nggun!"

Anggun berbalik, menatap sebal Dhanan. "Ngapain kamu di sini? Kenapa kamu kejar aku?"

"Kita harus bicara."

"Bicara? Lebih baik enggak sekarang, Mas."

"Anggun."

"Jangan paksa aku. Aku pulang."

"Aku antar kamu."

"Enggak perlu. Kamu selesaikan saja urusan kamu sama teman-teman kamu termasuk bicarakan semuanya tentang rencana kita ke mereka."

"Nggun, kamu tahu sendiri kalau Bams—"

"Sahabat kamu?" potong Anggun, "sahabat yang sebenarnya memanfaatkan kamu? Sudahlah, aku enggak ingin kita berdebat di pinggir jalan dan jadi tontonan."

"Kamu marah?"

Anggun terdiam lalu tersenyum. "Marah? Menurut kamu aku marah atau enggak?"

"Kita bisa bicara baik-baik Nggun. Lagi pula Bams bisa memberikan masukan."

"Masukan? Aku enggak butuh pendapat orang lain yang bahkan enggak kenal aku! Mas, ini jadi salah satu pertimbangan aku terus ragu sama kamu. Kamu itu enggak pernah bisa buat satu keputusan tanpa campur tangan orang lain!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top