Bab 17. Kolaps
Lama Septi memandangi Anggun yang tertunduk lesu. Semua emosi berkecamuk dalam dada Septi. Meski alot, semalam Anggun mau menurut tidur sekamar dengan Septi di rumah Sri.
Kali lagi Septi mengalihkan pandangannya dari wajah sendu Anggun ke arah Aisyah yang bersiap berangkat sekolah. Hatinya tiba-tiba bertanya, apa yang akan terjadi kalau Aisyah berada di dalam posisi Anggun.
Sri meletakkan sepiring nasi goreng di meja. "Septi, bujuk Anggun supaya mau makan," bisiknya. Septi kembali menoleh ke arah Anggun. "Dari semalam dia belum makan," lanjut Sri.
Septi meraih piring tersebut. "Makan dulu."
Anggun menatap sepiring nasi goreng yang Septi sodorkan. "Terima kasih, Mbak. Nanti saja."
Septi tersenyum tipis, meletakkan piring itu di meja kecil lantas duduk di sebelah Anggun. "Kamu itu harus makan. Sedih juga butuh energi, loh."
Anggun tertawa pelan. "Iya, Mbak."
"Makan, ya? Kalau kamu sakit, nanti kamu sendiri yang repot. Lagian, ibu enggak akan berhenti bujuk kamu makan, loh."
"Iya, Mbak. Ibu marah enggak, ya, kalau … aku bawa pulang nasinya?"
"Makan di sini saja. Yuk, Dhanan juga masih mandi. Nanti kita makan sama-sama."
"Anggun mau pulang dulu, Mbak. Mau kabari kantor, enggak bisa masuk."
Lekat-lekat Septi menatap Anggun, melihat sembab mengerikan di kedua mata Anggun, wajar kalau Anggun pasti tidak mau berangkat kerja.
"Biar Dhanan saja yang ambil ponsel kamu. Kamu jangan sendirian di rumah," usul Septi.
Anggun coba tersenyum. "Enggak apa-apa, Mbak."
"Septi benar, Nggun. Kamu di sini saja dahulu. Ibu juga seharian nanti enggak kemana-mana. Ibu cemas kalau kamu sendirian di rumah," sambung Sri yang muncul dari arah dapur.
Anggun tidak berani menimpali ucapan Sri. Ya, Anggun memang tidak mau sendirian, tetapi ia ingin meringkuk seharian di dalam selimutnya.
Suara deru motor yang mendekat membuat ketiganya kompak menoleh.
"Bu, Ayah sudah datang, Aisyah pergi sekolah dulu," ucap Aisyah kemudian bergilir menyalami Septi, Sri dan Anggun.
"Kamu tunggu di luar sebentar, ya, Ibu nyusul. Bilang Ayah, sebentar," ucap Septi yang dijawab anggukan kepala sebelum Aisyah pergi.
"Kamu suruh Aris ke sini antar Aisyah? Kenapa enggak kamu antar sendiri Septi? Kasihan Aris ke kantor jauh," omel Sri.
Septi bangkit. "Septi keluar dulu, Bu," elaknya melenggang pergi menyusul Aisyah.
Sri menarik napas dalam-dalam kemudian duduk di kursi yang ditinggalkan Septi. "Ibu mengenal Ningrum, Nenek Hotifah, semua cerita tentang mereka. Ibu tahu. Maaf kalau selama ini Ibu diam. Ibu merasa enggak pantas ikut campur terlalu dalam," ucap Sri menatap sayu Anggun.
Anggun tertunduk semakin dalam. Tak sanggup ia mengomentari kalimat Sri. Kekecewaan adalah satu yang menguasai Anggun seutuhnya.
"Awalnya, mama kamu … Ningrum menolak pinangan Ali, Ningrum tahu kalau statusnya sebagai janda jadi alasan utama keluarga Ali berkeberatan menerima Ningrum," lanjut Sri.
Seketika Anggun mengangkat pandangannya. Kalimat selanjutnya dari Sri seakan menjadi jawaban mengapa selama ini keluarga dari mendiang sang ayah tidak pernah menyukainya.
"Keluarga ayah menentang?" tanya Anggun pelan.
"Ali adalah lelaki baik yang amat menyayangi kamu juga Ningrum. Berkali Ningrum menolak pinangan Ali. Ningrum takut kamu enggak akan nyaman atas perlakuan keluarga Ali kelak."
"Jadi, itu alasan aku tetap tinggal bersama nenek?"
Sri diam sejenak. Banyak hal yang Sri tahu tentang keluarga Anggun. Bertahun sudah Sri menyimpannya sendirian. Memilih untuk diam menunggu Ningrum sendiri yang akan membongkar rahasia ini.
"Jangan salahkan siapapun. Nenek Hotifah, Ningrum atau siapapun Anggun. Nenek Hotifah takut Ningrum dan kamu enggak akan bertemu lagi dengan lelaki baik seperti Ali. Ali yang menyayangi kamu seperti anak kandungnya sendiri."
Bulir air mata meluncur begitu saja. Anggun mengira sudah puas meluapkan segalanya, tetapi nyatanya tidak. Sesak menapaki dada. Pandangan pun kembali berbayang. Anggun tidak menyangka kalau seperti ini jalan ceritanya.
Belai lembut sentuhan Sri di punggung membuat isak Anggun terlepas. "Sabar, Nduk, sabar."
Berkali Anggun menyusut air mata. "Maaf, Bu. Anggun ingin pulang."
Sri ikut bangkit. "Sebentar tunggu Dhanan selesai mandi, nanti diantar Nggun."
Anggun menggeleng. "Anggun pamit, Bu," ucapnya menyalami Sri kemudian pergi.
Meski sempat diadang Septi, langkah Anggun tidak surut. Tiba di rumah, ia meraih ponselnya. Baru kali ini notifikasi pesan dari Rio membuat Anggun gemetar. Tangis Anggun kembali pecah ketika ia membaca setiap pesan yang dikirim Rio.
Rio sama mama sudah sampai rumah, Mbak.
Rio minta maaf sama Mbak, tapi percaya sama Rio, kami enggak ada maksud jahat sama, Mbak.
Ayah sama mama ingin lindungi, Mbak.
Setelah Mbak tenang, Rio akan ajak mama ke Bogor lagi. Maaf, Mbak.
Tidak banyak berpikir, Anggun menyambar tas dan jaketnya yang tersampir di kursi. Ia harus meluruskan semua ini.
Tas Anggun hampir terlepas dari pegangan ketika ia melihat Dhanan, Septi dan Sri ada di ambang pintu. Wajah gelisah dari ketiganya membuat Anggun semakin gugup.
"Kamu mau kemana, Nggun?" tanya Dhanan melihat tas dan jaket di lengan Anggun.
"Aku harus ketemu mama, Mas," jawab Anggun tidak sempat cari alasan.
"Aku antar kamu!"
Spontan Septi memukul bahu Dhanan. "Antar piye, kamu tadi sudah ditelpon, disuruh ke kantor!"
"Aku cuti saja, aku izin!" elak Dhanan.
Dering dari ponsel Anggun membuatnya batal mendebat Dhanan. Pupil mata Anggun melebar, kala melihat nama Rio yang muncul di layar ponsel. Baru kali ini, Anggun benar-benar tidak berpikir dua kali saat menerima panggilan Rio.
"Halo?" Isak tangis Rio di ujung sambungan memberikan gelenyar nyata yang memeluk Anggun dengan cepat. "Kamu kenapa? Ada apa? Kenapa nangis? Jawab Rio!" Mendengar penjelasan Rio membuat lutut Anggun melemas, tetapi ia sadar bukan waktunya tumbang. "Iya, kamu chat nama rumah sakitnya, Mbak segera datang."
"Rumah sakit? Ada apa Anggun?" tanya Dhanan ketika Anggun tampak menyudahi percakapannya dengan Rio.
"Aku harus segera ke Jakarta! Kamu ke kantor saja, Mas, aku enggak enak repotin kamu terus!" jawab Anggun cepat.
Dhanan menggeleng. "Enggak, aku antar kamu!"
"Ah, sudah-sudah! Biar Mbak saja yang antar Anggun! Lewat tol lebih cepat!" selak Septi yang membuat semua orang terdiam. "loh, kok diam? Cepat! Darurat, kan? Ayo!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top