Bab 19. I ... Do?
Rio menarik tirai pemisah antar ranjang di ruang perawatan lantas duduk di pinggiran kasur dekat kaki Ningrum. Melihat ibu dan kakaknya terdiam dengan kedua tangan saling berpegangan, kegelisahan dalam hatinya nyata berkurang.
Setiap hari Rio berdoa agar ibunya mau mengutarakan semua kenyataan ini dan doa itu terjawab indah. Pemandangan yang dirindukan Rio bisa ia cecap begitu manis.
Kecanggungan dalam hati Anggun belum sepenuhnya lenyap. Rasa bersalahnya karena telah mencurahkan segala kebencian pada Ningrum mengalahkan ego dalam hati Anggun.
"Seharusnya, kita bisa lebih baik dari ini, Ma. Seharusnya kenyataan ini enggak pernah disembunyikan dariku, Ma," sesal Anggun pelan.
Ningrum melepaskan genggamannya dari tangan Anggun lantas menyeka air mata. "Iya, kamu benar. Kami selalu menunggu waktu yang tepat, tapi nyatanya sampai ayah meninggal, kami enggak bisa mengungkapkan rahasia ini sama kamu. Maafkan kami Anggun."
Anggun menunduk. "Sekarang aku mengerti kenapa sampai nenek meninggal, Mama enggak pernah minta aku untuk tinggal bersama kalian. Aku mengerti kenapa nenek selalu menahan aku."
"Maafkan kami Anggun," ulang Ningrum serak.
Anggun menyeka air matanya lalu menatap Ningrum. "Seharusnya Mama cerita semuanya sama aku, Ma. Aku selalu merasa bukan bagian dari keluarga. Kalian memberikan nama Pratama di belakang nama Rio yang artinya pertama. Mama tahu bagaimana perasaan aku? Terlebih kemarin aku enggak ada di dalam daftar nama anak ayah, aku sudah coba untuk berpikir positif, Ma, tapi … enggak bisa!" cecar Anggun mengeluarkan semua keresahan dalam dadanya.
Berkali Ningrum menyeka air matanya. "Maafkan mama Nggun. Seharusnya Mama enggak pernah memikirkan kebahagiaan Mama sendiri. Seharusnya mama menolak syarat pernikahan dari nenek Hotifah. Seharusnya Mama tidak menikah lagi.
Anggun diam sejenak, matanya beralih pada Rio yang diam tertunduk lesu. Statusnya dengan Rio ternyata sama. Dua orang anak yang seharusnya bisa bahagia. Dua anak yang merasa sama-sama terabaikan.
"Kalau Mama enggak menikah dengan ayah, selamanya mungkin aku enggak akan tahu bagaimana rasanya punya ayah. Selama ini, aku selalu berpikir Rio adalah anak yang paling beruntung. Aku rela mengorbankan apa saja supaya bisa berada di posisi Rio, tapi sepertinya Rio enggak sepenuhnya bahagia seperti apa yang aku pikirkan."
Meski sayup, isak yang coba ditahan Rio terdengar sangat jelas dalam telinga Anggun. Kekecewaan yang bercokol dalam hati Anggun masih ada, tetapi rasa bersalah Anggun pada ibu dan Rio akan mengikisnya sampai habis.
"Awalnya mama dan ayah sudah saling berjanji. Kami akan cerita sampai kamu berusia dua puluh tahun. Kami optimistis kamu sudah siap dan berharap mau memaafkan kami, tapi saat itu nenek melarang. Nenek minta kami untuk kembali menunggu sampai kamu lulus kuliah," sambung Ningrum.
"Mbak, Rio sudah berkali bujuk ayah sama mama untuk jemput Mbak."
Anggun menyentuh dadanya. "Hati Mbak enggak izinkan Mbak untuk ikut mama. Setelah kakek meninggal, Mbak enggak mungkin pergi meninggalkan nenek sendirian di Bogor."
Ningrum menyusut air matanya. "Mama minta maaf sama kalian. Anggun, Rio, seharusnya kalian bisa tumbuh lebih baik. Mama menyesal karena enggak bisa memperjuangkan kebahagiaan anak-anak mama lebih keras. Maafkan mama."
Rio tiba-tiba bangkit. "Rio keluar dulu sebentar," ucap Rio bergegas keluar sebelum air matanya tumpah ruah.
"Maafkan Mama Anggun, maaf."
Sesak dalam dada Anggun membola nyata. Ia tidak bisa membalas ucapan Ningrum. Bahkan menatap mata Ningrum pun, Anggun tidak berani. Kemarahan selama puluhan tahun yang Anggun tujukan pada kedua orangtuanya adalah kekeliruan terbesar dan ia tidak akan pernah bisa meminta maaf pada ayahnya secara langsung.
Ketukan pelan dari arah pintu refleks membuat Anggun menoleh. Sontak ia melepaskan tangan Ningrum lantas bangkit ketika melihat Dhanan sudah berdiri di hadapannya.
"Dhanan menyusul," ucap Septi memecah keheningan.
Sekali lagi Anggun menatap Dhanan dari ujung kepala hingga kaki. "Aku sudah izin. Tadi aku naik kereta. Nanti aku pulang sama Mbak Septi," tutur Dhanan seolah memprediksi apa yang akan ditanyakan Anggun.
"Maaf Dhanan. Tante merepotkan kamu, Septi juga," sesal Ningrum.
Septi bergeser mendekati kaki Ningrum. "Enggak, Tante. Enggak direpotkan. Maaf, ini Septi datang enggak sempat bawa apa-apa."
"Justru Tante yang harusnya minta maaf sama kalian. Merepotkan."
"Tante, apa pun yang terjadi, apa pun status Anggun. Saya tetap berniat menikahi Anggun. Tante, mohon beri res—"
Ucapan Dhanan seketika putus ketika Septi memukul cukup kencang punggungnya. Tawa canggung Septi dengan cepat menyebar di seluruh sudut kamar perawatan.
"Maaf, ya, haduh, adik saya ini memang paling enggak bisa membaca situasi!" tegas Septi.
Sejenak Ningrum menatap Dhanan lantas berganti memandangi Anggun. "Tante serahkan sepenuhnya sama Anggun. Apa pun pilihan Anggun nanti, Tante akan mendukungnya."
Baru pertama kali Anggun menatap wajah Ningrum tanpa kekecewaan. Anggun tersenyum lantas mengangguk pelan. "Mas, bisa kita keluar dan bicara berdua? Mbak, aku titip mama sebentar, ya, Mbak."
Sebenarnya Anggun tidak memerlukan izin Dhanan, lelaki itu otomatis berjalan mengikuti langkah Anggun keluar dari kamar perawatan lantas ikut duduk di samping Anggun.
"Kamu tahu kondisinya, kan?" tanya Anggun pelan.
Dhanan mengangguk. "Iya, tapi itu enggak mengurangi keinginan aku untuk menikahi kamu."
Sejenak Anggun terdiam. "Sepertinya semua hal yang terjadi sama aku itu … aku sendiri yang mengacaukannya. Keluargaku, kamu. Semuanya."
"Anggun."
"Kamu benar, Rio benar. Aku itu bebal, enggak mau mendengar. Aku pikir karena memang selama ini apa yang aku katakan juga enggak pernah ada yang mendengar."
"Aku enggak begitu Anggun."
Anggun menoleh lantas tersenyum. "Iya. Kamu memang selalu mendengarkan aku. Klise memang, tapi aku berpikir kamu berhak dapat wanita yang lebih baik dari aku."
"Harus berapa kali aku bilang, aku ingin kamu yang menjadi istri aku. Pendamping aku!"
"Pernikahan ... setelah tahu apa yang terjadi sama mama dan ayah, seharusnya aku merasa beruntung karena mendapatkan kamu. Ibu, Mbak Septi, mereka selalu mendukung aku, peduli sama aku."
"Kami akan selalu seperti itu Nggun." Dhanan menarik tangan Anggun, menggenggamnya erat. "Aku enggak bisa berjanji perjalanan ke depan akan selalu mulus, tapi aku bisa berjanji selama perjalanan, kamu enggak akan pernah sendirian!"
Sedari awal, Anggun bisa merasakan kesungguhan dalam mata Dhanan. Lelaki yang sudah menjadi bagian dari hidupnya itu adalah hal paling indah. Kekhawatirannya hanya satu. Apa ia bisa membahagiakan Dhanan?
"Nggun? Aku akan urus semuanya, termasuk masalah pekerjaan. Kita bisa lewati semua sama-sama."
Anggun menarik tangannya dari genggaman Dhanan. "Mas."
"Kamu … enggak akan menolak aku lagi, kan?"
"Mas—"
"Aku hanya mau kamu! Bukan wanita lain! Aku enggak peduli sama semua yang terjadi sama keluarga kamu! Aku hanya mau kamu!" potong Dhanan tegas.
"Dengarkan aku dulu, Mas."
"Aku enggak bisa terima penolakan kamu lagi Nggun."
"Aku enggak menolak kamu, Mas."
"Aku sudah bilang Nggun, aku terima kamu apa …." Sejenak Dhanan diam tertegun menatap Anggun. "Kamu … kamu? Tadi … apa?"
Anggun tertawa pelan. "Aku sayang kamu, Mas."
Senyum Dhanan merekah sempurna. Cepat ia menarik Anggun dalam dekapannya. "Aku janji! Aku berjanji semua akan lebih baik! Aku janji sama kamu!"
Walau ragu, tetapi Anggun membalas dekap erat pelukan Dhanan. Hatinya tidak lega. Keraguan akan dirinya sendiri malah semakin menjadi, tetapi kali ini Anggun benar-benar tidak ingin mengecewakan Dhanan. Lelaki super baik yang sangat dicintainya itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top